Melisa terpaksa menjalani kehidupan yang penuh dosa, demi tujuannya untuk membalaskan dendam kematian orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Danira16, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5 Bulan Kemudian
Sudah lima bulan Melisa meninggalkan putranya bersama mantan suaminya Rudy, kini Melisa mulai menyusun rencana balas dendamnya.
Melisa saat ini pindah ke kota yang menjadi tombak untuk membalaskan dendam kedua orang tuanya. Dari kejauhan Melisa menatap dua rumah yang saling beriringan, rumah yang nantinya akan ia masuki dan penghuninya akan ia jadikan korban berikutnya.
Langkah kaki Melisa mendekat ke sebuah rumah yang terlihat sepi, disana hanya ada seorang asisten rumah tangga.
"Maaf anda dengan nona Lisa?" Ucap salah satu pelayan dirumah besar itu.
"Iya benar."
"Silahkan masuk non!" Ucap pelayan itu ramah dan menyuruh Melisa masuk kedalam rumah besar itu.
Melisa sengaja mengambil nama Lisa untuk samarannya, ia kini berada di sebuah rumah mewah dimana rumah itu adalah milik Budi, salah satu rumah orang kepercayaan ayahnya.
Ya Melisa kini berada dirumah pengkhianat yang menghancurkan bisnis perusahaan ayahnya, saat itu Budi bekerja sama dengan Edward.
"Tunggu di sini dulu ya mbak."
"Baiklah...." Jawab Melisa.
Sepeninggal pelayan tadi Melisa menatap sebuah bingkai foto, dimana foto itu terdapat foto keluarga Budi, ada isteri dan anaknya.
Tak lama kemudian terdengar derap langkah kaki dari seorang pria berumur kisaran 45 tahunan, pria yang akan menua itu memakai jas dan memiliki postur yang cukup tampan.
Melisa menoleh dan menampilkan tersenyumnya, pakaian Melisa pun terlihat sopan namun masih terlihat 5 3 k 5 1 dalam balutan kemeja panjang.
"Anda tuan Budi Gunawan?"
"Benar, kamu siapa?'
"Saya dari majalah bisnis new day, ingin mewawancarai anda. Dan ini id card saya." Ucap Melisa memperkenalkan dirinya.
Budi terlihat membawa nama serta wajah Melisa yang begitu cantik.
"Baik, saya hanya ada waktu sedikit karena jadwal saya padat. Kebetulan saya menerima wawancara kamu karena relasi saya." Ucap Budi.
Dan Melisa tahu bahwa Gita yang membuatnya masuk ke dalam salah satu karyawan di majalah yang cukup bergengsi itu, dan yang menaruhnya ke dalam perusahaan itu adalah pacar Gita.
"Terima kasih atas waktunya, kalo boleh saya ingin wawancara saja sekarang."
"Baik duduklah!!"
Melisa pun duduk, dan telah mengeluarkan alat perekam yang ia taruh di meja, sembari tangannya membolak balikan kertas yang berusia daftar wawancaranya.
"Silahkan ajukan pertanyaan."
"Baik, pak Budi yang terhormat....saya ingin bertanya seputar keluarga anda. Menurut anda keluarga itu seperti apa?"
Budi yang sedari tadi menatap Melisa pun mulai menghela nafa5nya, lalu ia mulai bercerita.
"Bagi saya keluarga adalah salah satu organisasi kecil saya, yang jika salah satunya hancur maka satu kesatuan itu akan bercerai." Ucap Budi dengan bahasa yang santai dan dapat dimengerti.
"Begitu ya? Apakah kini keluarga anda sudah lengkap dan bahagia?"
"Saya cukup bahagia dan damai meskipun isteri saya sudah meninggal."
"Ohh begitu, maaf jika pertanyaan saya mengingatkan anda pada isteri tercinta anda."
"Tidak apa, lanjutkan saja dengan pertanyaan yang lain." Ucap Budi.
"Oiya anda terjun langsung di dunia p0l!tik apakah sudah lama? Dan apa yang membuat anda tertarik di dunia itu?"
