Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penangkapan
Tubuh Rico tergeletak lemas di lantai dingin gudang. Kepalanya terasa berat, nyeri menusuk di pelipis, sementara kedua kakinya… dia bahkan tak sanggup menggerakkannya. Rasa sakitnya begitu nyata, seperti dipatahkan dengan sengaja. Napasnya terengah, dan dalam satu gerakan tersentak, matanya terbuka.
Pandangannya masih buram, tapi suara langkah sepatu yang berat dan teratur memasuki telinganya. Seragam. Polisi.
"Ada yang masih hidup di sini!" teriak salah satu anggota. Beberapa dari mereka segera mengelilingi Rico yang masih terkulai.
Tangannya ditarik kasar. Borgol dingin mengikat kedua pergelangannya. “Rico Santoso, Anda ditangkap atas tuduhan percobaan pemerkosaan, penyekapan, pengeroyokan,
“A—apa…?” gumam Rico. Napasnya masih tersendat. Matanya membelalak, kepalanya berdenyut hebat. Ia bahkan belum mampu berdiri sendiri, dua petugas harus memapahnya sambil menyeret tubuhnya yang nyaris lumpuh.
Dalam hitungan menit, ia sudah dilempar ke kursi belakang mobil tahanan. Lampu merah-biru di atap mobil berputar pelan, tapi tak menyala terang. Tak ada keramaian. Semua disapu dalam keheningan terkoordinasi, seperti operasi yang sudah dipersiapkan dengan matang.
Di dalam mobil, Rico hanya bisa menyenderkan kepala ke jendela. Nafasnya tak beraturan, tubuhnya gemetar. Tapi yang paling membuatnya gila… bukan rasa sakit di kakinya.
Melainkan bayangan lelaki itu.
Raka.
Raka si cupu. Raka si culun. Raka yang dulu selalu mengenakan kemeja kebesaran dan celana jins longgar. Raka yang selalu duduk di pojok kelas, jarang bicara, bahkan tak berani menatap Rico kalau bertemu di koridor.
Tapi yang datang tadi...
Bukan Raka yang dia kenal.
Yang datang adalah pria dengan mata hazel tajam, rahang tegas, tanpa kacamata, tubuh tegap dan langkah percaya diri. Datang dengan Ferrari merah menyala, dan sorot mata yang membuat nyali orang seperti Rico menciut seketika.
Rico menggertakkan giginya. “Sialan… sialan kau, Raka…” gumamnya lirih.
Ia memukul jendela dengan tangan yang diborgol. “Dasar bajingan… jadi selama ini kau cuma pura-pura?!”
Amarahnya bergejolak, namun tak bisa ke mana-mana. Dia terkurung. Terikat. Tak berdaya.
Ia tertawa miris dalam keterpurukan.
“Kau pikir dengan jadi pahlawan hari ini kau sudah menang?” desisnya, meski tak ada yang menjawab. Polisi yang duduk di depannya bahkan tak menoleh sedikit pun.
“Bangsat kau, Raka… dasar munafik… selama ini kau menyamar, ya?! Culun hanya topengmu?! SIALAN!”
Suara Rico menggema dalam kabin mobil yang sunyi, namun hanya direspon oleh tatapan dingin kaca jendela yang menampilkan bayangan dirinya—berantakan, hancur, kalah.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya…
Rico tahu apa rasanya ditelanjangi harga diri oleh seseorang yang dulu dianggap remeh.
.
.
Di sebuah ruang kerja bernuansa kayu jati, duduk seorang pria paruh baya dengan jas biru gelap yang masih tampak gagah. Rambutnya yang memutih sebagian disisir rapi ke belakang. Di depannya, segelas wine merah setengah penuh dan setumpuk dokumen proyek nasional bertanda “RAHASIA NEGARA”.
Ponselnya berdering.
Tanpa melihat siapa, ia mengangkat dengan malas.
"Halo?"
“Pak, ini buruk. Anak Bapak—Rico—ditangkap. Sekarang ada di mobil polisi. Ada saksi, korban, dan… bukti. Banyak.”
Angin seolah berhenti berhembus. Tatapan dingin pria itu mengunci ke arah kaca jendela besar di depannya. Lampu kota berkelip jauh di kejauhan, tapi pikirannya langsung mengarah ke satu hal:
“Siapa yang berani menjatuhkan anakku…?”
Suara di ujung telepon menjawab ragu, “Seseorang bernama… Raka Arya Pratama.”
Tangan pria itu mengepal.
