Duda tampan dan kaya menjadi incaran para wanita lajang, tetapi sama sekali tidak tertarik menikah lagi karena masih mencintai mantan istri yang telah direbut oleh pria lain.
Saat berencana untuk hidup melajang dengan gelar 'Duren', tetapi gagal karena sang ibu sibuk mencarikan wanita untuk dijodohkan dengannya.
Sampai ia memiliki jalan keluar untuk mencari seorang wanita untuk dijadikan istri kontrak demi mengelabuhi sang ibu.
Akankah Duren ini menemukan seorang wanita yang sesuai dengan kriterianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dianning, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hal penting
"Kamu boleh menertawakanku kalau mau. Kamu boleh mengejekku bodoh. Kamu boleh mengataiku lemah karena begitulah adanya sekarang." Alesha berbicara lurus, tetapi begitu jelas nada putus asa yang keluar dari mulutnya.
Alesha kini terkekeh untuk mencoba menguraikan suasana menegangkan itu. "Aku tidak mau membuang-buang energiku untuk hal-hal begitu."
"Kalau dipikirkan dengan seksama, sepertinya wanita ini adalah seorang yang sangat hebat."
Alesha menerawang, kini menatap Rafael dengan tatapan menggoda. "Lihat bagaimana dia bisa membuat seorang yang begitu sempurna sepertimu tidak bisa melupakannya."
"Padahal aku yakin, bahwa di sekitarmu banyak sekali wanita-wanita yang mengantri. Wah-wah ... dunia ini ternyata memang tidak bisa berotasi pada satu arah saja."
"Manusia itu benar-benar seperti representasi alam semesta. Banyak sekali galaksi-galaksi di alam semesta ini dan mereka semua memiliki pusatnya masing-masing. Sayangnya, terkadang yang orang lihat hanyalah matahari yang menjadi pusat tata surya."
"Padahal di dalam galaksi itu ada pusat-pusat revolusi yang lain." Alesha bergumam sendiri.
Rafael yang mendengarnya kini mengernyit. "Apa maksudmu?"
Alesha kini menggelengkan kepala dan kembali berkomentar. "Bukan apa-apa, itulah maksudnya."
"Apakah kamu tahu orang seperti aku ini tak pernah memikirkan hal yang serupa di masa lalu? Aku ini manusia yang sangat konyol. Kamu tahu? Aku sedari dulu hidup di dalam cerita dongeng-dongeng yang tidak nyata."
"Aku tidak tahu harus menganggap itu masa-masa indah atau masa-masa yang gelap, sebab aku buta. Aku memang tak pernah berpikir menjadi pusat dunia, tetapi selalu berpikir seperti menjadi tokoh utama dalam suatu kisah.
"Aku selalu hidup dengan baik dan bahagia dalam fantasi karena sebenarnya bagiku, bahagia itu sangat sederhana."
Alesha kini menatap langit yang kini menunjukkan bulan dan bintang-bintang yang tampak ceria. Langit begitu cerah hari ini, seakan sedang menghibur manusia-manusia yang sedang tersesat.
"Namun, aku tidak pernah memikirkan bahwa akan menemukan sebuah kesialan besar. Aku tidak pernah berpikir bahwa duniaku sewaktu-waktu akan diguncangkan oleh suatu momentum yang besar."
"Karena aku berpikir adalah Dewi Fortuna. Aku berpikir bahwa keberuntungan akan selalu mengelilingiku, tetapi ternyata tidak." Wanita itu kini menurunkan intonasinya.
"Kalau dipikir-pikir, kita itu cukup mirip. Terlebih, saat aku datang ke rumahmu." Alesha melanjutkan perkataannya, menyimpulkan dengan pandangan lurus. "Melihatmu, sepertinya kamu tumbuh dibesarkan dengan penuh cinta."
"Seseorang yang tumbuh dibesarkan oleh cinta, sampai-sampai tidak tahu kalau cinta tidak dapat tumbuh sembarang dan dipupuk di mana saja."
