Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Maxim meninggalkan Ellena sendiri ditempat eksekusi itu, dengan ekspresi dingin.
Setelah apa yang dikatakan Ellena, membuatnya merasakan sesak, ia merasa tidak bisa bergerak bebas di rumahnya sendiri.
Saat berada di ruang tengah, ia menghentikan langkahnya. Tidak menoleh, dan tidak bergerak selama beberapa detik, dan saat itu ia merasakan lirikan tajam dari beberapa sudut.
"Siapa saja pengkhianat itu?" batinnya.
Tangannya mengepal dengan kuat. Rahangnya ikut mengeras. Benaknya terus mengucapkan banyak hal. "Siapa yang harus aku percaya sekarang?"
Maxim menghela nafas kasar. Melanjutkan langkahnya, menuju ruang kerjanya. Sesampai di sana, Maxim yang biasanya langsung santai dan duduk, memandang ruangan itu dengan intens.
"Lima tahun aku berjuang membalas dendam, semuanya gagal. Bahkan Ellena di tanganku saat ini yang aku pikir kemenangan hanyalah rancangan. Ternyata karena Felix menabur banyak orangnya di tempatku," batinnya.
Maxim mematikan lampu di ruangan itu, lalu menutup gorden jendela, sehingga ruangan itu menjadi gelap.
"Lampu ruangan ini tidak pernah mati, dan tidak ada CCTV yang aku pasang," gumamnya, perlahan membalikkan tubuh.
Mata tajamnya menelisik sekitar. Ia berjalan pelan sembari terus menatap setiap sudut ruangan itu. Terlebih pada sisi yang bisa mengambil seluruh ruangan itu.
Hingga tatapannya berhenti saat ia melihat sedikit kilauan cahaya di foto dirinya dan istrinya.
Kilauan merah yang berada di sepatu Rose yang juga berwarna merah.
"Itu mengarah ke sofa, tempat biasanya aku, Johny dan Liam berdiskusi," batinnya.
Tangan Maxim mengepal. Ia memilih tidak melepaskannya lebih dulu, untuk tidak menimbulkan kecurigaan.
Pria itu menghela nafas kasar untuk kesekian kalinya. "Jelas ada orang yang sangat aku percaya, bisa memasang benda itu. Tapi, siapa? Liam? Johny?" Batinnya bertanya-tanya.
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka membuat Maxim tersentak kaget.
"Eh kenapa gelap?"
Maxim menatap ke arah pintu, melihat saudaranya berdiri di ambang pintu.
"Maxim, kenapa kamu mematikan lampu?" tanya Leona sembari menyalakan kembali lampunya, membuat ruangan itu menjadi terang dan sedikit hangat.
Maxim terdiam, membiarkan itu terjadi. Leona datang mendekatinya dengan kening yang berkerut tajam.
"Ada apa? Kenapa wajahmu tampak tidak senang?" tanya Leona menghampiri adiknya itu.
Maxim hanya diam menatap sang kakak. Menatap bola mata indah kakaknya, namun selalu menatapnya sinis, namun mengingat perlakuan kakaknya yang selalu perhatian, membuat bola mata pria itu seketika berkaca-kaca.
"Kakak ...." Suara Maxim bergetar. Membuat Leona membulatkan matanya mendengarnya.
"Ya ada apa? Tumben sekali memanggilku begitu?" tanyanya segera menghampiri. Menyentuh pundak pria itu dengan lembut.
Maxim menarik lembut Leona masuk dalam pelukannya, membuat wanita itu semakin bingung dan cemas. "Ada apa Maxim?" tanyanya, mengusap lembut punggung Maxim.
"Kakak, seberapa besar kakak percaya pada kakak ipar?" tanya Maxim dengan suara sedikit berbisik membuat Leona heran.
"Tentu saja sebesar aku percaya denganmu, bahkan lebih," jawab Leona ikut berbisik.
"Kakak yakin, dia bisa dipercaya?" tanya Maxim lagi.
"Tentu saja, memangnya ada apa? Kenapa kamu bicara pelan begini?"
Maxim menghela nafas kasar. Ia mengurai pelukannya. "Entahlah. Aku merasa rumah ini terlalu sesak," jawab Maxim.
Pria itu sedang bingung, dengan siapa ia harus menjemput adik Ellena. Ia melakukan ini bukan hanya demi Ellena, tapi untuk dirinya juga.
Di ruang kerjanya benar-benar ada kamera tersembunyi, yang artinya, benar-benar ada pengkhianatan di rumah itu.
Dan kini, Maxim sedang merasa tidak percaya pada siapapun.