“Siapa?”
"Mahasiswa, Pak. Tapi sepertinya bukan mahasiswa biasa. Informasi tentang dia nyaris nihil. Tapi… dia yang mengirimkan laporan penyekapan, dan juga—maaf, Pak—laporan dugaan korupsi Bapak… ke KPK.”
Segelas wine di meja itu mendadak terlempar, pecah membentur lantai marmer.
"Kurang ajar! Siapapun dia, cari dia! Hancurkan dia!"
Suaranya keras. Tapi sebelum dia sempat merencanakan lebih jauh, suara ketukan keras dari pintu utama terdengar di seluruh rumah.
DUKK! DUKK! DUKK!
Pintu dibuka perlahan. Tiga pria berjas hitam berdiri di depan, salah satunya menunjukkan tanda pengenal. Tatapan mereka tajam. Formal. Tak bisa ditawar.
"Tim Khusus Komisi Pemberantasan Korupsi! Kami membawa surat penangkapan!"
“Pa... Pak... pe-penangkapan?” suara ayah riko tercekat.
Salah satu petugas menunjukkan dokumen resmi, lengkap dengan kop dan stempel merah. Dua petugas lainnya sudah mulai merekam. Di belakang mereka, sebuah mobil hitam tak berciri parkir di depan pagar.
“Iya, . Anda diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi . Mohon kerja samanya, dan mari kita jelaskan di kantor.
Dunia seperti runtuh dalam sekejap.
Ayah Riko melangkah mundur, hampir tersandung tikar. Ia menoleh ke arah ruang makan — istrinya berdiri membeku di ambang pintu, tangan gemetar memegang piring. .
“
"ee maaf mungkin ini ada kesalahpahaman pak.
Petugas tidak menjawab. Wajah mereka tetap datar. Profesional.
.
Peluh dingin mulai merembes dari pelipis meski udara malam terasa sejuk. Tangannya menggigil saat ia berdiri, langkahnya berat menuju pintu. Jantungnya berpacu, seolah ingin melompat keluar dari dadanya.
Ia tahu hari ini bisa datang. Ia tahu catatan itu, transfer itu, semua jejak yang dulu ia pikir kecil… sekarang membelit lehernya.
“Mohon kerja sama Anda,” kata petugas tenang.
.
Ia mengangguk pasrah. Tubuhnya terasa runtuh dari dalam.
, saya bekerja dengan sangat jujur, ucap ayah Riko
.
.
sementara itu di dalam kantor polisi dinginnya besi jeruji membuat punggung Rico menggigil, meski malam belum terlalu larut. Kakinya yang digips belum juga mengurangi rasa ngilu yang seolah menyiksa hingga ke kepala. Tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan hantaman mental yang dialaminya.
"Raka... Raka si culun?"
Ia tertawa pelan, getir, hampir seperti orang gila.
"Kenapa bisa… jadi dia?"
Ia mendongak ke langit-langit, lalu menatap bayangannya sendiri di lantai.
“Kalau dia bisa menjatuhkan ayahku… maka semua yang selama ini kuanggap rendah, ternyata jauh di atasku.”
Genggaman tangannya melemas.
Dendam? Iya.
Tapi lebih dari itu… Rico mulai dihantui takut.
Seementara itu di Ruang Interogasi KPK
Pria paruh baya itu masih mengenakan jas mahal, meski kini tampak lecek. Di hadapannya, tim penyidik KPK menatapnya dengan datar. Berkas-berkas dibuka satu demi satu.
“Proyek fiktif. Aliran dana ke perusahaan boneka. Dan ini…”
Salah satu penyidik mengangkat selembar foto: sebuah transfer ke rekening luar negeri atas nama samaran.
Sang ayah mengerutkan dahi.
“Kalian tak akan bisa menjatuhkan aku hanya dengan ini!” bentaknya.
Namun penyidik lainnya tenang.
“Betul, Pak. Tapi kami punya rekaman suara Anda saat rapat bersama direktur. Suara Anda sendiri menyetujui pemotongan dana bansos untuk dialihkan ke rekening pribadi.”
Sang ayah terdiam. Matanya melebar.
“Tidak mungkin… siapa yang—”
Penyidik meletakkan satu lagi dokumen di meja.
“Ini laporan lengkap, dengan bukti pendukung, yang dikirim secara langsung oleh seseorang bernama Raka Arya Pratama.”
Senyum sang penyidik menipis.
“Dan Pak… Anda bukan satu-satunya yang dia awasi.”
.
..
.