"Saya sudah berkecimpung di dunia p0litik ini selama 10 tahun, dan saya dari dulu menyukai dunia yang saya g3luti saat ini."
"Wah cukup lama sekali ya pak, anda sudah berpengalaman. Lalu sebelum masuk ke dunia p0l1tik anda bekerja dimana?" Tanya Melisa kembali.
"Dulu saya bekerja di perusahaan punya teman dekat saya, dan saya cukup lama bekerja disana hingga saya memutuskan bekerja diranah ini." Jawab Budi yang terlihat sibuk m3nye5ap minumannya.
"Kalau boleh saya tahu teman bapak yang berjasa itu namanya siapa?"
"Edward Smith, dia teman baik saya."
"Oh begitu, adakah yang lain, orang yang berjasa akan hidup bapak saat pertama meniti karier?"
"Tidak ada, saya bekerja giat dan mandiri sampai saya bertemu dengan Edward."
Melisa menipiskan senyumannya dan ia tunjukan sewajar mungkin pada Budi, padahal ia kesal pada pria dihadapannya itu.
Sudah jelas bahwa ayahnya yang pertama mengangkatnya menjadi karyawan karena pria itu termasuk adik kelas ayahnya yang usianya terpaut 3 tahunan.
Saat itu Budi remaja terkenal jujur dan pekerja keras, hingga ayah Melisa akhirnya mempercayakan Budi menjadi asisten pribadinya. Namun karena hasutan Edward akhirnya Budi menjadi pria yang ambisius dan jahat.
"Baik itu saja pak, dan saya sangat berterima kasih atas waktunya."
"Tidak apa."
"Saya undur diri pak, kebetulan setelah ini saya akan kembali ke kantor untuk menyerahkan hasil wawancara ini."
Melisa mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Budi, dan pria itu pun merespon dengan hal yang sama.
"Oiya kamu belum minum, diminum dulu."
"Hemm baiklah...." Ucap Melisa dan langsung mengambil teh hangat yang saat itu diluar tengah gerimis.
"Awwwh pana5." Seru Melisa dan dengan sengaja ia menumpahkan sebagian tehnya pada pakaiannya, sehingga sebagian kemeja atasnya basah juga termasuk c3l4na panjang kainnya.
"Kamu tidak apa?" Ucap Budi berdiri dan mendekati Melisa.
"Tidak apa pak, nanti saya bisa ganti di rumah dulu sebelum ke kantor." Jawab Melisa yang sibuk membersihkan kemeja nya yang terkena teh dengan tisu kering.
Mata Budi menatap tajam kemeja milik Melisa yang sudah basah dan tercetak kacamata yang tersembunyi di balik kemeja polos berwarna peach.
Sesekali pria itu berdehem untuk tidak menunjukan pada Melisa rasa ingin menatap terus pada area yang tercetak jelas itu.
"Kamu ganti saja pakaian kamu di kamar atas."
"Tidak perlu pak, lagian saya juga tidak bawa gantinya." Jawab Melisa.
"Pakai baju isteri saya ada, dari pada kmu pulang basah gitu. Mau kan?"
"Baiklah." Jawab Melisa yang memang itu telah ia rencanakan.
"Ayo ikut saya."
Melisa pun menaiki anak tangga dimana kamar itu berada diatas, dan tanpa sungkan Melisa masuk kedalam sebuah kamar yang dimana kamar itu memiliki gambar Budi dan mendiang istrinya.
"Maaf pak lebih baik saya diluar kamar saja."
"Tidak apa, lagian kan nanti kamu juga ganti pakaian disini."
"Lebih baik jangan pak, ini kamar anda dan isteri anda, lebih baik saya berganti ditempat lain saja." Ucap Melisa.
"Baik saya ambilkan pakaianmya dulu."
Budi pun mencari salah satu pakaian yang akan dipakai oleh Melisa, yang ukurannya pas dibadan wanita yang baru ia kenal tadi pagi itu.
Melisa kuar dari kamar dan menunggu pakaian yang akan ia pakai nanti, dan tak lama kemudian keluar dari kamar dengan membawa dress berwarna biru muda yang terlihat sangat mahal.
