Jodoh itu unik.
Yang selalu diimpikan, tak berujung pernikahan. Yang awalnya tak pernah dipikirkan, justru bersanding di pelaminan.
Lintang Jelita Sutedjo dan Alan Prawira menikah atas dasar perjodohan kedua orang tuanya. Selisih usia 10 tahun tak menghalangi niat dua keluarga untuk menyatukan anak-anak mereka.
Lintang berasal dari keluarga ningrat yang kaya dan terpandang. Sedangkan Alan berprofesi sebagai dokter spesialis anak, berasal dari keluarga biasa bukan ningrat atau konglomerat.
Pernikahan mereka dilakukan sekitar empat bulan sebelum Lintang lulus SMA. Pernikahan itu dilakukan secara tertutup dan hanya keluarga yang tau.
Alan adalah cinta pertama Lintang secara diam-diam. Namun tidak dengan Alan yang mencintai wanita lain.
"Kak Alan, mohon bimbing aku."
"Aku bukan kakakmu, apalagi guru bimbelmu yang harus membimbingmu!" ketus Alan.
"Kak Alan, aku cinta kakak."
"Cintaku bukan kamu!"
"Siapa ??"
Mampukah Lintang membuat Alan mencintainya? Simak kisahnya.💋
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 - Malam Mingguan
"Mau gosok tuh kakimu," jawab Alan. "Lihat, kakimu yang awalnya putih bersih sekarang malah jadi item jelek begini kayak abis injak ta_i ke_bo!" seru Alan berbalut canda.
"Salah siapa aku begini? Biarin aja aku item jelek dekil!" balas Lintang yang masih kesal dengan Alan, tapi hatinya tetap cinta sama pria di depannya saat ini.
"Salahkan tuh dokter sialan!" ujar Alan.
"Ngatain diri sendiri," sindir Lintang.
"Ayo nurut sama suami! Kalau enggak nurut, nanti aku setrap!" ancam Alan.
Lintang hanya bisa memutar kedua bola matanya jengah usai mendengar godaan Alan.
Segera Alan dudukkan Lintang di marmer pinggir bathtub.
Dengan telaten, ia berj0ngkok lalu mencuci kaki Lintang menggunakan sabun hingga bersih. Lintang memilih diam dan menuruti semua perintah Alan.
Tak dapat dipungkiri perhatian dari Alan padanya malam ini, membuatnya terharu. Suaminya itu baru pertama kali memberikan perhatian seperti ini.
Setelah selesai acara cuci kaki, Alan menyuruh Lintang mencuci wajahnya yang sembab. Kini keduanya sudah keluar dari kamar mandi.
"Kenapa aku harus ganti baju? Apalagi ini bukan baju tidur!" cecar Lintang seraya tangannya menerima kaos serta celana jeans miliknya dari Alan.
"Malam ini aku pengin ajak kamu keluar,"
"Pergi ke mana malam-malam begini?"
"Malam mingguan,"
"Ini kan udah malam, Kak."
Kedua mata Lintang seraya melihat ke arah jam dinding yang menempel di kamar mereka. Saat ini menunjukkan pukul sebelas malam.
"Lagi pula kata mami enggak boleh keluar malam-malam. Anak gadis wajib sampai di rumah sebelum jam sepuluh malam. Kata mami begitu," ucap Lintang yang mengingat betul nasehat ibunya.
Alan tersenyum tipis, bahkan Lintang tak tau senyuman itu. Dikarenakan sejak tadi Lintang terus menundukkan kepalanya. Lintang hanya sesekali melihat ke arah Alan.
Tanpa sadar Alan merasa bahagia karena orang tua Lintang mendidik istri kecilnya tersebut dengan disiplin yang cukup tinggi dan norma-norma yang baik ala tempo dulu.
Pola-pola didikan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka yang tak pernah hilang walaupun perubahan zaman ala modern yang terus bergerak semakin maju.
"Pakai saja, kan kamu keluar sama suamimu sendiri bukan orang lain. Ajaran mami memang benar. Tapi, itu berlaku saat kamu belum menikah. Kalau pun setelah kamu menikah, lihat dulu siapa yang ngajak keluar malam-malam. Mengerti?"
"Jadi kalau pergi sama kakak malam-malam begini, enggak apa-apa?"
"Gak ada masalah dan gak ada yang melarang juga. Justru dianjurkan karena dapat pahala,"
"Memangnya kita mau pergi ke mana?"
"Ada deh. Mau tau aja atau mau tau banget?" goda Alan.
Seketika Lintang mengerucutkan bibirnya ke depan, mirip itik lagi ngambek. "Nyebelin banget!" ketusnya.
Drama suami-istri beda usia itu akhirnya selesai. Mereka berdua sudah rapi dan siap bermalam mingguan ria untuk menjela_jah Kota Bandung.
Srett...
Alan membantu menutup resleting jaket Lintang. Tak lupa juga Alan memakaikan masker di wajah Lintang untuk menjaga kesehatan sang istri dan lebih privasi.
"Kita naik motor, Kak?" tanya Lintang cukup heran karena Alan mengambil kunci motor dan menyalakannya. Lintang pikir, Alan akan bawa mobil.
"Kalau malam minggu begini jalanan pusat kota selalu padat. Lebih enak naik motor bisa sat-set,"
"Oh begitu," cicit Lintang dengan mimik wajah polosnya.
Ini pertama kalinya Lintang dibonceng oleh Alan menggunakan sepeda motor warna hitam milik sang suami.
Bahkan Lintang sempat heran melihat perubahan sikap Alan padanya. Suaminya itu ikut membantu dirinya ketika memasang helm di kepalanya.
"Gimana, udah siap?" tanya Alan. Keduanya kini sudah duduk di atas jok motor.
"Iya," jawab Lintang singkat.
"Jangan lupa sabuknya,"
"Sabuk?" Lintang mengerutkan keningnya. "Sabuk apa, Kak? Kan kita enggak pakai mobil,"
"Rentangkan kedua tanganmu ke depan," titah Alan.
Lintang pun otomatis mengikuti perintah Alan dengan wajah polosnya dan tanpa bertanya atau protes.
Kemudian Alan langsung menyabukkan kedua tangan Lintang hingga ke depan perutnya. Sontak tubuh Lintang maju hingga menempel erat di punggung Alan.
Semburat merah tiba-tiba bermunculan di wajah Lintang tanpa permisi. Beruntung ia memakai masker dan helm, sehingga Alan tak bisa melihat wajah meronanya saat ini. Tersipu malu.
"Kalau naik motor, cara sabuknya begini." Ujar Alan.
Tiba-tiba pikiran Lintang teringat dengan Gendhis. Sebab, hatinya masih ada sejumput kesal dengan sahabat suaminya tersebut. Walaupun notabene Gendhis masih kerabat dengan dirinya.
Yang Lintang tak habis pikir, Gendhis sudah menikah tapi juga masih berteman dekat lawan jenis yakni Alan-suaminya. Entah apa maksudnya, Lintang pun tak tau.
Dikarenakan pada kehidupan keluarga Lintang, baik orang tua maupun kakak-kakaknya tak punya teman dekat lawan jenis. Papi Aryo berteman dekat ya sesama pria, begitu pun teman dekat Mami Sinta sama-sama wanita.
"Apa Mbak Gendhis pernah naik motor kakak juga seperti ini?"
Bersambung...
🍁🍁🍁
apa hubungannya sama alan ...
nek..nenek rombeng?