Bagaimana jadinya jika kamu menjadi anak tunggal perempuan di dalam keluarga yang memiliki 6 saudara laki-laki?
Yah, inilah yang dirasakan oleh Satu Putri Princes Permata Berharga. Namanya rumit, ya sama seperti perjuangan Abdul dan Marti yang menginginkan anak perempuan.
Ikuti kisah seru Satu Putri Princes Permata Berharga bersama dengan keenam saudara laki-lakinya yang memiliki karakter berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurcahyani Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Membuntuti
"Tawi kita naik apa?" tanya Incces sembari melangkahkan kakinya di koridor sekolah.
Ketiganya kini melangkah berdampingan setelah jam pulang sekolah. Mereka sudah setuju untuk kerja kelompok di rumah Incces sesuai dengan kesepakatan.
"Kalau aku naik motor, sih kalau kamu gimana?"
"Incces biasanya pulang sama Abang tapi kalau Incces pulangnya sama Tawi gimana? Biar sekalian Incces mudah kasih tau jalan ke rumah Incces."
"Boleh sih. Gue nggak masalah, lagian gue juga senang kalau bisa boncengan sama lo."
Incces tersenyum lalu berpegangan tangan dengan Tawi melewati pintu-pintu ruangan kelas.
"Mama kamu tau nggak kalau kita mau ke rumah kamu?" tanya Zen membuat Incces dan Tawi menoleh.
"Udah tenang aja. Incces belum kasih tau tapi Mama sama Bapak tapi pasti mereka senang banget kalau Zen dan Tawi datang ke rumah."
Pranam menurunkan tas yang Ia gunakan untuk menutupi wajahnya agar tidak dilihat oleh Incces dan kedua temannya yang baru saja melangkah melewati dirinya yang bersembunyi.
"Sampai kapan kita seperti ini?" tanya Pralim yang sejak tadi berdiri di samping Pranam.
Sudah nyaris setengah jam mereka berdiri di sana menunggu satu-satunya adik perempuan di keluarganya itu lewat.
"Hust!"
Pralim menghela nafas panjang saat Pranam meletakkan jari telunjuknya ke depan bibirnya yang mengerucut menyuruh Pralim untuk berhenti bicara.
Ia berjalan mengendap-ngendap sembari merendahkan tubuhnya. Menggerakkan jemari tangannya memberi kode agar Pralim mengikuti langkahnya.
Pralim menggelengkan kepalanya menatap tingkah Pranam yang mirip seperti seorang polisi yang takut sedang ingin menggerebek pencuri. Pralim melangkah dengan santai sambil memasukkan satu tangannya ke saku celananya mengikuti langkah Pranam.
Pranam menghentikan langkahnya saat Incces telah tiba di area parkiran. Ia berdiri di belakang semak-semak sambil mengintip ke arah Incces yang sedang asyik berbincang dengan sahabat perempuannya itu, Tawi.
"Pokoknya kita nggak boleh lengah," bisik Pranam berusaha untuk memberitahu Pralim.
Tak ada jawaban dari saudaranya itu membuat Pralim mengernyitkan keningnya bingung. Ia menoleh mengharapkan wajah Pralim yang ia lihat namun ternyata hanya bagian kaki Pralim saja yang langsung ada di depan wajahnya.
Pranam mendongak mendapati Pralim yang nampak berdiri dengan santai tanpa takut ketahuan. Apakah saudaranya itu tidak tahu kalau ini adalah adegan pembuntutan.
"Aduh," keluh Pranam yang langsung memukul jidatnya.
"Abang kenapa berdiri, sih?" kesal Pranam sembari menarik pergelangan tangan Pralim yang dengan cepat berjongkok di belakang semak-semak.
"Ini kalau kita ketahuan sama Incces bisa bahaya."
"Apanya yang bahaya?"
Pranam langsung menoleh menatap saudaranya itu yang bertanya dengan wajah tanpa dosa.
