NovelToon NovelToon
A Promise Between Us

A Promise Between Us

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Akhir perjalanan Fira

Suasana rumah sakit begitu tenang, hanya suara mesin monitor detak jantung yang terdengar teratur. Tasya sudah berbaring di ranjang pasien, wajahnya pucat tapi lebih damai setelah mendapatkan infus dan perawatan luka. Napasnya lebih teratur, meski sesekali tubuhnya masih gemetar kecil akibat trauma.

Di samping ranjang, Revan duduk tak bergeming, jemarinya menggenggam erat tangan Tasya. Pandangannya tak lepas dari wajah wanita itu, seolah takut jika ia akan kehilangan Tasya jika melepaskan sedikit saja.

Pintu kamar terbuka pelan. Bella masuk dengan langkah mantap, namun sorot matanya jelas menyimpan kekhawatiran mendalam. Begitu melihat keadaan Tasya, Bella langsung menghampiri ranjang, menyentuh pelan lengan pasien kesayangannya itu.

"Syukurlah kamu selamat, Sayang …" ucap Bella lirih, menahan isak. Ia mengusap rambut Tasya dengan lembut, memastikan gadis itu sudah aman.

Revan mendongak, wajahnya tegang, mata memerah akibat terlalu lama menahan emosi. "Ma … aku hampir kehilangan dia." Suaranya pecah, parau, seperti ditikam dari dalam. "Kalau aku datang terlambat sedikit saja—"

Bella cepat-cepat menangkup wajah putra sulungnya itu dengan kedua telapak tangan, memaksanya menatap. "Revan, dengarkan aku. Kamu sudah menyelamatkan Tasya. Dia ada di sini sekarang, bernafas, karena kamu."

"Tapi, Ma …" Revan menunduk, jemarinya bergetar menggenggam tangan Tasya semakin erat. "Aku nggak bisa berhenti mikir … kalau semua ini salahku. Kalau saja aku lebih cepat … kalau saja aku lebih hati-hati menjaga dia …"

Bella menarik napas panjang, lalu menghela perlahan. Ia tahu, rasa bersalah anaknya bisa menghancurkan dirinya sendiri. "Revan, kamu laki-laki yang kuat. Tapi bahkan orang sekuat kamu pun tidak bisa mengendalikan semua hal. Yang penting sekarang, Tasya sudah di sini. Dia butuh kamu, bukan penyesalanmu."

Revan memejamkan mata, air mata akhirnya jatuh. Ia menunduk, merapatkan wajahnya ke tangan Tasya yang dingin tapi masih hangat oleh kehidupan. "Aku janji, Ma … aku nggak akan biarkan ada siapa pun menyakitinya lagi. Apa pun caranya."

Bella tersenyum tipis, meski matanya ikut berkaca-kaca. Ia mengusap bahu Revan, memberi kekuatan. "Itu yang ingin Mama dengar. Kau melindungi dia … bukan hanya dengan kekuatanmu, tapi juga dengan hatimu."

Saat itu, Tasya bergerak kecil, kelopak matanya bergetar sebelum perlahan terbuka. Pandangannya buram, tapi ia segera menemukan sosok Revan yang menunduk di sisinya, dan Bella yang tersenyum hangat.

"Revan …" suara Tasya lirih, nyaris berbisik.

Revan langsung mendekat, wajahnya penuh ketegangan yang berubah jadi lega. "Aku di sini, Tas. Aku nggak akan kemana-mana."

Bella mengelus pipi Tasya dengan lembut. "Istirahatlah, Sayang. Kamu aman sekarang. Tante di sini, dan Revan juga."

Air mata mengalir di sudut mata Tasya, tapi untuk pertama kalinya malam itu, ia bisa tidur lagi dengan perasaan lebih tenang.

Tak lama setelah Tasya kembali terlelap, suasana kamar menjadi lebih tenang. Revan masih duduk di tepi ranjang, tatapannya tak lepas dari wajah pucat itu. Ia mengusap pelan punggung tangan Tasya, memastikan gadis itu merasa hangat dalam genggamannya.

Ponsel Revan yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar. Ia cepat-cepat meraihnya, takut kabar buruk lain datang. Nama Aldo tertera di layar.

"Ya, Do?" suara Revan serak, masih dipenuhi kewaspadaan.

Di seberang sana, suara Aldo terdengar jelas meski agak terengah. "Pak Revan, Fira sudah berhasil di tangkap. Dia sekarang dalam perjalanan ke kantor polisi."

