Jika sebelumnya kisah tentang orang miskin tiba-tiba berubah menjadi kaya raya hanyalah dongeng semata buat Anna, kali ini tidak. Anna hidup bersama nenek nya di sebuah desa di pinggir kota kecil. Hidupnya yang tenang berubah drastis saat sebuah mobil mewah tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. Rahasia masa lalu terbuka, membawa Anna pada dunia kekuasaan, warisan, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakek Tua yang Menyebalkan
Sebuah Range Rover bergerak masuk ke halaman rumah tanpa pagar yang terletak di ujung desa.
Sopir berkaca mata hitam melirik kakek tua yang duduk di belakang melalui spion, menunggu arahan sang boss.
Adi Wijaya duduk bergeming. Meski tahu sang sopir menunggu arahan nya, ia tidak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya. Pandangannya lurus ke depan ke sebuah rumah tua yang hanya se-ukuran sebuah gazebo di halaman rumahnya.
Wajah tua yang masih menyisakan jejak-jejak ketampanan itu berkerut, menahan rasa sedih yang menusuk dadanya. Bagaimana tidak. Putra satu-satunya, pewaris kerajaan bisnisnya, telah membuat dirinya sangat kecewa. Menikah dan menjadi petani di desa antah berantah ini.
Adi wijaya mengepal kedua tangannya di atas lutut. Andai saja sang putra tidak tewas karena kecelakaan lima belas tahun silam, tentu lelaki itu akan memaafkan pengkhianatan sang putra. Dapat dipastikan Harya Kusuma Wijaya- sang putra akan duduk di tampuk kepemimpinan Wijaya Grup (WG), bukan Wirautama sang keponakan ataupun Agung-suami dari putri angkatnya.
Hhhh!
Adi Wijaya melepas napas berat, kemudian mengangguk, memberi kode kepada sang sopir. Ia tak boleh ragu lagi. Karena saat ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menghapus kesalahannya di masa lalu.
Sang sopir pun mengerti. Tangannya menekan klakson.
Tin! Tin!
Adi Wijaya menahan napas saat sebuah wajah muncul dari balik pintu masuk rumah itu. Gadis berkaca mata yang rambut hitam panjangnya dikuncir di belakang tampak menatap lurus ke arah mobil mereka. Raut wajah gadis itu mirip sekali dengan sang putra. Lelaki tua itu berusaha menahan haru, tidak membiarkan dua matanya yang memanas mengeluarkan cairan bening. Ia pun berdeham.
Anna membuka pintu lebih lebar. Menatap tajam ke arah mobil mewah yang sepertinya tersasar ke halaman rumahnya. Menunggu sejenak, tapi tidak ada pergerakan.
Sombong amat tu pemilik mobil! Udah tahu kesasar nyari alamat sampai ke halaman rumah orang, malah ga mau turun. Masa iya mau tanya alamat aja harus yang punya rumah yang nyamperin!
Dengan dongkol, Anna melangkah menghampiri mobil yang cat nya sangat mengkilap itu. Saat Anna sudah hampir tiba di dekat mobil, pintu penumpang mobil pun terbuka.
Anna terpaku saat seorang pria tua yang rambut rapinya sudah memutih sebagian, turun dari mobil itu. Sementara sang sopir yang tidak menyangka bossnya akan langsung turun tergopoh melangkah dan membantu sang juragan menuruni mobil.
Anna mundur, memberi jalan kepada pria tua yang tanpa kata dan hanya lirikan sekilas melangkah lurus ke arah pintu rumah dimana neneknya yang tampak terkejut dan terlihat pucat seiring kedatangan tiba-tiba pria itu.
Anna yang tidak tahu situasi, lupa dengan niat awal menanyakan kedatangan pria tua yang dikiranya salah alamat itu.
"Bolehkan saya masuk?" tanya Adi Wijaya saat dirinya sudah berada di teras depan pintu masuk rumah.
Badriah yang memucat dan terpaku merasakan jiwanya yang sempat melayang kembali ke tubuhnya. "I-iya. Silakan!" gugup, Badriah mundur dan memberikan jalan bagi pria tua yang tentu saja dikenalnya itu. "Pergilah ke belakang, Anna!" Perintah Badriah kepada cucunya yang terlihat masih menampakkan raut tanda-tanya.
Anna pun mengangguk. Ia mengerti bahwa kedatangan pria itu sangat tidak diharapkan oleh neneknya. Dan ada pembicaraan yang tidak boleh ia dengar. "Perlu Anna siapkan minum, Nek?"
"Tidak perlu!" tolak tamu tak diundang itu. Meski pertanyaan gadis itu bukan untuknya.
Anna menangkap raut wajah pria tua dengan setelan casual tapi tampak mahal itu terlihat tidak nyaman memasuki rumah mereka. Terlihat juga bahwa tamu itu tampak ragu hendak duduk di sofa tua yang busa di beberapa sudutnya sudah mencuat keluar minta dijahit kembali. Jika saja Anna tidak disuruh sang nenek untuk kembali ke belakang, tentu ia akan dengan leluasa mengamati tamu tak diundang itu.
