Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 PERBINCANGAN
Hanya anggukan kecil sebagai tanggapan Max ketika Arthur berbisik meminta untuk duduk di sampingnya. Alhasil, Max pun juga jadi pusat perhatian karena Arthur terlihat akrab dengannya. Ada beberapa pertanyaan dan kebingungan di benak Max tentang sosok 'besar' di sampingnya ini. Namun, dia mengubur semua hal itu. Bukan saat yang tepat untuk meminta maaf ataupun berbincang santai ketika di acara seperti ini.
"Yang Mulia, bagaimana kabar Anda belakangan ini? Saya dengar Anda sedang sibuk memberikan pelatihan kepada para ksatria sihir."
Pertanyaan itu datang dari seorang pria tua kisaran akhir usia 50-an. Meskipun wajahnya tampak berkeriput di beberapa tempat, namun dia masih tampak ceria dan riang.
Arthur menanggapinya dengan senyuman.
"Seperti yang Tuan Jefry ketahui, saya akhir-akhir ini memang sibuk dengan pelatihan para ksatria sihir. Bagaimana Anda sendiri? Apakah panen benang wool bulan ini berjalan dengan lancar?"
Tanggapan Arthur yang ramah membuat suasana tidak lagi terasa tegang. Awalnya para tamu undangan merasa orang tua bernama Jefry itu tidak sopan karena telah bertanya dengan nada santai. Mereka tidak menyangka Yang Mulia Duke akan menanggapinya seperti percakapan orang biasa.
"Ah, panen bulan ini sangat banyak sekali. Bahkan lebih banyak dari bulan-bulan sebelumnya," balas Tuan Jefry dengan senyuman.
"Syukurlah. Anda pasti akan mendapatkan untung besar bulan ini."
Arthur kembali menanggapi dengan sedikit tawa kecil.
Max yang duduk di samping Arthur memperhatikan interaksi yang terjadi dengan tenang. Dia masih tidak menyangka bahwa orang yang sempat ingin membunuhnya dua tahun silam adalah penguasa wilayah Utara. Tutur katanya bahkan terdengar ramah dan bijaksana. Sangat berbeda dengan pria berzirah yang mengancam seseorang sembari menodongkan anak panah.
"Ah, pertemuan kita kali ini ada sedikit yang berbeda. Lihatlah wajah tampan di samping saya ini. Mungkin sebagian sudah mengenal namanya selama dua tahun belakangan. Dia adalah pengusaha gula pasir besar di wilayah Utara. Anak muda, mungkin kamu bisa memperkenalkan diri lagi kepada para tetua di sini."
Tanpa aba-aba, Max terkejut ketika Arthur memperkenalkannya kepada semua tamu undangan. Jantungnya berpacu dengan cepat ketika Arthur menepuk bahunya dengan akrab. Namun, dia pandai menyembunyikan suasana hati melalui ekspresi tenangnya. Maka dari itu, dia segera bereaksi agar tidak mempermalukan diri sendiri.
"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Yang Mulia karena telah mengundang saya."
Max mengambil jeda sejenak dan memperhatikan tatapan para tamu undangan. Semua menatapnya dengan penuh kekaguman. Jarang-jarang mereka melihat pengusaha semuda ini.
"Perkenalkan, saya Maximiliam dan saya masih awam di dunia perdagangan ini. Saya harap para Tuan dan Nyonya yang hadir dapat membimbing saya agar bisa lebih baik lagi ke depannya."
Max bahkan menunduk singkat untuk menunjukkan rasa hormatnya. Dia sadar bahwa dirinya adalah orang termuda yang menghadiri pertemuan ini.
Arthur yang mendengar kelugasan dari ucapan pemuda di sampingnya diam-diam tersenyum kecil di sudut bibir. Dia pikir pemuda ini akan gugup ketika berada di tengah-tengah orang besar seperti ini, nyatanya pemuda itu tampak cukup tenang. Arthur cukup puas dengan tutur kata dan sopan santunnya.
"Tak kusangka ada pengusaha muda di dunia perdagangan ini. Sungguh luar biasa. Saya sudah lama mendengar nama Maximiliam dan baru kali ini melihatnya secara langsung. Saya bahkan nyaris berpikir bahwa dia adalah seorang pangeran dari sebuah kekaisaran," ungkap wanita paruh baya dengan penuh kekaguman.
Max hanya membalas perkataan wanita tua itu dengan anggukan kecil dan senyuman. Dia berusaha untuk tetap rendah diri dengan menanggapi tiap pujian tanpa berlebihan.
"Hahaha, Nyonya Valery benar. Anak muda ini sangat tampan. Aura kebangsawanannya sangat nyata. Jika tidak ada yang mengatakan bahwa dia orang biasa, saya pasti juga akan menganggapnya sebagai seorang pangeran," pria paruh baya lain ikut menimpali dengan sedikit candaan.
"Apa kamu sudah memiliki seorang istri? Jika belum, maukah kamu mempertimbangkan cucuku untuk menjadi istrimu? Dia sangat cantik dan berbudi luhur," ucap Nyonya Valery kembali dengan penuh harapan.
Mendengar hal ini, Max jadi bingung harus menanggapinya seperti apa. Dia tidak menyangka akan ada pertanyaan tidak terduga seperti ini. Namun, seperti biasa, pemuda itu masih tampak tenang dan sedikit melirik ke sampingnya. Arthur sendiri juga diam-diam menunggu jawaban dari pemuda itu. Max pun berdehem kecil sebelum memberikan jawaban.