"Maksudnya apa Maxim?" tanya Leona.
Maxim terdiam beberapa saat, hingga ia teringat dengan satu ruangan yang hanya dirinya yang tau kunci ruangan tersebut.
"Kakak, panggil kakak ipar, ke lantai lima sekarang. Aku tunggu di sana," sahut Maxim sebelum mendapatkan persetujuan Leona, pria itu sudah melenggang pergi.
"Hah, eh, Maxim!" teriak Leona.
"Lah, beraninya dia memerintahku!" dengkus wanita itu. "Tapi, ada apa sebenarnya?" batinnya.
Melihat adiknya yang sedang serius dan tampak tertekan, membuatnya tidak bisa membantah. Ia segera memanggil suaminya, dan membawanya ke lantai lima, di mana Maxim sudah menunggu.
"Ada apa Maxim?" tanya Axel.
"Ayo masuk," ajaknya.
Leona bersedekap dada. "Sebenarnya kamu ini mau apa sih?" gumamnya segera mengikuti di susul Axel dari belakang.
Ruangan yang hanya berisi tiga rak buku yang berjejer dan sofa. Maxim menarik salah satu buku yang ada di sana, membuat rak tengah, seketika bergerak menjadi pintu masuk.
Leona dan Axel tidak kaget, mereka tau ruangan tersembunyi itu, hanya tidak tau bagaimana masuk. Karena sebelum memasuki ruangan sebenarnya ada sebuah pintu kokoh yang membutuhkan password untuk masuk.
Maxim tidak menjawab. Ia lebih dulu memasang sarung tangan, dan mengusap tombol kunci itu dengan tisu.
Ellena yang mengatakan jumlah kemungkinan pengkhianat yang ada, membuatnya melakukan setiap gerakan dengan hati-hati.
Setelah itu barulah ia menekan tombol demi tombol, tanpa dilihat oleh Leona dan Axel. Tidak butuh waktu lama pintu terbuka. Tidak ada apapun di sana. Ruangan yang hanya berupa tempat kosong. Bahkan ventilasi udara pun tidak ada.
"Ruangan apa ini Maxim? Pengap sekali?" tanya Leona sudah merasa sesak berada di tempat itu.
"Maxim, kamu mau bicara apa? Katakan dengan cepat, ruangan ini bukan tempat yang bisa ditinggali lama-lama. Tidak ada oksigen sama sekali?" tanya Axel dengan cepat.
"Ellena bilang di rumah ini ada orang-orang Felix. Jumlah yang dilihat Ellena lebih dari dua puluh orang. Ellena bilang, dia memperhatikan sesuatu yang ada di tangan mereka, dan sesuatu itu dimiliki semua orang yang ada di rumah Felix Willson. Aku harap kakak ipar, bukan bagian dari orang itu!" ucap
Maxim dengan tegas.
"Astaga," gumam Axel mengeluarkan respon pertamanya.
"Kamu percaya wanita itu?" timpal Leona ikut heran.
"Percaya dan tidak percaya," jawab Maxim cepat.
Axel memijat pangkal hidungnya, lalu menyahut. "Lalu kamu mau apa."
"Ellena tidak mengatakan siapa dan bagaimana, dan kita buat kesepakatan. Aku jemput adiknya yang selalu digunakan Felix mengancamnya."
Axel mengangguk pelan. "Aku tidak tau apa yang terjadi diantara kalian. Aku pun tidak bisa menerka dan membayangkannya, tapi aku paham maksud kamu. Kalau kamu percaya dengannya, dan akan bekerja sama, ayo kita jemput adiknya, dengan syarat ceritakan semuanya setelah ini selesai," sahut Axel membuat istrinya seketika melongo.
Jelas Maxim juga mencurigainya, dan Axel tidak melakukan pembelaan atau marah sedikit pun.
"Baik," jawab Maxim kini percaya penuh, setelah mendengar tanggapan Axel.
"Hey? Ini ...."
"Sudahlah Leona. Nanti saja protesnya. Kita keluar sekarang," sahut Axel memotong.
Leona hanya bisa menggeram kesal. Informasi yang setengah dan tidak jelas, ditambah ruangan yang pengap, membuat kepalanya serasa ingin meledak.
"Ellena aku harap kamu tidak menipuku!" batin Maxim.
aku pembaca setia mu😁
nah ini baru elena nya ngelawan, jgan diem aja sm maxim atau felix klo lgi di ancam...
update lgi thor....
bikin penasaran nih😁
knapa maxim gk peka sih klo elena hamil anaknya ?? jangan felix terus dong yg menang , kasiah maxim😑