Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24 - Konspirasi Barat: Awal Pergerakan
Malam berikutnya.
Aku masih belum sepenuhnya pulih dari kejutan malam sebelumnya, tapi dunia ini tidak memberi ruang bagi orang yang terlalu banyak merenung.
Terutama kalau kau sedang mencoba bermain di meja para monster.
Dan tepat seperti dugaan... Kayla datang lagi.
Lewat balkon yang sama, dengan langkah anggun yang seolah menari di atas udara, ia mendarat ringan, membawa aura misterius yang bahkan malam pun tampaknya menghormatinya.
Aku yang tengah duduk di kursi, berpura-pura membaca, langsung menegakkan punggung. Napas sedikit tercekat.
Dia kembali lebih cepat dari dugaanku.
Kayla berdiri di hadapanku, satu tangan di pinggul, senyum tipis di wajahnya.
"Aku bawa hadiah," katanya, mengeluarkan gulungan kertas kecil yang terikat dengan pita hitam.
Aku meraihnya, membuka perlahan.
Mata ini—yang kini sudah terlatih membaca pola konspirasi berkat semua penelitian gilaku—langsung menegang.
Nama-nama.
Jejak uang.
Rantai informasi.
Semua mengarah ke satu kesimpulan mengerikan:
Pemberontakan di barat bukan pemberontakan biasa.
Aku menahan napas, membaca dengan cepat.
Para 'bandit' itu... bukan hanya sekadar gerombolan liar. Mereka adalah organisasi senyap yang sengaja dibentuk untuk menciptakan ketidakstabilan.
Mereka menyerang... lalu bersembunyi.
Mereka membakar... lalu memudar.
Tujuan mereka bukan mengalahkan Kerajaan Argandia secara langsung.
Bukan.
Tujuan mereka adalah menghancurkan citra Argandia. Menunjukkan kelemahan.
Mereka ingin menciptakan ilusi bahwa kerajaan ini tidak mampu menjaga wilayahnya sendiri...
Sehingga negara-negara kecil di bawah naungan Argandia akan mulai berpikir:
"Mungkin sudah saatnya kita melepaskan diri."
Ditambah dengan rumor yang terus disebarkan tentang 'Pangeran Lemah', maksudnya aku—memang... tubuh Arlan yang sebelumnya memang lemah, dan mereka memanfaatkannya... Ini... permainan ganda yang sangat licik.
Aku menggertakkan gigi, menggenggam keras gulungan itu.
"Siapa dalang utamanya?" aku bertanya, suara lebih serak dari biasanya.
Kayla menyeringai.
Dia mendekat, lalu berbisik:
"Marquis Delver."
Sebuah nama yang sudah lama menggangguku di sudut pikiranku, sejak pertama melihatnya di ruang rapat strategi.
"Tapi..." Kayla melanjutkan. "Dia hanya salah satu."
"Salah satu?!"
"Ya. Dan seperti ujung benang... Dia, kunci untuk mengurai benang kusut itu... Dan darinya... Semua nama bisa kau dapatkan."
Aku menatap Kayla, mencari tanda-tanda kebohongan.
Tapi dia hanya menatap balik dengan mata seolah berkata: "Aku sudah menyerahkan semua kartuku, kini giliranmu percaya atau tidak."
Aku memejamkan mata sejenak.
Semua ini terlalu cepat.
Terlalu berbahaya.
Terlalu... sempurna.
Tapi...
Kalau ini benar, maka aku baru saja menemukan jalan pintas menuju inti konspirasi. Sesuatu yang bahkan Raja Argus dan para menteri setianya belum sadari.
Aku membuka mata, dan berkata pelan:
"...Kau benar-benar berbahaya, Kayla."
Kayla tertawa kecil, meletakkan telunjuk ke bibirnya.
"Dan kau menyukainya, kan?"
Aku menghela napas panjang, lalu mengangguk.
"Baiklah. Aku percaya padamu—untuk sementara."
Mata Kayla berbinar, wajahnya merona dengan kepuasan.
Aku berdiri dari kursi, mendekat.
"Tapi ingat," aku berbisik di telinganya, "sekali saja aku merasa kau berkhianat... Aku akan mengejarmu sampai ke ujung dunia."
Kayla tersenyum manis—dengan sedikit kegilaan di dalamnya.
"Itu membuatku semakin jatuh cinta padamu, Pangeran."
Sial.
Wanita ini benar-benar berbahaya di semua level.
Dia mundur satu langkah, berdiri di tepi balkon.
"Ini mungkin pertemuan terakhir kita untuk sementara," katanya, "aku harus kembali ke kerajaanku. Ada beberapa 'benih' yang perlu kutanam di sana."
Eh? Benih? Tapi—ya, sudahlah... Aku mengangguk.
"Pergilah. Tapi ingat, mata-mataku juga akan mengawasimu."
Dia melemparkan ciuman udara—terlalu provokatif untuk seorang Putri kerajaan—lalu melompat ke malam yang pekat.
Aku berdiri di sana cukup lama, memandangi kegelapan tempat dia menghilang. Dalam genggamanku, gulungan kertas kecil itu terasa lebih berat daripada pedang.
Marquis Delver...
Pemberontakan senyap...
Negara-negara kecil yang bisa meledak kapan saja...
Dan di tengah semua ini, aku—pangeran kecil yang dianggap lemah—harus bermain peran lebih dalam dari sebelumnya.
Aku tersenyum miring.
"Baiklah," bisikku ke udara malam, "kalau ini permainannya...
Aku akan memainkannya dengan caraku sendiri."
