Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Penuh Rencana
Pagi itu, Sena sengaja bangun lebih awal. Ada semangat berbeda dalam dirinya, ia ingin menyiapkan sarapan khusus untuk Bastian dengan tangannya sendiri. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf.
Di dapur, ia ditemani oleh Mbok Jena yang setia membantu. Aroma masakan hangat perlahan memenuhi ruangan, menciptakan suasana rumah yang terasa lebih hidup.
Setelah semua hidangan rapi di meja makan, Sena duduk manis, menunggu penuh harap Bastian turun.
Sepuluh menit berlalu, lalu lima menit lagi, hingga akhirnya langkah kaki lelaki itu terdengar menuruni tangga.
Namun harapan itu runtuh seketika. Bastian tidak berhenti di meja makan. Tanpa menoleh, ia melangkah lurus menuju pintu, lalu pergi begitu saja meninggalkan penthouse. Tak ada kata, tak ada senyum, bahkan sekilas pun ia tak melirik hidangan yang sudah disiapkan penuh cinta.
Pintu penthouse itu tertutup. Ruangan mendadak terasa kosong. Sena menunduk, matanya meredup. Hatinya tercekat. Ia tahu, Bastian masih menyimpan amarah. Tapi ia tidak ingin menyerah.
“Mbok Jena,” panggilnya lirih.
Perempuan paruh baya itu segera menghampiri. “Iya, Non. Ada apa?”
“Boleh tolong pindahkan makanan ini ke tempat bekal? Aku ingin bawakan ke kantor Bastian,” ucapnya dengan senyum tipis, berusaha menyembunyikan kecewa.
“Baik, Non,” jawab Mbok Jena lembut, lalu mulai memindahkan hidangan ke dalam wadah kecil.
Sementara itu, Sena naik ke atas untuk bersiap. Ia mengganti pakaian, mengenakan dress putih sederhana yang memberi kesan anggun, lalu merias wajah dengan sentuhan tipis.
Setelah merasa cukup, ia meraih totebag dan memutuskan pergi.
Tak ada supir yang menjemput. Sena memilih memesan taksi online, ingin mengandalkan dirinya sendiri.
...****************...
Di kantor, suasana berbeda sama sekali. Pagi-pagi Bastian sudah memanggil Nathalie ke ruangannya. Baginya, wanita itu belakangan ini sangat bisa diandalkan. Mereka membahas pekerjaan serius, dan Nathalie dengan cekatan menangkap arahan, membuat Bastian diam-diam kagum.
“Tidak kusangka kau sangat pintar dan begitu cepat membaca situasi” pujian itu terang-terangan diucapkan Bastian kepada Nathalie.
Nathalie hanya tersenyum tipis, mengangguk. “Aku sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini.”
Di meja kerja mereka sudah tersaji sandwich, kopi, dan potongan buah segar, semua dibawa Nathalie khusus pagi itu. Sesekali, Bastian menyesap kopinya sambil terus berdiskusi dengannya.
Hingga tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka.
Sosok Sena muncul di ambang pintu. Dress putih membalut tubuh mungilnya, totebag di tangan kanannya. Senyap sejenak.
Bastian menoleh cepat, pandangannya bertemu langsung dengan mata istrinya. Ada jeda panjang, seolah waktu berhenti, sebelum Sena melangkah maju.
Namun begitu matanya menyapu ruangan dan menemukan Bastian bersama seorang wanita, jantungnya berdegup lebih kencang. Ada desir cemburu yang menusuk, meski ia berusaha menepis, meyakinkan diri bahwa ini hanya urusan pekerjaan.
Sampai Nathalie menoleh ke arahnya.
Dada Sena bergetar. Ia mengenali wajah itu.
Wanita itu. Wanita yang sama… wanita yang malam itu pernah melakukan hal bejat bersama Bastian tepat di hadapannya.
Bastian buru-buru berdiri, meletakkan sandwichnya kembali. Suaranya jauh lebih lembut dari malam sebelumnya.
“Sena… kenapa kemari?”
