Ritual yang dilakukan untuk menjadi penari yang sukses justru membuat hidup Ratri terancam, bagaimana nasib Ratri selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisa Bayangan di balik Tirai
Hujan sore itu baru saja reda. Aroma tanah basah bercampur wangi dedaunan memenuhi udara. Embun tipis mulai turun, menempel di rumput halaman rumah Ki Sastro yang kini menjadi tempat tinggal sementara Ratri. Bulan sabit menggantung redup di langit, seolah enggan memancarkan cahaya penuh.
Ratri duduk di serambi rumah kayu itu, mengenakan kain batik sederhana. Di pangkuannya, selendang lusuh yang dulu selalu menemaninya menari. Jemarinya menyentuh motifnya, seolah membaca setiap bekas lipatan kain itu seperti membaca lembaran kenangan.
Matanya memandangi hutan di kejauhan tempat segala kengerian itu pernah terjadi. Sekilas, ia merasa masih mendengar tabuhan kendang dan gemuruh gong yang dulu mengiringinya menari.
Suara langkah pelan terdengar dari dalam. Ki Sastro keluar, membawa dua cangkir wedang jahe yang mengepulkan uap hangat. Ia meletakkannya di meja kayu kecil, lalu duduk di samping Ratri.
“Wedang mu,” ucapnya pelan, menyerahkan salah satunya.
Ratri menyambut dengan senyum tipis. “Terima kasih, Ki.”
Mereka minum dalam diam. Hanya suara jangkrik dan tetesan air dari ujung atap yang memecah keheningan. Sesekali angin malam berembus, membawa aroma hutan basah.
Semua sudah berakhir,” ucapnya pelan, suaranya seperti ingin menenangkan.
Ratri hanya tersenyum tipis. “Berakhir, tapi… tidak hilang.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing yang memecah malam.
“Desa sudah tenang sekarang,” kata Ki Sastro, mencoba membuka pembicaraan.
“Tak ada lagi gangguan. Orang-orang mulai berani keluar malam. Anak-anak kembali bermain di alun-alun.”
Ratri mengangguk, tapi tatapannya masih tertuju pada hutan di kejauhan—tempat segala horor itu bermula.
“Tenang… tapi tidak berarti hilang, Ki,” suaranya pelan, nyaris seperti gumaman. “Bayangannya masih ada. Aku bisa merasakannya.”
Ki Sastro menoleh, melihat wajah perempuan muda itu yang kini tampak jauh lebih matang daripada beberapa bulan lalu. “Kau sudah melalui banyak hal. Wajar jika perasaan itu belum pergi.”
“Tapi rasanya… bukan hanya perasaan,” balas Ratri. Matanya menyipit, seolah mencari sesuatu di antara pepohonan gelap itu.
Dari kejauhan, hutan tampak gelap pekat, seperti menyembunyikan rahasia yang tak ingin diungkap. Ratri mengangkat cangkirnya, menyesap hangatnya wedang, namun matanya tetap terpaku pada kegelapan itu.
Lalu… sekelebat bayangan besar bergerak di antara pepohonan. Cepat, nyaris tak terlihat.
Ratri membeku. “Kau melihatnya?” tanyanya pada Ki Sastro.
Ki Sastro menoleh, tapi hanya menemukan hutan sunyi. Ia tersenyum samar, seolah tak ingin menambah ketakutan.
“Hanya imajinasi mu.”
Ratri tak menjawab. Tapi di dalam hatinya, ia tahu benar beberapa ritual tak pernah benar-benar selesai.
Di kejauhan, angin membawa suara samar… seperti suara topeng kayu beradu dan bunyi gong yang dipukul perlahan.
Tirai pun tertutup, tapi bayangan itu tetap ada.
---
Kabar dari Desa
Keesokan paginya, Ratri memutuskan berjalan ke pasar desa. Jalan setapak yang dulu terasa mencekam kini mulai ramai. Beberapa warga menyapanya, meski ada pula yang masih menunduk, entah karena malu atau takut.
“Ratri, terima kasih karena sudah menolong desa ini,” ujar Mbok Lastri, penjual sayur, sambil menyerahkan sebakul daun singkong. “Tanpa keberanian mu, entah apa jadinya kami.”
Ratri hanya tersenyum. “Bukan aku sendiri yang berjuang, Mbok. Semua orang ikut melawan.”
