Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERPULANGAN MA'HAD KEDUA
Tak terasa sudah seminggu berlalu. Aku merasa waktu semakin cepat berputar. Jadwal perpulangan Zahrana sudah keluar di grup WA ma'had sekolah X. Ternyata jadwal perpulangan kedua pada kali ini lebih dimajukan dari biasanya. Bila biasanya para siswa pulang pada hari Minggu pagi, maka kali ini para siswa sudah bisa pulang pada hari Sabtu pagi. Sekolah X hanya melakukan kegiatan belajar mengajar lima hari saja, yaitu pada hari Senin hingga Jumat. Aku segera bersiap-siap untuk menjemput Zahrana di ma'had sekolah X agar ia tak menungguku terlalu lama.
Pada perpulangan kedua kali ini, entah mengapa Zahrana membawa barang bawaan yang ia miliki hampir secara keseluruhan sehingga membuat perpulangan kali ini terasa berat sekali. Selain barang bawaan yang begitu banyak, aku juga membawa serta kedua anaklu yang masih balita, Mumtaz dan Arsenio.
"Ayo bu. Cepat pulang,"pinta Zahrana.
Aku mengangguk perlahan menanggapi perkataan putri sulungku.
"Iya mbak."
Sesampainya dirumah, aku melihat Zahrana dengan seksama. Aku merasa ia sangat berbeda sekali. Wajahnya tampak murung dan tidak ceria seperti pada awal masuk ma'had. Saat perjalanan pulang barusan, ia juga hanya diam, tak banyak berbicara ataupun berkeinginan untuk membicarakan sesuatu yang ia alami saat di ma'had. Sungguh, Zahrana semakin tampak berbeda sekali. Ia bukan lagi seorang gadis yang ceria, bahagia . Malah sebaliknya berbanding tiga ratus enam puluh derajat. Ia sekarang menjadi gadis pendiam dan pemurung.
Sesampainya di rumah, aku membongkar seluruh barang bawaan Zahrana dari ma'had di ruang tengah.
"Mengapa bajunya dibawa pulang semua Nduk? Nanti kalau berangkat ke sana lagi bawaanya bukannya akan bertambah berat lagi?" tanyaku pada Zahrana.
"Nggak apa-apa Bu. Aku akan mengganti semua bajuku yang ada di ma'had. Aku tidak mau lagi memakai gamis dengan motif bunga-bunga berwarna merah ini lagi. Aku juga tak mau lagi memakai gamis berwarna cream bermotif bunga dan kerudung berwarna kuning ini," ucap Zahrana sambil menunjuk ke arah gamis dan kerudung.
Dahiku mengernyit, tanda keheran karena semua gamis dan kerudung itu adalah favorit Zahrana selama ini.
"Kenapa mbak? Bukankah ini semua baju kesukaanmu?" tanyaku padanya lagi.
Zahrana terdiam sesaat. Raut muka berubah menjadi sendu
"Ghania ... mengatakan ... bahwa ... warna kuning itu seperti warna t** (kotoran manusia). Aku tak mau memakai gamis itu lagi. Aku hanya akan memakai baju dengan warna hitam atau putih saja."
Aku terdiam sesaat
"Bukankah kamu suka dengan baju warna pink, kuning, biru, ungu, hijau dan semua warna yang sangat cerah. Tumben sekali kamu memilih warna baju hitam atau putih saja? Sebenarnya, ada apa denganmu Nduk? Coba cerita pada ibu mbak," pintaku.
"Tidak apa-apa Bu. Aku akan mengganti seluruh bajuku hanya dengan warna hitam dan putih saja,"jelas Zahrana padaku.
Gadis itu mengatakan tidak apa-apa padaku. Namun dari raut wajahnya, aku tahu bahwa ia sangat gelisah sekali. Seperti ada sebuah ketakutan besar yang terpancar dari wajahnya.
Perpulangan kedua kali ini, selain membawa pulang baju hampir keseluruhan, Zahrana juga membawa alat lukis ke rumah. Kuas, cat cair dan kanvas. Kanvas yang kami beli saat itu ternyata tidak berguna karena guru ekstrakurikuler di sekolah X telah menyediakan kanvas tersendiri pada kelas melukis. Zahrana membawa kembali kanvas tersebut pulang ke rumah karena di sana juga tidak akan terpakai.