"Berisik yah Abang sekarang. Ini tuh cara biar kita bisa ngikutin Incces."
Pralim hanya terdiam membuat Pranam tersenyum mengejek.
"Oh gue ngerti sekarang, Abang nggak tau ya kalau Incces itu nggak mau pulang sama kita soalnya dia mau pulang sama temen-temennya itu."
"Kok bisa?" tanya Pralim yang baru tahu.
"Ya bisalah orang si Incces yang bilang sendiri sama gue tadi, soalnya kalau dia ngasih tau abang Pralim mungkin si Incces bakalan kena tumbuk sama cewek-cewek yang terpesona sama wajah Abang yang sok ganteng itu."
"Terus kita ngapain di sini?"
Pranam mendecapkan bibirnya dengan kesal. Rasanya ia ingin mencekik leher saudaranya itu.
"Kita ngikutin Incces sampai di rumah dengan selamat. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Incces di jalan gimana?"
"Kalau semisalnya di perjalanan ada yang ngerampok Incces atau ada hal-hal yang tidak mengenakan bagaimana?"
"Kan kita juga yang repot, kita bisa kena amuk Mama. Emangnya mau Abang kena marah sama Mama kalau Incces sampai lecet? Gue mah nggak mau ya."
Pralim hanya terdiam saat Pranam mengoceh panjang lebar tanpa menyadari jika Incces sudah naik di atas motor dan perlahan pergi dari area parkiran sekolah.
Pralim bangkit bahkan di saat Pranam belum menyelesaikan kalimatnya membuat pria berkumis tipis itu membulatkan mata.
"Loh? Mau kemana? Gue belum selesai ngomong."
"Lanjutkan saja di motor! Incces udah pergi," ujarnya dengan santai sambil melangkah ke arah motor.
Pranam terkejut bukan main. Ia gelagapan menatap ke arah dimana terakhir kali ia melihat adik perempuannya itu yang benar-benar sudah hilang.
"Sial, bisa-bisanya kita kehilangan jejak."
Pranam meninju angin lalu untuk menyuarakan rasa kekesalannya itu. Dengan cepat ia berlari melewati Pralim yang masih melangkah dengan santai ke arah motor.
"Cepetan bang! Cepetan naik! Kita nggak boleh kehilangan jejak," ujarnya dengan cepat naik ke atas motor dan memasang helmnya.
Pranam menancapkan gas meninggalkan area parkiran sekolah mengikuti ke arah mana motor yang ditumpangi oleh Incces berjalan. Pokoknya ia tidak mau kehilangan jejak.
Motor itu ia hentikan dengan jarak yang agak berjauhan dari Incces saat lampu merah terlihat di atas sana. Pranam menutup wajahnya dengan jemari tangannya, takut jika Incces melihatnya tapi saudarinya itu nampak sibuk berbincang sambil tertawa dengan sahabat perempuannya.
Tawi melajukan motornya saat lampu berwarna orange itu berubah menjadi warna hijau menandakan bahwa kendaraan sudah bisa kembali berjalan.
Shuuuu!!!!
Tawi menarik rem saat sebuah motor melaju dengan cepat di depannya motor dengan penumpang laki-laki berseragam sekolah yang melanggar rambu lampu lalu lintas nyaris menabrak motor.
"Aw!"
Incces menjerit saat kepalanya yang terpasang helm itu terbentur ke helm yang dikenakan oleh Tawi akibat pengereman yang mendadak itu.
Kedua mata Pranam membulat. Ia tak rela jika ada yang membuat adiknya terbentur seperti tadi. Dari himpitan berbagai kendaraan Pranam langsung membanting stang motor mengikuti motor yang baru saja mencelakai adik tersayangnya itu.
"Loh kok kita belok? Ini kan bukan jalan ke rumah," tanya Pralim sambil menoleh ke arah Incces yang bergerak lurus.
"Diem! Ini lebih penting. Kita kasih pelajaran sama orang itu."
"Apa?" kaget Pralim.