Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania membalas dengan perbuatan yang sama bersama seorang pria bernama Askara, yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Saat tangan Askara menyentuh kulitnya, Rania tahu ini bukan tentang cinta.
Ini tentang rasa. Tentang luka yang minta dibayar dengan kenikmatan. Dan balas dendam yang Rania rencanakan membuatnya terseret ke dalam permainan yang lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kali Pertama Bersama Askara…
(Khusus 18+, banyak bahasa dewasa yang eksplisit, untuk yang tidak suka, mohon di skip).
Hening merambat. Kata-kata itu menggantung di udara, berat, seolah menunggu siapa yang lebih dulu runtuh.
Askara tidak langsung menjawab. Sorot matanya tajam, tapi ada sesuatu yang bergetar di dalamnya.
Perlahan, ia bangkit dari duduk, mendekat.
Jarak mereka menyempit. Tapi Rania tidak mundur. Ia berdiri, napasnya berantakan, bath robe putih itu menempel di tubuh basahnya.
“Rania…” ucap Askara lembut.
“Aku serius,” potong Rania, lirih, tapi matanya tidak bergeming. “Aku muak. Aku capek jadi orang yang diinjak-injak. Malam ini, aku tidak ingin berpikir apa pun lagi."
Tangannya gemetar saat menyentuh kerah kemeja Askara. Jari - jarinya terasa dingin. Askara menatap wajah wanita di depannya. Ada amarah di sana, ada luka, tapi juga… ada hasrat yang menyala.
Bibir Askara yang pertama menemukan bibir Rania. Hangat. Basah. Semuanya meledak begitu saja. Ciuman itu dalam, membuat kaki Rania lemas, suara jantungnya berdentum di telinga. Saat jemari Askara menelusup ke rambut Rania, wanita itu menyerah pada sensasi yang menghapus semua logika.
Penthouse itu sepi, hanya suara kecupan yang mendominasi.
“Aku benci…,” suara Rania terputus di tengah ciuman, “…tapi aku ingin ini.”
“Kalau kamu ragu... ” bisik Askara di telinganya, napasnya berat.
“Aku tidak ragu,” jawab Rania tegas, kedua tangannya mencengkeram punggung Askara, tubuh mereka rapat menempel. Suara bibir yang saling mencari, menghisap, terdengar berlomba dengan desahan pelan.
Sesaat, mereka saling melepaskan, sama - sama mencari oksigen.
Udara di penthouse berubah panas dalam hitungan detik. Kening mereka salin menempel saat Askara berkata, "Aku penuhi permintaanmu, Rania." sedang jarinya menarik pelan tali bathrobe di pinggang Rania. Kain putih itu langsung melorot ke lantai.
Tubuh Rania telanjang, kulitnya yang putih mulus tampak eksotis di bawah lampu temaram.
Askara menelan ludah. Tanpa apa - aba, bibir Askara kembali menghantam bibir Rania. Lidah mereka bertabrakan, saling menjajah, saling menggigit.
Rania mendesah kasar, membalas dengan ciuman yang tidak kalah rakus.
Tangannya terburu, sibuk membuka kancing kemeja Askara satu per satu. Hingga dada bidang dan otot perut yang rata itu terlihat jelas, menggairahkan.
Tanpa melepaskan bibir, tubuh gagah pria itu di dorong jatuh duduk di sofa, dengan anggun dan menggoda Rania memanjat ke pangkuan Askara. Tubuh mereka saling menempel, kulit dengan kulit.
Askara meremas pinggang Rania, jarinya menyusuri perut hingga naik ke payudara wanita itu. Telapak tangannya menutup dada Rania, menggenggam, meremas, membuat desahan pendek lolos dari bibirnya.
“Ahhhh... Kalau kau berhenti... ssshhhh... aku akan benci padamu,” Bisik Rania, serak.
"Aku tidak akan pernah berhenti,” jawab Askara.
Rania, si wanita yang tengah rapuh itu menggoyangkan pinggul ketika merasakan tonjolan keras di bawah tubuhnya. Gesekan yang terhalang kain celana yang masih membungkus Askara, membuat darahnya mendesir. Logikanya hilang sudah.
Napas Askara tersengal, dalam satu gerakan, ia mendorong Rania telentang di sofa, membiarkan tubuh kekarnya menindih tubuh Rania yang mungil. Mulutnya bergerak turun, dari bibir ke leher, merambat ke dada. Hisapan panas di kulit Rania meninggalkan bekas kemerahan, awalnya satu... lalu berubah banyak..
"Angghhhh..." desahan Rania kembali lolos ketika lidah itu menyentuh putingnya, memutari, lalu mengisap kuat. Membuat punggungnya melengkung seksi.
Jemari Askara turun, menyusuri perut, sampai ke pangkal paha. Kaki jenjang Rania ia buka lebar-lebar. Dengan perlahan, dengan lembut, Satu jarinya ia bawa masuk.
Rania menjerit tertahan, tangannya mencengkeram rambut hitam Askara.