Pagi hari berikutnya.
Udara di balkon kamar masih dingin, sisa-sisa embun masih menggantung di ujung tanaman rambat.
Aku berdiri di sana, memandangi langit yang mulai berwarna biru pucat. Di dalam hati, masih bergolak.
Informasi dari Kayla semalam benar-benar seperti melempar bom ke kepalaku.
Pemberontakan di barat...
Marquis Delver...
Raja yang belum tahu bahwa ia mungkin tengah dipandu oleh tangan musuh sendiri...
Aku menghela napas panjang.
"Aku harus berbicara langsung dengan Ayah...," gumamku sambil berbalik.
Tanpa buang waktu, aku memanggil Lyra—pelayan suaranya seksi tapi mulutnya lebih tajam dari pisau dapur.
Tak perlu waktu lama, pintu kamar sudah terbuka dengan suara "KREEEEK!", dan Lyra masuk sambil membawa nampan penuh sarapan.
"Yuhuuu~. Tuan Muda! Pagi! Mau disuapin sambil aku berdiri di satu kaki kayak flamingo?" katanya sambil setengah menari aneh-aneh.
Aku memijit pelipis.
"Lyra, aku perlu kau antar ke tempat Ayah. Sekarang."
Lyra berhenti setengah jalan.
Wajahnya berubah sedikit kaget.
"Ehh? Mau ketemu Raja? Sekarang? Wah wah wah... Gawat ini...!"
Dia meletakkan nampan dengan bunyi 'duk' kecil, lalu mulai berjalan mondar-mandir seperti ayam kehilangan arah.
Aku menaikkan satu alis.
"Apa yang gawat?"
Dia mendekat, menundukkan badan sampai wajahnya hampir menempel di mukaku.
Dengan ekspresi serius—yang entah kenapa malah bikin dia makin kelihatan konyol—Lyra berbisik:
"Raja Argus itu udah dua hari pergi dari istana, Tuan Muda."
Aku berkedip.
"...Apa?"
Lyra mengangguk semangat.
"Iyaaa! Pergi ke barat! Katanya mau ketemu Jenderal Harven di pos pertahanan perbatasan Gunung Tandus!"
Hatiku langsung menegang.
Gunung Tandus... Pos pertahanan itu adalah kunci dalam menahan invasi dari arah barat.
Aku mencoba tetap tenang.
"Apa alasannya? Kenapa Ayah sampai harus ke sana sendiri?"
Lyra mengangkat satu jari, bergaya sok dramatis.
"Karena supply makanan dan logistik di pos itu anjlok! Kerajaan-kerajaan kecil yang biasa ngirim bahan makanan, tiba-tiba berhenti ngirim! Alasannya... serangan pemberontak makin parah! Tapi tenang... Yang Mulia pergi melalui jalur aman yang ditunjukkan tuan Delver"
Aku menggertakkan gigi.
Tepat seperti laporan Kayla.
Dan tentu saja...
Kalau mereka sudah kehabisan makanan di perbatasan, artinya pasukan di sana mulai melemah...
Artinya, pertahanan Argandia mulai bocor...
Dan artinya... para negara kecil itu mulai melirik peluang buat memberontak.
Tapi yang paling bikin merinding...
"Ayah melewati jalur aman yang ditunjukkan Delver, katamu?" tanyaku pelan, mencoba memastikan.
Lyra—yang sekarang lagi asyik mengupas apel dengan skill penuh gaya—mengangguk santai.
"Yup! Katanya tuan Marquis Delver baik banget, bantu kasih peta jalur aman gitu! Yang ngelewatin lembah sunyi dan ngurangin risiko ketemu bandit!"
Aku memejamkan mata.
Sial.
Kalau ini beneran perangkap...
Kalau Delver benar-benar sudah sejauh itu merencanakan...
Aku membuka mata lagi, penuh tekad.
"Lyra."
"Ya?" jawabnya sambil menempelkan irisan apel ke pipinya kayak masker spa.
"Siapkan kudaku. Aku mau keluar istana!"
Lyra mematung.
Lalu—
"EEEEHHHHHHHHHHHH?!?!"
Suara teriakannya mungkin bisa bikin burung-burung di taman belakang pingsan massal.
"A-Apa?! Tuan Muda mau ke luar?! Naik kuda?! Sendirian?! A-Apa aku harus menyiapkan rombongan badut istana buat pengalihan perhatian?! ATAU BALON? BALON SELALU MENYENANGKAN!"
Aku terdiam sebentar.
"...Bukan badut. Dan aku butuhmu tetap di sampingku, bukan ngibarin balon."
Lyra menghela napas, memegangi dadanya yang dramatik.
"Huuuuhh... Oke deh, oke... Tapi janji, jangan tiba-tiba kabur kayak drama cinta murahan di novel murahan ya?"
Aku mengangguk.
"Beritahu Kaela juga. Suruh dia kumpulkan anggota Bulan Merah dan temui aku di halaman istana!"
"SIAAAPPP BOSSS!" Lyra lari terbirit.
Sementara dalam hatiku, aku sudah membuat keputusan.
Kalau benar ini semua ulah Delver, maka aku harus segera menggerakkan rencanaku.
Aku harus membangun jaringan lebih cepat.
Menanamkan pengaruh.
Sebelum kerajaan ini runtuh dari dalam.
Aku menatap langit biru pucat itu lagi.
Hari ini akan menjadi awal gerakanku.
Dan mungkin...
Hari ini juga aku harus belajar, untuk pertama kalinya,
Bagaimana caranya menjadi 'monster' di dunia para monster.