Novel ini hasil collab antara Siti H dan Mom Young penulis novel 'Santet Pitung Dino'.
Sumber: Mbah Tainah, Desa Tiga Sari, kecamatan Jatenegara. Tegal-Jawa Tengah.
Diangkat dari sebuah kisah nyata. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 1968 silam, dimana seorang pemuda miskin harus terjebak oleh sesosok makhluk ghaib Ratu Ular bernama Nyi Arum Lopa.
Tanpa sengaja, ia bertemu dengan Nyi Arum Lopa dibawah pohon Gintung yang tumbuh tinggi menjulang dan berusia ratusan tahun.
Dibawah pohon Gintung itu juga terdapat sumber mata air yang membentuk sebuah telaga kecil dengan airnya yang sangat jernih.
Karena persekutuannya itu, membuat pemuda bernama Saryat mendapatkan wajah tampan dan tidak pernah tua, serta harta yang melimpah. ia memulai usahanya dengan menyewakan gamelan saat setiap ada hajatan, dan harus dikembalikan sebelum pukul 12 malam..
Ada apa dengan gamelan tersebut, dan bagaimana kisa Saryat dengan sang Ratu Ular Nyi Arum Lopa?
ikuti novel ini selan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ganti Rugi
Saryat terdiam. Menatap pria dihadapannya. Ia tak mengerti tentang apa yang dimaksud ganti rugi.
""Piye toh, Kang? Yo aku iki ganti rugi opo? (Maksudnya apa, Kang? Ya kenapa aku harus ganti rugi?" tanya Saryat dengan perasaan bingung.
"Opo, opo, endasmu! Kui seng gawe Suketi ninggal ke aku, yo kui harus ganti rugi selama ini awakku ngempani nde e ne! Kalau kui ora gelem ganti ne, ojo salah ke, kalau aku engko berbuat yang lebih sadis mene(Apa, apa, kepalamu itu! Kau yang buat Suketi meninggalkanku. Ya kau harus ganti rugi,sebab selama, ini aku ngasi makan dia. Kalau kau tak mau ganti rugi, aku akan buat hal yang lebih kejam," ancam Suta dengan tatapan penekanan.
Suta tercengang mendengarnya. Bukankah selama ini Suketi sudah memberikan apemnya pada pria itu, lalu mengapa harus meminta ganti rugi segala? Terkadang hati manusia sulit ditebak.
Saryat tak ingin bertebak. Lalu merogoh saku celananya. Sebuah uncang yang terbuat dari kain hitam digenggamnya.
Ia menatap pada Suta, lalu mengeluarkan sebuah kalung emas yang bernilai cukup fantastis. Pria itu membeliakkan kedua matanya, dan seolah tak percaya dengan apa yang saat ini sedang dilihat.
Tanpa memberitahu Saryat, ia langsung merampasnya, dan mengambilnya dengan cepat. Kedua matanya membola, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Wow, ini sangat mahal sekali!" pria itu tampak senang.
Saat bersamaan, Ia melirik uncang milik Saryat, dan merampasnya dengan cepat.
"Jangan, Kang. Saya akan memberi upah kepada pekerja," pria itu mencegah Suta, agar tak mengambil semua uang dan perhiasan yang dibawanya.
"Diam, kamu! Lalau hanya cuma kalung tidak dapat mengganti kerugianku! Maka isi uncang ini sudah sangat cukup," Suta menjelaskannya pada Saryat, lalu tersenyum licik, dan pergi begitu saja, mengayuh sepedanya.
Sepertinya ia akan pergi untuk mabuk-mabukkan dan berjudi.
Saryat menghela nafasnya dengan berat, lalu kembali mengendarai motornya untuk menuju le rumah si Mbok yang sangat ia rindukan.
Sedangkan Suta bersiul sepanjang jalan, dengan begitu riang. Namun, ia tak menyadari, jika sebuah bahaya besar sedang mengincarnya dari balik sesemakan.
Sepasang mata terus saja mengincarnya. Bagi sang pengintai, siapapun yang menjadi musuh bagi Suaminya, maka menjadi musuhnya juga.
Senyum seringai terlihat menghiasi bibirnya. Wajahnya penuh amara dan dendam.
Pemuda itu masih terus mengayuh, dan akan tiba diwarung yang mana ia akan menghabiskannya untuk mabuk dan juga berjudi.
Saat tiba disebuah pertengahan jalan dan dikanan serta kirinya terdapat rumpun pohon pisang, Suta dikagetkan oleh penampakan seorang wanita yang sangat cantik, sedang memunggunginya.
Jika ia lihat dari rambutnya, maka itu adalah Sarimah.
Mendadak Suta merasa jika itu adalah Sarimah. Gadis yang sangat diinginkannya. "Apakah Sarimah sudah pulang mondok. Lalu ngapain dia disemak-semak?" pria itu turun dari sepedanya, dan tak lupa mengantongi uncang dengan kain berwarna hitam ke dalam saku celananya.