Rafael kini menoleh. "Kamu juga mencintai seseorang yang tidak mencintaimu?"
"Bukan begitu dan tidak sesederhana itu."
Alesha memandang ke depan dengan pandangan kosong. "Aku mencintai seseorang yang tidak kukenal. Aku tidak mengetahui seperti apa wajahnya. Aku mencintainya, tetapi hanya dengan merindukannya, agar bisa menyampaikannya."
Alesha menoleh ke samping, merasa ditatap dengan sorot kebingungan. Melihat wajah kebingungan Rafael, sesaat membuatnya terkekeh kecil.
"Dia adalah ayahku. Dia sudah meninggal bahkan sebelum aku memiliki ingatan yang bisa dibawa ketika bertumbuh dewasa."
Rafael tersentak, mendadak merasa tak enak mendengar cerita Zaara saat ini, tetapi melihatnya sekarang, alih-alih merasa sedih, wanita itu malah terlihat begitu bersahabat dengan kalimat-kalimat yang diucapkannya. Seperti seseorang yang sedang menceritakan dongeng untuk anak kecil.
Alesha kemudian kembali meluruskan pandangannya ke depan. "Ibu mencintainya dengan cara mencintai kenangannya. Bunga lavender itu, yang selalu menjadi perayaan setiap ulang tahunnya dan aku ...."
"Aku adalah kenangan mereka satu-satunya yang selalu ingin ibu jaga. Begitulah cara cinta saling menggantikan peran."
"Akan tetapi, ketika semakin dewasa, aku semakin sadar, meski meniru caranya, cinta tidak bisa ditumbuhkan oleh sembarang tangan."
Alesha kini tersenyum tipis. "Mungkin aku terlalu ingin mencintainya sampai tidak tahu bagaimana cara mencintainya. Karena aku tidak pernah mengenalnya."
Kemudian Alesha kini menoleh, matanya kemudian berhenti pada pandangan pria yang sedang menatapnya juga. "Kenapa? Kamu terharu?"
Wanita itu kemudian memasang wajah mencibir. "Tidak usah merasa terbebani begitu karena aku bercerita seperti ini. Aku sudah terbiasa menceritakan cerita ini kepada para penjaga toko bunga agar diberi harga murah."
Alesha menahan senyumnya, kemudian perlahan tawanya pecah. "Astaga! Ekspresimu lucu sekali."
Rafael kini membuang napasnya seraya mengerutkan dahi. Aneh. Terkadang wanita ini benar-benar aneh sampai membuatnya merinding sendiri.
Alesha kemudian menghentikan tawanya.
"Tunggu dulu." Ia kini menatap Rafael sambil memainkan rahangnya. "Aku berkali-kali berpikir, kamu ini lelaki yang sempurna, baik hati, tetapi bagaimana bisa hati mantan istrimu tidak tergerak sama sekali?"
Sesaat kemudian ia kembali bersuara dengan intonasi serius. "Aku rasa jawabannya hanya satu. Sekarang aku mengerti mengapa cinta itu seringkali diekspresikan dengan bunga. Karena cinta itu seperti bunga."
"Bunga hanya bisa tumbuh di tanah yang tepat, di tangan yang tepat dan dirawat dengan baik. Baru dia bisa tumbuh dengan sempurna."
"Kamu terlalu banyak berasumsi." Kalimat disuarakan dengan intonasi datar dari si tuan.
Sulit bagi Rafael untuk menerjemahkan jutaan frasa yang sedang mengacak-acak isi kepalanya sekarang.
Ucapan mantan istrinya yang memintanya untuk menikah masih saja berkeliaran dalam bayangan kosongnya.
Rafael tidak bisa mengerti segala bentuk paragraf yang berkecimpung dalam simpul tali perasaanya sekarang. Simpul yang mungkin sudah lama tak ia sentuh atau berusaha dilepas dengan paksa lagi karena sudah merasa cukup berdarah-darah.