“Basah sekali,” gumam Askara penuh napsu
“Aahhhh... cepat Askara... cepat," ujar Rania nyaris memohon, matanya sayu. Memelas. Meminta
Tapi Askara tidak terburu-buru.
Ia memasukkan jari kedua, menggerakkannya perlahan, lembut, menggoda. Tak lama prosesnya untuk membuat tubuh Rania bergetar hebat nyaris mendapat pelepasannya. Tapi... baru saja hendak mencapai puncak, Askara menarik jarinya.
Rania nyaris marah, tapi bibir Askara sudah menggantikan jari, lidahnya menyapu bagian paling sensitif, menghisap habis-habisan.
Cairan puncaknya datang dengan deras, membuat tubuh Rania kaku dan kemudian ambruk.
“Askara…” napasnya putus-putus.
Pria itu berdiri, melepas semua celana, memperlihatkan dirinya yang sudah menegang keras.
Ia membungkuk, meraih pinggang Rania, menarik napas dalam - dalam ketika menegakkan tubuhnya. Rania di bawahnya sudah siap, kedua pahanya terbuka. Menunggu dengan berdebar. Namun untuk sekian detik pria itu diam, sebelum tersenyum, dan berbisik.
"Mau coba yang lain?"
Otak Rania lama memproses, "... Ya?"
Dalam satu gerakan Askara mengangkat tubuh wanitanya, membuatnya duduk membelakangi di pangkuan, punggung Rania menempel panas di dada bidang sang jantan.
"Kamu terlihat seksi" bisik Askara penuh napsu
"Hnnnggg... Askara" Napas Rania tertahan saat pinggulnya diangkat, lalu diturunkan perlahan. Tubuhnya bergetar hebat begitu dari bawah Askara memasukinya penuh.
“Aaahhh...." desahannya panjang,
Askara menggigit bahu mulus Rania dari belakang. “Bagus. Rasakan semuanya, Rania”
Rania kembali menggoyangkan pinggul, gemulai, erotis. Askara menggeram. "Haaahhhh..." desahnya.
Gerakan yang awalnya itu pelan semakin cepat. Sofa bergoyang. Suara kulit beradu memenuhi ruangan, bercampur dengan napas yang menderu kasar.
Tangan Askara membungkus dada Rania, satu tangan lain meremas pinggul, menarik tubuh itu lebih dalam setiap kali menghantam. Rania menggigit bibir, menahan suara, tapi ketika ia mencapai puncaknya lagi, teriakan itu pecah juga.
Askara terus menghantam berulang kali, berganti - ganti posisi, entah sudah berapa lama, sampai akhirnya tubuhnya menegang, napasnya tertahan, dan cairannya tumpah di dalam diri Rania.
Mereka jatuh terkulai. Keringat bercampur, napas memburu. Sofa basah oleh tubuh mereka. Beberapa saat hanya ada hening.
Askara menciumi tubuh Rania, menatap wajahnya yang merah dan basah oleh sisa air mata. Di kecupnya pelan, lembut.
“Kamu tahu, bukan?” bisiknya. “Aku tidak akan melepaskanmu setelah ini.”
Rania menutup mata. Ia tahu. Dan anehnya, malam itu, ia tidak ingin dilepaskan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tubuhnya masih terasa lemas ketika tangan Askara memungut bath robe yang tergeletak begitu saja di lantai. Kemudian perlahan memakaikannya kembali di tubuh Rania.
“Bangun,” ucapnya pendek.
Tanpa protes, Rania melingkarkan lengan di leher Askara saat tubuhnya diangkat.
Penthouse itu sepi. Langkah Askara terdengar berirama, lantai marmer dingin berkilat di bawah cahaya lampu. Di sisi kiri lorong, dinding kaca memamerkan kota yang basah. Lampu-lampu jauh di bawah berpendar seperti bintang.
Kamar utama terletak di ujung. Pintu dibuka, ruangan luas dengan nuansa abu muda dan putih. Tempat tidur besar berdiri di tengah, tirai setengah terbuka. Dari jendela, langit malam tampak berat, hujan masih jatuh tipis.
Askara menurunkannya di atas kasur. Ia menarik selimut tebal, menutup tubuh Rania hingga bahu, lalu duduk di tepi ranjang.
“Nanti kamu kedinginan,” ucapnya singkat.
Rania hanya menatapnya. Sorot matanya sudah berbeda. Tidak ada lagi panas seperti tadi. Dingin. Terlalu tenang.
"Apa ini hanya akan terjadi malam ini saja?" tanya Rania.
"Tidak akan hanya malam ini saja ketika kamu sudah sampai di ranjangku, Rania." ucapnya datar, dingin.
Askara berdiri. Melepas sisa pakaian yang melekat, lalu berbaring di sisinya. Tidak bicara lagi, hanya menarik tubuh Rania. Menjadikan lengannya sebagai bantal. Tak ada kecupan. Tak ada ucapan selamat malam.