Sena menarik napas, menahan getar. “Aku bawain sarapan untuk kamu. Aku lihat tadi pagi kamu gak sempat makan. Tapi… ternyata kamu sudah sarapan, ya. Kalau begitu, aku bawa pulang saja.” Nada suaranya mulai berubah, getir, menyiratkan kecemburuan yang tak bisa ia sembunyikan.
Ia segera berbalik, tak ingin berlama-lama di sana, apalagi berhadapan dengan Nathalie. Namun langkahnya terhenti ketika seorang pria tinggi berdiri di depan pintu, menghadangnya.
“Senaa? Tumben datang ke sini?” suara itu penuh keakraban.
Sena menoleh, lalu tersenyum kecil, hampir manja. “Kakak…” gumamnya, sebelum bergelayut sebentar pada tubuh Ravian, seolah ingin mengadu.
“Hei kenapa? Diapain sama Bastian?” tanya Ravian dengan sorot mata tajam ke arah iparnya.
Mendengar nama Bastian. Sena buru-buru menegakkan tubuh. Ia menyerahkan kotak bekal itu pada kakaknya.
“Untuk Kakak sarapan. Aku yang masak khusus buat Kakak.”
Ravian mengeryit. “Hanya satu? Untuk Bastian?”
“Bastian sudah sarapan. Jadi biar Kakak saja yang makan,” jawabnya cepat.
Tatapan Ravian bergantian antara Sena, Bastian, dan Nathalie. Di meja, sandwich dan kopi masih tersisa.
Ravian menghela nafas. “Pulang sama siapa nanti?”
“Naik taksi”
“Kakak antar aja”
Sena menggeleng. “Gak usah, aku bisa naik taksi.”
“Sama aku aja. Aku antar. Ayo” Suara Bastian tiba-tiba masuk.
Sena menoleh dengan cepat, nada suaranya dingin. “Tidak perlu.”
Ravian menatap keduanya, sadar hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Akhirnya, ia memilih mendukung langkah iparnya. “Sena, pulang sama Bastian saja. Biar urusan kantor Kakak yang urus dulu di sini.”
Sena terdiam, lalu menarik napas pasrah. “Ya sudah…” ucapnya pelan, lesu. Tanpa menoleh lagi, ia beranjak pergi, meninggalkan ketegangan di ruangan itu.
“Nathalie, tolong lanjutkan pekerjaan tadi dengan Ravian. Aku antar istriku dulu.”
Lalu ia melangkah cepat menyusul Sena, meninggalkan keheningan yang penuh tanda tanya di balik pintu.
...****************...
Di dalam mobil, keheningan begitu menusuk. Hanya deru mesin dan riuh jalanan yang terdengar. Sena menatap keluar jendela, seolah lebih tertarik pada lalu-lalang kota daripada lelaki di sampingnya.
Sedangkan Bastian, matanya lurus ke depan, fokus pada setir, namun pikirannya jelas terpaku pada istrinya.
“Sena,” akhirnya ia memecah sunyi.
“Aku gak mau ngomong sama kamu.” Suara Sena terdengar dingin, ketus.
Bastian terkekeh pendek, matanya melirik sebentar. “Kenapa malah kamu yang marah?”
Sena tak membalas. Diamnya seakan jadi benteng pertahanan.
“Sena,” panggil Bastian lagi, kali ini lebih dalam.
Tetap saja hening.
Bastian tak menyerah. Dengan spontan, tangannya bergerak ke paha Sena, mengusap perlahan seakan mencoba mencairkan suasana.
Sena berdecak kesal. “Bastian, diam deh.”
“Apa?” tantang Bastian dengan nada yang membuat Sena ingin melemparkan tatapan tajam.
Ia memutar bola mata, malas menanggapi.
Bastian justru menepikan mobil ke sisi jalan. Dengan cepat, tangannya menangkup dagu Sena, memaksa wajah itu menoleh padanya.
“Kamu sekarang semakin berani, ya? Diemin aku, berdecak, muter bola mata hmm?” suaranya rendah, tak ada nada marah, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Sena meremang.
Sena menelan ludah. Tapi ia tak ingin kalah. “Wanita tadi… itu kan, yang malam-malam kamu—” suaranya tercekat, tapi ia tetap melanjutkan, “yang kamu bercinta sama dia di depan aku, kan?”
