NovelToon NovelToon
Takdirku Di Usia 19

Takdirku Di Usia 19

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Pena

Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32. Pertemuan di Jalan Ubud

L

📝 Diary Mentari – Bab 32

“Kadang-kadang, semesta mempertemukan dua nama langit hanya agar saling mengenal, saling meneduhkan—Mentari dan Bintang.”

...****************...

Aku berjalan menyusuri jalanan Ubud menuju tempat kerja seperti biasa, Tropic Wear. Hari ini aku berbeda shift dengan Tina. Aku masuk pagi dan dia sore. Ubud pagi ini terasa lebih sejuk dari biasanya. Udara masih basah oleh embun, dan sinar matahari menyelinap malu-malu di antara dedaunan dan bangunan artshop yang berjajar rapi. Trotoar Ubud masih ramai meski pagi belum terlalu siang—para turis berlalu-lalang dengan pakaian santai dan kamera tergantung di leher.

Langkahku cepat dan ringan. Aku sudah terbiasa dengan ritme ini. Menyusuri jalan dari kos menuju toko, melewati tempat-tempat yang makin kukenal: kios bunga, lapak lukisan, patung-patung kayu berdiri berjajar seperti penjaga jalan. Tapi di tengah riuh itu, suara asing tiba-tiba menghentikan langkahku.

“Hai, cewek…!”

Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Hanya bule-bule yang sibuk memotret atau menatap peta kecil mereka.

Aku mengernyit, menggeleng pelan, lalu melanjutkan langkah. Tapi beberapa meter kemudian, suara itu terdengar lagi.

“Boleh kenalan, nggak?”

Aku berhenti sejenak. Lagi-lagi tak ada yang mencurigakan. Aku mempercepat langkah, mencoba tidak peduli. Tapi… ini bukan pertama kalinya. Sudah beberapa hari terakhir, suara itu muncul di waktu yang hampir sama. Kadang saat aku baru masuk kerja pagi, kadang ketika aku pulang sore.

Yang aneh, suara itu tak pernah muncul saat aku shift sore.

Aku tak berani bercerita pada siapa-siapa. Tidak ke Tina, tidak ke Mba Ketut, apalagi Pak Kartika. Aku berpikir mungkin hanya anak muda iseng yang senang menggoda. Tapi… ada bagian dalam diriku yang penasaran. Siapa dia? Mengapa hanya muncul saat pagi dan sore?

Hari itu, sepulang kerja, aku memutuskan berjalan lebih pelan di sekitar area tempat suara itu biasa terdengar. Ada satu deret toko yang belum terlalu kukenal. Salah satunya toko patung besar yang terlihat sepi, tapi isi dalamnya sangat indah—dipenuhi patung-patung kayu, topeng, dan ukiran Bali.

Dan benar saja.

Dari toko itu, seorang cowok muncul, tinggi, kulit sawo matang, rambut agak plontos, dan—sedikit brewok di dagu dan atas bibir. Usianya sekitar 20-an. Ia mengenakan kaos putih pudar dan celana pendek. Ia berdiri tepat di hadapanku, tersenyum hangat seperti sudah mengenalku lama.

“Hai…” sapanya lembut, tapi terdengar penuh percaya diri.

Aku langsung refleks melangkah ke samping, berniat melewatinya tanpa menghiraukan. Tapi dia kembali melangkah, menghalangi jalanku.

“Boleh kenalan?” katanya lagi.

Aku menunduk. Hati berdebar-debar. Takut. Tapi juga penasaran. Suaranya—ya, itu suara yang selama ini mengikutiku dari kejauhan.

“Aku bukan orang jahat, tenang aja.” Ia tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan. “Namaku Bintang.”

Aku menoleh sekilas. Tangannya masih terulur. Senyumnya tak berubah, seperti sabar menungguku membuka sedikit celah.

“Mentari,” jawabku akhirnya, dengan suara lirih.

Ia tersenyum lebih lebar. “Nama kita cocok juga ya. Langit banget.”

Aku tak menjawab. Tapi pipiku terasa hangat.

“Mau ngobrol sebentar? Aku kerja di toko ini,” katanya sambil menunjuk ke dalam. Toko itu sepi, tapi nyaman. Aroma kayu cendana samar-samar tercium dari dalam. “Aku nggak akan ganggu kamu lama-lama kok.”

Entah dorongan dari mana, aku mengangguk pelan.