"Itu bukan asumsi." Alesha menyeletuk, kini bersiap menyuarakan pembenaran. "Ini hanyalah pemahamanku. Sudah aku bilang, bukan? Meski pemahaman kita tentang cinta berbeda, tetapi kita cukup mirip."
Alesha kini menarik napasnya kuat-kuat, sambil meregangkan ototnya yang mendadak kaku karena sedari tadi duduk di posisi yang sama.
"Kamu harusnya berterima kasih karena aku mau menemanimu bercerita. Aku mengerti, sangat menyedihkan memang ketika mantan kekasih yang masih dicintai malah menyuruh menikah lagi." Alesha menyipitkan matanya dengan pandangan mencibir. "Untung saja tadi ibuku sedang tidur."
Alesha kemudian menyilangkan tangan di depan dadanya. Itu adalah pelanggaran poin dalam kontrak itu. Pikirkanlah cara untuk menebusnya."
Rafael kini tersenyum tipis. "Tidak perlu khawatir. Tidak kamu ingatkan pun, aku sudah mengingatnya."
"Kalau semakin banyak diamati begini, ternyata sangat berbeda." Rafael menatap lurus ke depan.
Alesha menoleh dan mengerutkan kening. "Apa?"
"Sewaktu pertama kali bertemu denganmu, aku pikir kamu mirip dengan mantan istriku. Bahkan nama kalian sama." Rafael menjawab singkat.
Alesha kini sontak menoleh. "Sungguh? Aku memiliki nama yang sama dengan dia?"
Refleks Rafael mengangguk. "Nama panggilannya Aeleasha. Karena itu, saat teman-temanmu memanggilmu, aku langsung menargetkanmu, yang kebetulan saat itu dalam keadaan yang sangat genting."
"Wah, cinta memang benar-benar membuat seseorang menjadi buta, ya. Aku tidak mungkin betulan mirip dengan dia, bukan?" Wanita itu berbicara dengan nada pelan.
Kemudian Rafael kini menatap Alesha lekat-lekat. Mengamatinya dari dekat.
Rambutnya hitam legam dan terlihat sehat, meski sekarang cukup berantakan karena seharian tidak disisir. Hidungnya sedikit mancung. Bibirnya tidak terlalu tipis, tetapi juga tidak tebal. Entahlah, semakin diamati, Rafael semakin tidak mengerti.
"Mana mungkin ada wanita yang lebih memesona dari aku. Nyaris tidak mungkin. Sepertinya tidak ada." Wanita itu bergumam sendiri, membuat Rafael kini berdecak kesal.
Sangat berbeda dengan Alesha yang kini tertawa.
"Aku tidak tahu kalau kamu memiliki kepercayaan diri setinggi itu. Membuatku merinding saja." Rafael menggesekkan telapak tangannya pada kedua lengannya sambil mengalihkan pandangan.
Sayup-sayup tawa di sebelahnya berhenti, berganti deheman yang berujung dengan atmosfer hening yang serius.
"Katakan." Wanita itu tiba-tiba menyeletuk.
Rafael menoleh, menatapnya dengan sorot bertanya-tanya. Satu alisnya kini terangkat.
Alesha kini melipat tangannya di depan diafragma. "Sepertinya ada sesuatu yang belum kamu sampaikan."
Rafael seketika terpaku, jantungnya berdesir. Benar. Benar sekali. Bagaimana wanita itu bisa tahu dengan jelas? Akan tetapi yang lebih membuat ritme napasnya tidak karuan adalah satu, harus Rafael katakan sekarang atau tidak. Ia mendadak ragu dengan keputusannya.
"Kenapa? Aku benar, bukan?"
Rafael mengangguk, kini mengembuskan napasnya perlahan.
"Benar. Ada satu hal penting yang ingin kukatakan."
To be continued...