Suta berjalan cepat memasuki semak, dan dibawahnya terdapat pohon beringin yang tumbuh cukup besar.
"Wong Ayu, ngapain disitu sendirian? Tanya Suta dengan tatapan yang gemas.
Ia semakin dekat dengan sang gadis, jarak mereka tak begitu jauh, dan hanya setengah meter saja.
"Aku lagi menunggumu, Kang," jawabnya tanpa menoleh
Seketika Suta mengulas senyum bahagia, dan ia merasa bagai diawang. "Beneran, Dik?" ia seperti tak percaya akan pernyataan Sarimah yang membuatnya begitu berbunga hari ini.
Gadis itu memutar tubuhnya. Benar saja, itu Sarimah. Dan Suta merasakan kembali hatinya bersorak girang.
"Kang, tolong anterin adik ke pohon gintung, ada yang mau diambil disana," ucapnya dengan senyum yang begitu manis.
Suta terkejut. Tetapi ia merasa, jika pohon gintung itu dekat dengan ladang padinya. Namun ia tak tahu apa yang ingin diambil sang gadis.
Otak sang pria langsung bekerja. Bukankah tempat itu sepi, jika ia berduaan dengan sang gadis disana, bisa dibayangkan apa yang terjadi, ia akan berkesempatan untuk berbuat lebih jauh.
Apalagi Suketi sudah tidak lagi bersamanya, keinginan untuk bercinta begitu kuat.
"Wah, boleh Dik. Ayo," ajaknya dengan tak sabar.
Niatnya ingin pergi mabuk dan berjudi, tertunda sesaat. Lalu Suta berjalan menuju ke sepedanya, dan Sarimah mengikutinya dari belakang.
Suta mulai mengayuh sepedanya, dan sang gadis duduk diboncengan. Tanpa diminta, Sarimah memeluk pinggangnya, dan tangannya sangat dingin.
Akan tetapi, bagi Suta ini adalah sebuah keberuntungan.
"Mimpi apa aku semalam, kok bisa kembali berduaan sama Sarimah." pria itu mengayuh kencang sepedanya, lalu melewati rumah Mbok Tainah.
Wanita itu terlihat bengong saat melihat Suta mengendarai sepeda dengan sangat laju yang disertai mimik berbicara sendiri.
"Suta kenapa, ya? Kok dia ngobrol sendiri?" Tainah terlihat penasaran, dan kembali masuk ke dapur untuk menemui Saryat yang sedang menyeduh kopi didepan tungku api kayu bakar.
Saat tiba dikaki bukit, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Kang Karyo. Wajah Suta pucat, sebab takut ketahuan pria itu karena sedang membawa anak gadis Kang Tejo yang masih perawan ke hutan.
"Mau kemana, Sut?" tanya Karyo.dengan rasa penasaran.
"Gak ada, Kang, jalan-jalan saja, sekalian mau liat ladang padi," jawabnya dengan gugup.
"Oh, ya sudah" hati-hati, ya," pesan Kang karyo, dan bersikap biasa saja.
Suta bernafas lega, sebab Karyo yak banyak bertanya.
Setelah kepergian Karyo, Suta menoleh le arah Sarimah yang masih berdiri dibelakangnya. "Kenapa Kang Karyo tidak menyapa Sarimah?" gumamnya dalam hati.
Akan tetapi, gadis itu mengulas senyum yang sangat menggoda, sehingga membuat Suta terkalahkan logikanya.
"Ayo, Kang," ajak sabg gadis, lalu berjalan terlebih dahulu.
Jali ini Sarimah berpakaian sedikit berbeda. Kebayanya yang hanya sebatas pinggul, dengan kain jarik diatas lutut membuat penampilannya bertambah sangat begitu menawan.
Keduanya kembali mendaki bukit, dan saat tiba dipuncaknya, terlihat pohon gintung dari kejauhan dengan daunnya yang tampak menguning.
"Buruan, Kang," sarimah kembali menegaskan, dan mempercepat langkahnya.
Hal itu diimbangi oleh Saryat, hingga mereka tiba dibawah pohon yang memiliki keunikan tersendiri jika bagi masyarakat Batak pada umumnya
Akan tetapi, bagi warga Jatinegara, pohon ini dikeramatkan.
"Wah, ternyata airnya bening banget, ya. Kakang baru masuk ke sini, dan gak tau kalau mata airnya sangat indah," Suta tampak takjub melihatnya.
Sedangkan Sarimah hanya menatap dengan misterius.
"Kang, bisa bantuin Imah," ucap sang gadis dengan lembut, membuat Suta semakin meleleh.
"Bantu, Cah Ayu. Apapaun akang rela, asalkan Dik Sarimah senang," Suta menjawab dengan sedikit gombalan, lalu menghampiri sang gadis.
~Sorry, bahasa jawanya ditranslate, sebab reader berasal dari berbagai suku bangsa, dan bahkan ada yang dari negeri jiran Malaysia🙏
itu pedati bisa berubah jd ulaarrrr..