Revan terdiam sesaat. Rahangnya menegang, napasnya memburu. Ia menoleh sekilas pada Tasya yang masih tidur lemah, lalu berdiri pelan agar tidak mengganggunya.

"Benarkah?" suaranya berat, penuh amarah yang ditahan.

"Benar, Pak. Dia mencoba kabur, tapi kami sudah kepung jalannya. Sekarang dia tidak bisa ke mana-mana lagi," jawab Aldo mantap.

Revan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Ada rasa lega luar biasa karena ancaman terbesar itu sudah tertangkap, tapi juga bara api dendam yang makin membara. "Kalian lakukan yang terbaik. Pastikan polisi tidak membiarkannya keluar dengan mudah. Aku ingin dia membayar semuanya."

"Tenang, Pak. Pak Bram sedang pastikan semua bukti masuk. Tidak ada celah untuk Fira lolos kali ini."

Revan menutup telepon dengan tangan bergetar, lalu berdiri menatap keluar jendela rumah sakit. Lampu kota berkelip di kejauhan, tapi pikirannya hanya dipenuhi satu hal, Fira akan segera membayar mahal atas setiap luka di tubuh Tasya.

Bella yang sejak tadi memperhatikan, mendekat dengan langkah pelan. "Kabar baik?" tanyanya hati-hati.

Revan mengangguk singkat. "Dia sudah tertangkap."

Bella menarik napas lega, tapi tatapannya tajam saat menatap putranya. "Ingat, Revan. Biarkan hukum yang berjalan. Jangan sampai kebencianmu membuatmu hilang kendali."

Revan menoleh, sorot matanya dingin, tapi ada luka yang nyata di dalamnya. "Mama, aku akan biarkan hukum berjalan. Tapi sebelum itu … aku sendiri yang akan melihat Fira. Dia harus tahu siapa yang dia hadapi."

---

Malam itu, setelah memastikan Tasya dalam pengawasan perawat dan ditemani Bella, Revan akhirnya melangkah keluar rumah sakit. Mobil hitamnya meluncur cepat menembus jalanan kota menuju kantor polisi.

Begitu sampai, Bram dan Aldo sudah menunggunya di depan. Wajah Bram serius, sementara Aldo menunduk hormat.

"Dia ada di dalam," kata Bram singkat, menatap Revan penuh pengertian.

Revan tidak menjawab, hanya berjalan dengan langkah besar. Sepatunya bergema keras di lantai koridor kantor polisi. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras, tangannya terkepal.

Sebuah pintu besi terbuka, memperlihatkan ruangan interogasi. Di balik kaca buram, Fira duduk dengan tangan terborgol, wajahnya masih penuh amarah dan tak menyesal sedikit pun.

Saat Revan masuk, Fira menoleh dan tersenyum sinis. "Akhirnya datang juga."

Revan berhenti beberapa langkah di depannya, tatapannya menusuk. "Kau beruntung polisi yang lebih dulu menangkapmu. Kalau aku yang lebih dulu … kau tak akan duduk di kursi itu sekarang."

Fira terkekeh kecil, meski suara rantai borgolnya terdengar jelas. "Lucu. Jadi sekarang kau jadi pahlawan penyelamat Tasya? Padahal, semua ini terjadi karena kau juga, Revan. Karena dia memilihmu."

Revan melangkah maju, menunduk sejajar dengan wajah Fira, nadanya rendah tapi penuh ancaman. “"Dengar baik-baik. Kau boleh salahkan siapa saja, tapi ingat satu hal, kau sudah menyentuh hal yang paling berharga dalam hidupku. Dan itu kesalahan terbesarmu."

Senyum Fira sempat goyah, tapi ia cepat menutupinya dengan tatapan menantang. "Kau pikir aku menyesal?"

Revan menahan napas dalam, menahan dorongan untuk melampiaskan amarahnya saat itu juga. Ia menegakkan tubuhnya, lalu menatap Bram yang berdiri di balik kaca. "Pastikan dia membusuk di dalam sel. Aku tak peduli berapa lama prosesnya. Jangan biarkan satu celah pun membuatnya keluar."

Sebelum berbalik pergi, Revan sempat menatap Fira sekali lagi. Kali ini, tatapannya dingin seperti pisau yang menancap. "Selamat tinggal, Fira. Hidupmu berakhir di sini."

TO BE CONTINUED

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!