Namun ia tahu, di balik ucapan terima kasih itu, masih ada bisik-bisik. Beberapa orang menganggapnya membawa sial karena kedekatannya dengan dunia gaib. Ada pula yang percaya ia masih menyimpan kekuatan yang seharusnya tidak dimiliki manusia.
Saat berjalan pulang, ia melihat Surya—pemuda desa yang pernah membantunya. Luka di pelipisnya sudah mengering, tapi matanya tetap waspada. Ia menghampiri Ratri.
“Kau masih sering ke hutan?” tanya Surya tanpa basa-basi.
Ratri menggeleng. “Tidak. Tapi… aku merasa hutan itu belum selesai dengan kita.”
Surya menghela napas panjang. “Kalau begitu, jangan pergi sendirian. Kita tak pernah tahu… apa yang menunggu di sana.”
---
Malam yang Tenang, terlalu Tenang mungkin.
Malam itu, Ratri duduk sendirian di serambi. Ki Sastro sudah tidur, tapi matanya enggan terpejam. Bulan tersembunyi di balik awan, meninggalkan gelap yang pekat. Suara jangkrik menghilang, digantikan kesunyian aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara dug… dug… dug…
Suaranya pelan, seperti tabuhan kendang yang ditahan. Ratri berdiri, matanya menajam menatap arah hutan. Suara itu berhenti, digantikan desir angin yang membawa aroma dupa.
Dada Ratri berdesir.
“Tidak… ini tidak mungkin,” bisiknya.
Di antara pohon-pohon, sekelebat bayangan besar bergerak. Ratri tak bisa melihat jelas bentuknya, tapi ia tahu gerakan itu. Singo Barong. Bukan dalam wujud utuh, tapi seperti kabut hitam yang membentuk siluet kepala singa dengan mata menyala.
Ia menahan napas, tubuhnya tegang. Dadanya bergemuruh membuat darahnya ikut mendidih.
“Kau… belum pergi?” gumamnya lirih
Bayangan itu berhenti, seolah menatap balik padanya dari jauh.
Ia tak bergeming menatap sosok yang mengintimidasinya. Namun tidak lama , bayangan itu lalu menghilang, larut dalam kegelapan hutan.
---
Percakapan Terakhir
Keesokan harinya, Ratri menceritakan apa yang ia lihat pada Ki Sastro. Lelaki tua itu diam lama, menatap lantai seperti menimbang kata.
“Ada beberapa ritual, Ratri… yang tak pernah benar-benar berakhir,” ucapnya akhirnya
“Mungkin kita berhasil memutus rantai kekuatan itu, tapi bekasnya tetap ada. Bahkan kadang-kadang bekas itu bisa memanggil kembali.”
“Apa artinya kita akan menghadapi ini lagi?” tanya Ratri, matanya menatap serius.
“Tidak ada jawaban pasti. Tapi jika itu terjadi, kau sudah tahu apa yang harus dilakukan.” Ki Sastro menghela nafas panjang
Ratri menunduk, meremas selendang lusuh di tangannya. “Aku tidak akan lari lagi, Ki. Kalau bayangan itu kembali, aku akan melawannya sampai akhir.” jawab Ratri mantap
Ki Sastro menatapnya lama, lalu mengangguk. “Semoga saat itu kau tidak sendirian.”
---
Akhir yang Terbuka
Malam terakhir sebelum musim hujan, Ratri berdiri di tepi desa. Angin membawa suara-suara aneh dari hutan. Kali ini bukan hanya kendang, tapi juga bunyi gong yang dipukul perlahan, seperti dari dunia lain.
Ia memejamkan mata, membiarkan bunyi itu memenuhi telinganya. Jantungnya berdetak cepat, tapi bukan karena takut. Ada semacam panggilan… sebuah undangan.
Ketika ia membuka mata, di kejauhan, di antara kabut yang turun dari lereng, ia melihat siluet penari Reog—kepala singa yang menjulang, bulu-bulu yang bergoyang, dan mata merah yang menatap tajam.
Senyum tipis muncul di bibirnya. “Kalau kau ingin kembali… aku akan siap.”
Bayangan itu menghilang, tapi suara gong terus bergema di telinganya lama setelahnya.
Dan di langit, bulan pucat kembali keluar dari balik awan, seolah menjadi saksi bahwa kisah ini… belum sepenuhnya usai.