Aku masuk ke dalam toko, mengikuti langkahnya. Ruangan itu tenang, hangat, dan berbeda dari toko-toko lain yang ramai. Di dalam, terpajang berbagai patung dari kayu jati, topeng-topeng Bali dengan ukiran halus, dan beberapa lukisan kecil bergaya tradisional.

“Kamu kerja di toko mana?” tanyanya.

“Tropic Wear,” jawabku singkat.

“Wah, yang di sebelah toko batik itu ya?”

Aku mengangguk.

Dia mengambil dua kursi kayu kecil dan meletakkannya di dekat pintu. Kami duduk. Awalnya aku kaku, gugup, dan siap-siap pergi kapan saja kalau dia mulai bersikap aneh. Tapi tidak. Bintang justru bercerita tentang patung-patung di tokonya. Tentang ayahnya yang pemahat terkenal di desanya. Tentang mimpinya ingin membawa seni Bali ke luar negeri.

Obrolan kami ringan, santai. Ia sesekali tertawa, dan suaranya mengisi ruang kosong yang selama ini hanya diisi kebisingan.

Hari itu, aku pulang ke kos dengan perasaan yang aneh. Ada sesuatu dalam diriku yang seperti mekar pelan-pelan. Mungkin ini perasaan senang. Atau sekadar lega karena akhirnya tahu siapa pemilik suara itu.

Beberapa hari kemudian, aku dan Bintang mulai saling menyapa setiap bertemu. Kadang ia hanya melambaikan tangan dari depan toko. Kadang ia memberiku permen kecil, atau es kelapa muda yang katanya sisa jualan untuk turis. Ia tidak pernah memaksa. Tidak pernah menggoda berlebihan. Hanya… hadir. Dan kehadirannya membuatku merasa lebih ringan menjalani hari.

Bintang. Nama yang akan kutulis diam-diam di halaman pertama diary baruku—sebagai teman cowok pertama setelah SMA. Bukan karena cinta. Tapi karena dia berbeda dari yang lain.

Dan mungkin, karena aku ingin percaya bahwa di balik semua perasaan takut dan rindu, semesta memang mempertemukan mentari dan bintang… untuk sekadar saling menyapa.

“Seseorang bisa hadir tiba-tiba dalam hidupmu, bukan untuk mencuri hatimu, tapi untuk mengisi ruang kosong yang selama ini tidak kamu sadari ada.”

1
Komang Arianti
kapan tarii bahagiaa nya?
Komang Arianti
ngeenesss bangettt ini si mentarii😢😢
Putu Suciptawati
jadi inget wkt adikku potong rambut pendek, kakekku juga marah, katanya gadis bali ga boleh berambut pendek/Facepalm/
K.M
Ditunggu lanjutannya ya kk makasi udah ngikutin ☺️
Putu Suciptawati
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
K.M: Auto mewek ya kk
total 1 replies
Putu Suciptawati
yah kukiora tari akan menerima bintang, ternyata oh ternyata ga sesuai ekspektasiku
Arbai
Karya yang keren dan setiap bab di lengkapi kalimat menyentuh.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
K.M: Terima kasih dukungannya kk ☺️
total 1 replies
Putu Suciptawati
ayolah tari buka hatimu unt bintang lupakan cinta monyetmu...kamu berhak bahagia
Putu Suciptawati
senengnya mentari punya hp walaupun hp jdul
Putu Suciptawati
semangat tari kamu pasti bisa
Putu Suciptawati
puisinya keren/Good//Good//Good//Good/
Putu Suciptawati
karya yg sangat bagus, bahasanya mudah diterima.....pokoknya keren/Good//Good//Good//Good/
K.M: Terima kasih banyak sudah menyukai mentari kk ❤️❤️
total 1 replies
Putu Suciptawati
betul mentari tdk semua perpisahan melukai tdk semua cinta hrs memiliki
rarariri
aq suka karyamu thor,mewek trus aq bacanya
rarariri
/Sob//Sob//Sob/
Wanita Aries
Kok bs gk seperhatian itu
Wanita Aries
Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.
Wanita Aries
Kok ba ngumpul smua dsitu dan org tua mentari menanggung beban
Wanita Aries
Mampir thor cerita menarik
Putu Suciptawati
betul mentari, rumah atau kamar tidak harus besar dan luas yang terpenting bs membuat kita nyaman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!