Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 - Perbedaan Visi
Suasana sekolah makin ramai dengan persiapan kelulusan. Spanduk besar bertuliskan Graduation Day sudah dipasang di aula, guru-guru sibuk membicarakan teknis acara, dan murid-murid bersemangat menanti akhir perjalanan SMA mereka.
Namun bagi Icha, semua ini terasa lebih berat dari sekadar perpisahan sekolah. Di tangannya, ia menggenggam sebuah amplop resmi dari universitas luar negeri. Hatinya berdebar setiap kali melihat tulisan tebal: Scholarship Awarded.
“Cha, serius lo dapat beasiswa ke luar negeri?” tanya Dinda begitu melihat amplop itu.
Icha mengangguk pelan. “Iya… aku masih bingung harus gimana.”
“Ya ampun! Itu kan impian semua orang! Kok lo malah bingung?”
“Masalahnya bukan cuma aku, Din,” jawab Icha lirih.
Dinda mengernyit, paham maksud sahabatnya. “Ini soal Albar, kan?”
Sore harinya, di ruang musik sekolah, Albar terlihat sedang memetik gitar dengan santai. Beberapa teman band-nya ikut bersenandung. Suasana riang, penuh canda.
Saat melihat Icha datang, senyumnya langsung mengembang. “Cha! Sini, duduk. Gue baru bikin lirik baru, lo pasti suka.”
Icha tersenyum kaku lalu duduk di sampingnya. Albar mulai memainkan melodi sederhana, kemudian menyanyikan potongan bait. Suaranya hangat, penuh semangat.
Tapi pikiran Icha justru melayang jauh. Suara Albar terdengar indah, tapi juga membuat hatinya semakin berat. Ia tahu, dunia yang dipilih Albar begitu berbeda dengan jalan yang terbuka untuknya.
“Cha?” suara Albar memecah lamunannya. “Lo nggak suka lagunya?”
“Eh? Nggak, bagus kok. Cuma… aku ada yang mau dibicarain.”
Albar meletakkan gitarnya. “Serius amat. Kenapa?”
Icha menarik napas dalam. “Aku dapat beasiswa kuliah di luar negeri.”
Albar terdiam. Senyum di wajahnya perlahan memudar. “Luar negeri?”
“Iya. Universitas di Eropa. Mereka tanggung semua biaya, Bar. Itu kesempatan langka.”
Albar tertawa kecil, tapi terdengar hambar. “Wih, keren banget. Pacar gue pinter. Aku bangga sama lo.”
Icha menatapnya, mencari reaksi yang lebih dalam. “Tapi… aku takut ini jadi masalah buat kita.”
Albar menggaruk belakang kepalanya, mencoba bersikap santai. “Masalah kenapa? Lo kan ngejar impian lo. Gue dukung, kok.”
“Tapi lo sendiri gimana? Lo nggak ada rencana kuliah?” tanya Icha hati-hati.
Cowok itu menghela napas panjang. “Cha, lo tahu kan… gue nggak terlalu minat kuliah. Gue mau fokus di musik. Gue pengen bener-bener bikin band gue jalan. Itu passion gue.”
Kata-kata itu membuat Icha semakin resah. “Jadi… saat aku di luar negeri kuliah, kamu di sini ngejar musik? Kita bakal beda dunia, Bar. Jaraknya terlalu jauh.”
Albar menatap mata Icha dengan serius. “Cha, kita udah sering bareng. Gue yakin bisa jalanin ini. Gue percaya sama hubungan kita.”
“Tapi aku nggak yakin bisa terus begini,” bisik Icha, suaranya nyaris bergetar.
Beberapa hari kemudian, suasana antara mereka berubah.
Di sekolah, Icha lebih sering sibuk dengan persiapan administrasi beasiswanya. Banyak guru yang menaruh perhatian padanya, bahkan kepala sekolah sempat memuji prestasinya di depan kelas. Semua itu membuat Albar merasa semakin kecil.
“Hebat banget sih Icha,” komentar salah satu teman. “Pantesan dia cocok dapet beasiswa luar negeri.”
Rio menepuk bahu Albar, bercanda, “Bro, pacar lo calon mahasiswa luar negeri. Lo sendiri kapan nyusul?”
Albar hanya terkekeh kaku, meski di dalam hatinya ada rasa getir yang sulit ia sembunyikan.
Sementara itu, Dinda semakin khawatir melihat keduanya. “Cha, lo harus ngomong jujur ke Albar. Jangan dipendem. Gue liat dia keliatan down banget akhir-akhir ini.”
Icha menggenggam tangan sahabatnya. “Aku juga bingung, Din. Aku sayang sama dia, tapi… aku nggak mau nyerahin masa depanku begitu aja.”
Sampai akhirnya, suatu sore di taman belakang sekolah, Icha dan Albar bertemu lagi. Hujan gerimis turun tipis, suasana mendung menambah berat percakapan mereka.
“Bar,” Icha membuka suara. “Aku nggak mau bohong. Aku takut kita nggak bisa terusin hubungan ini kalau aku berangkat nanti.”
Albar menatapnya lama. Ada kilat kesedihan di matanya, tapi juga ketegasan. “Cha, kenapa lo nggak percaya sama gue? Gue nggak peduli sejauh apa lo pergi, hati gue tetap ke lo. Gue nggak butuh kuliah buat buktiin cinta gue.”
Icha menggeleng, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. “Tapi aku peduli, Bar. Aku nggak mau kita berakhir saling menyalahkan.”
Albar terdiam, lalu berdiri. Ia menatap langit yang semakin gelap. “Kalau gitu… mungkin lo harus jalan di pilihan lo. Gue juga bakal jalan di pilihan gue.”
Kata-kata itu menusuk hati Icha lebih dalam dari apa pun. Ia ingin berteriak, ingin menahan Albar. Tapi langkah cowok itu sudah menjauh, meninggalkannya berdiri sendiri di bawah gerimis.
Untuk pertama kalinya sejak mereka jadian, Icha merasa cinta saja mungkin tidak cukup.