"Siapa, Na?" tanya Tony saat tubuh Anna muncul dari balik tirai pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang keluarga.
Anna mengangkat bahunya lalu melanjutkan makan, menghabiskan nasi nya yang masih tinggal separuh.
Anna menarik lengan Tony yang berdiri hendak melihat tamu yang datang "Jangan!" Ia menggeleng. "Tampaknya nenek tidak ingin kita ikut campur atau mendengar pembicaraan itu."
Tony pun kembali duduk. "Lo kenal?"
Anna menggeleng, menghabiskan makanan yang sedang dikunyahnya lalu meneguk air untuk mendorong makanan itu melewati tenggorokannya. "Kayaknya sih rentenir!" simpul Anna setelah praduga sebelumnya bahwa tamu itu adalah orang salah alamat tersingkirkan.
"Rentenir?" Tony membelalak sambil menarik kursi nya agar lebih dekat ke Anna. Agar mereka lebih leluasa berbisik.
Anna mengangguk. "Mobilnya Range Rover, sopirnya kayak mafia. Wajah nenek aja sampai pucat pasi. Siapa lagi yang punya urusan sama nenek kalau bukan rentenir?"
Ctak!
Tony menjitak kening Anna dengan telunjuknya. "Elo gimana sih! Kalau rentenir, masa lo biarin nenek menghadapi orang itu sendirian? malah ngelanjutin makan di sini," ia tidak percaya Anna tidak punya empati membantu neneknya yang pasti kesulitan menghadapi orang itu.
Anna mengusap bekas jitakan Tony dengan punggung tangannya sambil mengacung tinju ke arah pria itu. "Sialan lo! Lo ngeremehin nenek? Jangankan rentenir, boss mafia aja kalah sama nenek!" ujar Anna melanjutkan suapannya. "Lagian, setau gue, nenek ga punya hutang ama rentenir."
"Lalu ngapain orang itu ke sini? Lo bilang wajah nenek pucat pasi!"
"Au ah, gelap!" Anna mengangkat bahu, lalu melanjutkan aktivitasnya menghabiskan isi piring nya dalam keheningan. "Sini deh, lo!" Anna menarik lengan Tony saat ia selesai makan ke arah halaman belakang.
Kedua anak muda itu pun duduk di balai-balai tempat Anna tadi menghabiskan waktu. Anna melepaskan pandangan ke arah sawah milik neneknya yang terhampar hingga ke kaki bukit. Semilir angin meniup anak rambutnya, membuat pemuda yang berada disampingnya berusaha keras menyembunyikan hatinya yang bergetar.
Tony mengepal tangan, berusaha menahan agar tangan nya tidak membantu Anna menyelipkan anak-anak rambut nakal yang lepas dari ikatan itu ke belakang telinganya.
"Coba liat itu!" tunjuk Anna ke arah hamparan padi yang mulai mencuat dari sela-sela daunnya. "Gue ralat ucapan gue tadi. Nenek ga akan pernah punya hubungan sama rentenir."
Tony mengikuti arah pandangan Anna. Ia juga duduk seperti Anna dengan kedua lutut ditekuk ke atas. "Lo ga penasaran, kenapa rentenir itu datang?"
"Kali aja itu bukan rentenir, tapi kakek-kakek tua yang mau ngelamar gue!"
Tuk!
Sekali lagi Tony menjitak kening Anna. "Congor lo ya! Asal bacot aja." Ada perasaan tak rela, meski ia tahu kalau Anna hanya asal bicara.
Anna menyengir. Ia memang asal bicara, namun memiliki feeling yang tidak enak sejak ia membuka pintu melihat kedatangan tamu itu. Aura neneknya seperti menghadapi tekanan berat.
Andai Anna tidak tahu bagaimana sifat neneknya, pasti ia tidak akan begitu saja membiarkan dan meninggalkan sang nenek berbicara dengan pria tua menyebalkan itu.
"Jadi lo udah keterima kerja juga?" tanya Anna mengalihkan topik pembicaraan
Tony menarik napas dalam lalu tersenyum. "Iya dong! Masa kalah sama elo!" Tony menepuk dada. Bangga.
Anna ikut bahagia mendengar kabar itu. "Di mana?"
Tatapan bahagia kedua insan itu bertemu.
Hening sejenak.
"WG juga dooong! Haha...," Tony tertawa lalu berlari ke arah pematang sawah, menunjukkan kebahagiaan yang sejak ia sampai di rumah tadi pagi ia tahan untuk diperlihatkan langsung kepada Anna.
"Serius, Lo?!" Anna ikut tertawa mengejar Tony. Kedua insan itu seperti anak kecil kegirangan berlarian di pematang sawah.