Zahrana juga membawa hasil lukisannya pada saat praktek di kelas ektrakurikuler melukis dan menggantungkannya di dinding kamar. Lukisan pemandangan pepohonan perpaduan warna hitam, biru, dan putih. Sesekali terselip warna coklat tua disana. Aku merasa hasil gambarannya sangat bagus.
Selama di rumah, Zahrana lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya sendiri untuk mengerjakan tugas sekolah atau hanya sekedar untuk tiduran saja. Padahal biasanya ia suka sekali bercengkerama denganku dan kedua adiknya di ruang keluarga sembari bermain bersama.
"Mungkin Zahrana merasa kelelahan selama ia berada di ma'had? Mungkin ia kurang tidur selama di sana?" Batinku yang berusaha menenangkan pikiran yang semakin bergemuruh.
Pada hari kedua liburan, yaitu hari Minggu, kukira Zahrana mau keluar dari kamar. Ternyata perkiraanku salah. Dia tetap saja berada di dalam kamar. Entah apa saja yang ia lakukan di dalam sana? Tidak biasanya ia melakukan hal yang seperti ini. Ia sangat suka sekali bersenda gurau dengan kedua adiknya, tapi kali ini Zahrana terlihat berbeda sekali. Ia seakan menjauh dari kedua adiknya, Mumtaz dan Arsenio, serta aku, ibunya. Aku semakin khawatir melihat sikap Zahrana yang seperti ini.
Saat kembali ke ma'had, Zahrana juga tidak bercerita apapun padaku. Ia hanya diam saja selama di perjalanan kembali ke ma'had pagi ini. Melihat sikapnya, aku semakin bingung dan semakin bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan Zahranaku?
Sikap Zahrana yang seperti itu membuatku semakin kepikiran dan membuatku merasa tak mampu untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Setiap hari, aku hanya memikirkan Zahrana yang jauh di sana. Bagaimanakah keadaannya? Apa dia baik-baik saja atau tidak? Hanya itu saja yang berputar dalam pikiranku. Aku merasa waktu seminggu terasa sangat lama sekali. Rasanya aku ingin segera hari Minggu saja agar aku bisa bertemu dengan Zahrana kembali.
Karena pikiranku hanya terpusat pada Zahrana, aku lebih banyak melamun dan tidak bisa mengumpulkan rongsokan seperti biasanya hingga aku tidak memiliki cukup uang pada sambangan minggu depan.
Aku meraih gawai di atas lemari dan mencoba menyekrol media sosial berwarna biru. Saat menyekrol, tertera di sana ada info lowongan kerja di daerah kota yang pekerjaannya memperbolehkan membawa anak kecil. Aku sangat tertarik dengan informasi lowongan pekerjaan tersebut.
urgent
dibutuhkan karyawan/ti di bidang catering. diperbolehkan membawa anak kecil, tapi mohon dikondisikan agar tidak rewel
biar tidak mengganggu yang lain
minat hubungi 085xxxxxxxxx
Aku melakukan screen shot pada info loker tersebut. Aku ingin merundingkan semua dengan Zahrana pada sambangan minggu depan.
Aku ingin mengatakan pada Zahrana bahwa aku ingin bekerja kembali. Aku tidak akan melakukan sambangan pada minggu pertama. Tapi aku akan menambahkan uang saku padanya. Baru pada minggu kedua, pada saat jadwal perpulangan, aku akan menjemputnya untuk pulang ke rumah. Setelah kupikir-pikir, bila tiap minggu harus bolak-balik ke ma'had sekolah X, aku mengeluarkan begitu banyak uang.Aku juga tidak bisa memikirkan pekerjaan atau hal yang lain karena pikiranku hanya terpusat pada Zahrana saja. Sedangkan di satu sisi, Aku juga harus memiliki pekerjaan yang tetap aga aku bisa mencukupi kebutuhan Zahrana, kebutuhan rumah tangga serta kebutuhan kedua anakku, Mumtaz dan Arsenio. Dengan datang ke ma'had sekolah sekali dalam dua minggu, setidaknya aku bisa lebih menghemat, baik dari segi waktu, tenaga dan uang. Aku hanya berharap pada Zahrana agar ia bisa memahami keadaaan dan posisiku saat ini.