Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 33 Pembawa Sial
"Naomi, kenapa kamu menangis?" Xander menyadari ada yang tidak beres. Ia keluar dari mobilnya, dan tatapannya beralih pada Snowy yang juga berurai air mata. "Ada apa?"
"Ibu kami meninggal," jawab Snowy, tak bisa menahan isaknya lagi.
Wajah Xander langsung berubah. Ia menatap Naomi yang membuang muka, tak ingin dilihat dalam kondisi serapuh ini. Tanpa banyak bicara, Xander membukakan pintu belakang mobil.
"Masuk. Aku akan antar kalian," katanya, suaranya jauh lebih lembut dari biasanya.
Naomi sempat ragu, namun Snowy sudah lebih dulu masuk. Ia tak punya pilihan lain. Ia masuk, duduk di samping adiknya.
Perjalanan ke terminal terasa hening. Xander sesekali melirik dari kaca spion, melihat Naomi yang hanya diam dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu harus berkata apa, rasa bersalah tiba-tiba menyergapnya. Semua yang ia lakukan terhadap Naomi terasa begitu kecil, tidak berarti, di hadapan duka yang sedang gadis itu rasakan.
"Kita sudah sampai," kata Xander saat mobilnya berhenti di depan terminal.
"Terima kasih," Naomi berbisik pelan. Ia dan Snowy hendak turun, tetapi Xander kembali berbicara.
"Kita tidak akan ke terminal," ucapnya. "Aku akan mengantar kalian sampai ke panti." Lelaki itu seketika berubah pikiran.
Naomi menatapnya tak percaya. "Tidak perlu. Anda bisa pulang."
"Aku tidak bisa membiarkan kalian pergi sendiri dalam kondisi seperti ini," jawab Xander tegas. "Biar bagaimanapun, aku adalah calon suamimu."
Hati Naomi bergetar. Ucapan Xander terdengar tulus, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari pria itu. Sisi yang tidak menyebalkan, sisi yang peduli. Namun, ia tak bisa melupakan semua yang sudah terjadi.
Naomi hanya bisa mengangguk, membiarkan Xander mengambil alih. Mobil Xander kembali melaju, meninggalkan bisingnya kota. Di sampingnya, Snowy sudah tertidur kelelahan.
"Kenapa Anda kembali lagi tadi?" tanya Naomi, mengusap kepala Snowy yang tertidur pulas di pangkuannya.
Xander menoleh sekilas, matanya kembali fokus ke jalanan. "Entahlah. Aku merasa ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu yang mendorongku untuk putar balik menemui mu," jawabnya.
Naomi memandang keluar jendela, membiarkan pemandangan malam yang gelap menyembunyikan kekacauan di hatinya. Ibu Maria adalah segalanya baginya. Wanita itu bukan hanya ibu, tapi juga pilar kekuatan. Dan kini, pilar itu telah roboh. Ia merasa begitu rapuh, seolah ia benar-benar sendirian di dunia ini.
"Jangan pikirkan apapun," ucap Xander, suaranya lembut. "Ada aku di sini."
Naomi menoleh. Tatapan Xander tak sedingin biasanya. Ada sorot empati yang membuatnya sedikit terkejut.
"Terima kasih," bisiknya.
Dua jam kemudian, mereka sampai di sebuah panti asuhan yang terlihat kumuh di pinggir kota. Dulu, tempat ini ramai dengan canda tawa anak-anak. Namun, kini hanya ada beberapa orang yang tersisa, sepi dan sunyi.
Ketika mereka melangkah masuk, seorang gadis seumuran Naomi, Dara, langsung menghampiri. Wajahnya penuh amarah.
"Naomi, kemana saja kamu? Lihat, Ibu sudah tiada! Ini semua karena ulahmu!" bentaknya.
"Kamu harus bertanggung jawab!"
Dara melayangkan tangannya, berniat menampar Naomi. Tapi sebelum itu terjadi, sebuah tangan kekar sudah lebih dulu menahannya.
"Singkirkan tangan kotor mu itu dari wajah calon istriku," ucap Xander tegas, matanya menusuk tajam.
Dara terkejut, namun tak gentar. "Siapa kamu? Dan kenapa kamu berani melindunginya? Dia pembawa sial!"
"Aku calon suaminya," jawab Xander dingin. "Dan aku tidak peduli siapa kamu. Kalau kamu berani menyentuhnya, jangan salahkan aku jika aku menghancurkan mu!"
Naomi tertegun. Xander tidak pernah bicara seperti ini sebelumnya. Tatapannya, suaranya, semuanya menunjukkan keseriusan.
"Naomi tidak akan pulang lagi ke panti ini. Mulai sekarang dia akan tinggal denganku. Aku akan menjaganya, jadi jangan pernah muncul di hadapan kami lagi," lanjut Xander, suaranya mengancam.
Dara mundur selangkah, merasa terintimidasi. "Kamu... kamu benar-benar akan menikahinya?"
"Ya," jawab Xander singkat.
Naomi meraih tangan Xander, menggenggamnya erat. "Cukup, Tuan," bisiknya. Ia tidak ingin ada keributan di saat-saat duka seperti ini.
Xander menoleh ke arahnya, lalu mengangguk. Ia mengusap rambut Naomi dengan lembut, seolah ingin meyakinkan gadis itu bahwa ia ada di sana untuk melindunginya.
"Sekarang, kita masuk," ucapnya. "Kita harus menemani Ibu untuk terakhir kalinya."
Mereka melangkah masuk, meninggalkan Dara yang berdiri mematung. Di dalam panti, suasana duka begitu terasa. Naomi melihat anak tertua, yang baru saja tiba, sedang memeluk beberapa anak panti. Air matanya kembali tumpah.
"Kak..." panggil Naomi.
Lelaki menoleh, dan melihat sosok Naomi bersama seorang pria asing. Ada kebingungan di matanya, tapi ia tidak bertanya. Ia hanya memeluk Naomi dan Snowy erat, seolah tak ingin melepaskan.