Lampu kamar padam.
Rania hening. Merasakan suara napas Askara yang mulai teratur. Tangannya ia bawa pelan menelusuri dada bidang si pria, merasakan ritme jantung yang sudah tenang. Rania menghela napas, tubuhnya memang sedang di rengkuh tapi entah kenapa, seolah ada tembok yang baru saja kembali berdiri di antara mereka.
Hujan di luar terdengar samar.
Kantuk melanda di tengah pergolakan batin Rania. Hancur, sakit, sedikit harapan, hangat. Semuanya datang silih berganti, hingga matanya ikut terlelap menyusul Askara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sunyi.
Rania membuka mata perlahan. Tirai tebal sedikit terbuka, membiarkan cahaya tipis subuh masuk dan membentuk garis pucat di lantai marmer. Ruangan ini terasa asing. Terlalu bersih. Terlalu sunyi. Tidak ada suara sendok beradu piring, tidak ada tawa mesra Wulan dan Niko, tidak ada suara Bu Ayu memanggil dari ruang tamu.
Yang terdengar hanya napas. Napas seseorang di sebelahnya.
Ia menoleh.
Askara tidur dengan damai, wajah tampannya terlihat kontras di remang cahaya lampu. Hidungnya mancung menjulang. Pipi dan rahangnya tirus simetris.Tarikan napasnya pelan, teratur. Bahkan dalam tidur pun, wajahnya terlihat seperti tidak memberi ruang untuk siapa pun.
Rania masih menatap lekat Askara. Seorang pria yang punya segalanya. Yang mampu membuat ruang rapat hening hanya dengan satu pandangan. Yang hidupnya nyaris sempurna, mapan, dan tak tergoyahkan
Dan tadi malam... pria itu memeluknya, menginginkannya, mendambanya. Tapi kenapa? Apa yang pria seperti Askara lihat dari seorang perempuan sepertinya?
Dada wanita itu terasa berat, sesak. Matanya menelisik tampilannya sendiri.
Tubuhnya yang kurus, kulit yang pucat. Ia tidak pernah punya waktu untuk perawatan. Pakaian kerja yang ia pakai selalu sisa gaji, dan bahkan kadang tidak terbeli hingga berbulan - bulan
Setiap hari hatinya dipatahkan, impiannya dihancurkan, harga dirinya diinjak oleh Niko, Wulan, dan mertuanya. Kata - kata mereka membuatnya merasa kerdil. Kecil. Hingga akhirnya ia merasa kalau dirinya memang tak pantas.
Rania duduk perlahan di tepi ranjang, Kakinya menyentuh lantai yang dingin. Cermin besar di depannya, menyadarkan betapa lusuh dirinya.
Bath robe putih yang ia kenakan kebesaran. Rambut hitamnya kusut, menempel di pipi. Matanya sembab dengan lingkaran hitam tebal.
Begini kah ia selama ini?
Ia berdiri pelan, mendekati cermin. Jemarinya menyentuh permukaan dingin refleksi diri itu.
Sekarang ia mengerti, tidak heran Niko berpaling pada masa lalunya, tak usah dipertanyakan kenapa Wulan tetap dianggap lebih pantas untuk Niko.
Rania menutup mata. Di kepalanya, suara Bu Ayu, Niko, dan Wulan datang bergantian.
“Lihat penampilanmu. Memalukan.”
“Bajunya lusuh."
“Kamu makan di dapur saja.”
“Wulan lebih pantas."
Napasnya tercekat. Dadanya ngilu. Giginya gemeretak menahan marah.
"Tidak. Aku harus berubah." batinnya, "Kalau aku ingin berdiri di sebelah Askara, aku harus pantas. Dan kalau aku ingin melawan mereka, aku harus punya kekuatan besar, kekuatan yang aku bisa dapatkan dari Askara."
Rania menatap Askara sekali lagi. Berkat Askara... Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa punya arah, meskipun arahnya untuk balas dendam.
(Bersambung)....
jadi korban org disekelilingnya yg egois
walau pun kalung berlian ,dasar gelo...
rugi klo kmu ,patah hati ...
patah tumbuh hilang bergati
yg lebih baik banyak di luar sna ...
biar tau rasa lelaki bodoh yg ,
sdh mendustai mu...
liat kmu bahagia dan sukses..
biar askara belajar menghargai seorang wanita...dah tau Rania ngga punya siapa", tdk dianggap mertua dan suaminya, diselingkuhi lagi...ni malah menambah luka...
monipasi untuk maju ,biarkan berlalu
jangan jd kn untuk penghalang untuk maju .
buktikan kesuksesan walau tampa mereka ..jangan putus asa ...
klo cari pasangan ,selexi dulu sebelum.
rania berikan hati..jangan patah hati rugi...
masih banyak yg lebih baik dri sebelum x
next thor
secepat x rania mencium x .dan pergi sejauh mungkin ,dan menemukan orang tulus ingin bersamamu mu rania
dan setia siap menjadi frisai mu..rania..