"Istri saya sudah meninggal sejak lama. Saya mempunyai seorang putra dan saya belum memikirkan untuk kembali menikah. Saya takut jika saya mempertimbangkan cucu Nyonya, dia akan menderita ketika harus mengurus putra kecil saya."
Max memberi jawaban lugas dengan ramah.
Wajah Nyonya Valery cukup kecewa ketika mendengar jawaban itu. Namun, itu tidak terlihat kentara. Dia segera kembali berkata,
"Ah, sayang sekali. Kamu masih muda dan sudah mempunyai seorang anak. Itu pasti sulit bagimu untuk merawatnya."
Max hanya tersenyum simpul sebagai tanggapan. Beberapa keluarga bangsawan yang bekerja sama dengannya juga pernah menawarkan anak atau kerabat mereka untuk menjadi istrinya. Namun, Max selalu berhasil menghindari hal itu dengan baik.
Pemuda itu juga terus menekankan bahwa dia sudah memiliki seorang putra, maka orang-orang akan berpikir dua kali untuk menikah dengannya. Ya, meski begitu, masih banyak yang bersikeras untuk menawarkan anak atau kerabat mereka kepada Max — baik itu untuk dijadikan istri ataupun selir. Setiap hal ini terjadi, Max benar-benar ingin membunuh orang yang terus mendorongnya untuk mendapatkan seorang wanita.
"Saya dengar kamu menciptakan metode pembuatan gula pasir dari tebu. Apakah kamu berniat menjualnya kepada saya? Usahaku gula maduku akhir-akhir ini penjualannya mengalami penurunan."
Ketika pertanyaan ini jatuh, semua tamu undangan menatap pria kisaran 40 tahunan itu dengan tatapan setengah jengkel. Namun, pria itu abai. Dia hanya memfokuskan atensinya pada pemuda tampan yang duduk di samping Arthur.
"Maaf, Tuan. Metode itu adalah rahasia bisnis saya. Jika saya menjualnya, sama saja seperti menjual masa depan bisnis saya."
Meski Max cukup jengkel dengan pertanyaan itu, dia tetap menjawabnya seramah mungkin. Bisa-bisanya pria itu ingin membeli rahasia bisnis orang di pertemuan besar seperti ini. Max curiga pihak lain sengaja memprovokasinya.
Benar saja, ketika mendapatkan jawaban, pria itu berdecak dengan nada kecewa.
"Anak muda, kamu terlalu serakah. Apa yang kamu tahu di dunia perdagangan? Ini tentang saling menguntungkan. Aku ingin membeli metode pembuatan gula pasirmu, bukan berarti aku melarangmu untuk membuatnya. Kita bisa sama-sama menjual gula pasir."
Tamu undangan lain merasa resah dengan ucapan kasar pria itu. Terlebih, pria itu tidak memedulikan eksistensi Yang Mulia Duke yang berada di sisi pemuda tampan itu. Max sendiri sudah menduga reaksi pihak lain akan sangat tidak bagus. Jika dia kembali menjawab, maka pria itu pasti akan membuatnya seolah-olah menjadi pemuda yang tidak tahu sopan santun di hadapan para tetua.
Melihat alur percakapan yang tidak mengenakkan, Arthur segera angkat bicara.
"Tuan Rob, bukan begitu cara untuk bekerja sama dengan sesama pengusaha. Anda tampaknya perlu belajar banyak tentang perdagangan. Jika seseorang menjual rahasia bisnisnya, itu sama saja memutus masa depan bisnis mereka. Ah, sudahlah. Lupakan. Mari kita makan."
Rob, pria yang baru saja ditegur Yang Mulia Duke, langsung bungkam. Raut ketidaksukaan terhadap pemuda bau kencur di dunia perdagangan itu lenyap seketika.
"Ah, Yang Mulia benar. Tampaknya saya sudah keterlaluan. Maafkan saya, Yang Mulia."
Max cukup lega Arthur memutus topik yang tidak mengenakkan itu. Diam-diam dia berencana untuk mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada sang penguasa wilayah Utara itu usai acara ini selesai.
Makan malam pun segera dimulai. Beberapa pelayan menyajikan makanan tambahan dan minuman. Semua tamu undangan tak lagi mengeluarkan suara. Mereka semua menikmati makanan dengan penuh sukacita.
"Makanlah sepuasnya. Jangan menahan diri," ujar Arthur dengan suara rendah, hanya Max di sampingnya yang dapat mendengar ucapan itu.
Jadi Max beranggapan bahwa Arthur sedang berbicara padanya. Pemuda itu pun menanggapi perkataan Arthur dengan anggukan kecil dan deheman, lalu dia mulai menyantap makanan dengan elegan, persis seperti tata krama makan di keluarga bangsawan. Arthur yang melihat cara makan pemuda itu cukup kagum dengannya.
Waktu berlalu dan acara pertemuan pun diakhiri dengan obrolan ringan. Nyonya Valery dan Tuan Jefry sangat menyukai sikap ramah Max. Jadi, kedua orang tua itu secara alami membagikan pengalaman berbisnis mereka di bidang perdagangan kepadanya yang masih hijau di dunia ini. Selain mereka berdua, Max juga mendapatkan rekan kerja sama baru. Ada pula beberapa pengusaha yang memesan gula pasir padanya.
Ketika tiba waktunya pulang, Max yang baru saja hendak memasuki gerbong kereta kudanya dihampiri oleh salah satu pengawal pribadi Arthur. Pengawal itu pun berkata dengan suara rendah bahwa Yang Mulia ingin berbicara secara pribadi padanya.
Tentu saja Max tidak dapat menolak permintaan ini. Secara alami, dia pun segera mengikuti pengawal tersebut menuju kereta kuda Arthur yang sangat megah.
---