Tatapan Bastian meredup. Ia sudah menduga pertanyaan itu akan datang. Ia mengangguk pelan.
“Dia sekretaris baru di kantorku. Kejadian di rumah itu, jauh sebelum dia bekerja denganku. Kalau kamu khawatir aku ada main sama dia, jawabannya tidak. Cuma kamu, Sena. Hanya kamu saat ini. Ada Ravian di kantor yang bisa kamu tanyakan kalau masih ragu.”
Sena menahan napas panjang. Logikanya bilang Bastian benar, tapi hatinya tetap perih. Ia akhirnya mengangguk kecil. “Oke. Aku percaya kamu.” Suaranya lirih, menyerah. Ia tahu, berdebat pun percuma.
Namun begitu tangan Bastian kembali mengusap pahanya, Sena menepis cepat.
“Kenapa? Masih gak mau disentuh?” tanya Bastian dengan kening berkerut.
Sena menggertakkan gigi, emosinya yang ditahan sejak pagi akhirnya pecah. “Satu lagi! Kamu gak makan masakan aku tadi. Kamu cuekin aku! Emangnya gak sakit apa digituin? Dari pagi aku bangun lebih awal, masak buat kamu, tapi kamu malah pergi gitu aja. Terus… malah sarapan sama wanita itu. Jangan sentuh aku kalau kayak gitu!”
Suaranya bergetar, matanya memerah.
Bastian terdiam, lalu senyum kecil mengembang di wajahnya. Tanpa peringatan, ia menarik Sena ke dalam pelukannya, erat. Aroma tubuhnya langsung menyergap indra Sena.
“Oke,” bisiknya lembut di telinganya. “Kita balik ke penthouse. Kita sarapan bareng, cuma kita berdua.”
Sambil mengucapkan itu, bibirnya mencuri kesempatan, menyusuri pipi Sena dengan ciuman kecil yang berulang-ulang.
Sena mengelak, menunduk, menghindar. “Bastiaan…” protesnya.
Bastian hanya terkekeh, kembali ke posisi kemudinya, lalu menyalakan mesin. Mobil perlahan melaju lagi, kali ini menuju penthouse membawa mereka pada sarapan yang semestinya sejak awal hanya milik berdua.
...****************...
Siang menjelang, di dalam ruang kerjanya yang tertutup rapat, Nathalie duduk di kursi kulit hitam dengan sikap kaku. Blazer formalnya membalut tubuh rampingnya, tapi jemari yang mengepal di atas meja menyingkapkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.
Suara Sena kembali terngiang di telinganya.
Kakak?
Nathalie memejamkan mata sejenak, mengulang potongan percakapan itu. “Istri Bastian memanggil Ravian… Kakak?”
Perlahan, kedua matanya terbuka, sinarnya tajam. “Berarti… istrinya Bastian adalah adiknya Ravian,” gumamnya, nada suaranya dingin.
Pikiran itu berputar lama di kepalanya. Potongan demi potongan mulai tersambung, dan semakin jelaslah betapa rumitnya situasi yang ia hadapi.
“Kalau memang benar begitu…” ia meremas tangannya lebih erat di atas meja. “Maka akan sangat sulit untukku mendekati Bastian di kantor ini.”
Ada getar frustrasi dalam nada bicaranya. Tatapannya lurus ke depan, menembus ruang kosong, seolah menatap lawan yang tak kasat mata. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan letupan emosi.
Nafasnya dihela panjang, tapi bukan untuk menenangkan diri. Justru ada bara yang semakin menyala di balik sorot matanya. Nathalie tidak pernah menyukai kekalahan. Ia tahu batas, tapi juga tahu cara memutar situasi.
“Kalau jalannya tertutup, aku hanya perlu membuat jalan baru.” Pikirnya dingin.
Tatapan Nathalie semakin tajam, penuh perhitungan. Ada sesuatu yang mulai ia rancang, sebuah strategi yang belum terucap tapi jelas berbahaya.
...----------------...
^^^Cheers,^^^
^^^Gadis Rona^^^