"Ini pakailah ini, sepertinya ini koleksi isteri saya yang paling kecil." Budi pun memberikan pakaian itu pada Melisa.
Dan dengan senang hati Melisa mengambilnya sembari tersenyum cantik pada pria tua yang usianya jauh dibawahnya.
Melisa pun mengganti pakaiannya di kamar tamu, dan ia pun kini telah memakai dress pendek yang menampilkan l3 kuk tvbvhnya.
Melisa mematut dirinya di cermin dan lalu ia membuka tas kecilnya untuk mengaplikasikan b1-birnya dengan lipstick warna merah muda.
Budi menunggu Melisa dan akhirnya yang ditunggu pun keluar dari kamar dengan begitu cantik aura yang muncul, membuat Budi terpesona oleh kecantikannya.
"Bagaimana pak, apakah bagus?" Ucap Melisa sengaja memutar bad4nnya pelan di hadapan Budi.
"Bagus......pakaian itu pas untuk kamu. Sangat cantik."
"Terima kasih pak." Balas Melisa.
Melisa pun memutar kembali badannya, namun malah membuatnya oleng karena sepatu hak tinggi yang ia pakai lepas.
"Aaaaa"
Melisa pun terkejut dan jatuh, hingga tvbvhnya bertubrukan dengan Budi dan refleks pria matang itu m3meg4ngi pin99ul Melisa.
Budi menatap wajah mulu5 Melisa yang saat itu telah dekat beberapa centi dari wajahnya. Melisa pun ikut menatap hangat wajah Budi, lalu aroma Melisa yang wangi itu mampu menyihir Budi yang telah lama tidak pernah sekalipun meny*ntuh seorang wanita setelah isterinya meninggal cukup lama.
"Maaf pak, saya tidak sengaja." Ucap Melisa yang masih membiarkan Budi m3me-luk dirinya.
"Tidak apa." Jawab Budi gugup.
"Ini karena hak sepatu saya rusak pak. Saya minta maaf ya?"
"Tidak masalah Lisa, lebih baik saya carikan sepatu isteri atau anak saya saja ya?"
"Tidak perlu pak. Saya harus segera ke kantor sekarang."
"Ayolah biarkan pelayan yang carikan kamu sepatu yang pas dengan ukuran kamu."
Melisa pun menurut dan hanya mengangguk, memang ini adalah niatnya supaya ia bisa berlama-lama dirumah itu dengan menunjukan pesonanya untuk menjerat Budi.
Tak lama pelayan Budi membawa sepatu mendiang isterinya, dan 4nak perempuan Budi yang saat ini kuliah diluar negeri.
Melisa pun mencoba satu persatu sepatu itu, dengan posisi menunduk. Sengaja ia ingin menunjukan area atasnya yang belahannya disana begitu rendah.
Menampilkan bongk*han b3nd4 Lunak kembar Melisa yang menantang, begitu juga saat ia menjajal sepatu itu di hadapan Budi, jenjang kaki mulusnya terlihat sempurna, tanpa n0da satu pun.
Tanpa sadar Budi meneguk salivanya secara ka5ar menatap keindahan yang Tuhan ciptakan itu.
Dan akhirnya sepatu milik anak Budi yang paling pas dan cocok untuk style nya saat ini.
"Sepertinya ini yang paling cocok untuk saya pak. Saya pinjam dulu ya, besok saya kembalikan."
"Oh iya santai saja. Tidak perlu dikembalikan."
Melisa pun tersenyum dan pamit kepada tuan rumah.
"Saya pulang sekarang, terima kasih ya pak atas semuanya. Ternyata pak Budi begitu ramah dan baik." Puji Melisa dan Budi pun senang mendapat pujian dari Melisa.
"Kamu ini bisa saja."
Melisa berjalan gemulai melewati pria tua itu, dan ia menuju keluar rumah untuk kembali ke kantornya dengan taxi online yang ia pesan sebelumnya.
Bahkan kepergian Melisa pun hanya meninggalkan aroma parfum yang masih menguar memenuhi rongga hidungnya.
"Lisa....kamu begitu mempesona." Lirih Budi yang mulai mengkhayal tentang wanita yang baru saja berkenalan dengannya.