Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Wanita di Balik Tirai
Jakarta, pukul 03.24 dini hari.
Di kamar hotel suite yang remang, Claudia berdiri di depan jendela lebar lantai 32 dengan sebatang rokok menyala di jarinya. Asapnya berputar pelan, seperti pikirannya yang tak berhenti menggulung: panas, tajam, dan berbahaya.
Ia baru saja selesai membaca email dari seseorang yang tak pernah ia pikir akan kembali muncul di hidupnya. Subjeknya: “Foto Paijo di Toko Buku”.
Isi pesannya singkat, tapi lebih menyengat dari tusukan jarum di tengah malam:
“Clau, bocahmu lagi cari tahu soal Wicaksana. Dia nanya-nanya ke toko buku tua soal keluarga itu. Hati-hati, rahasiamu bisa bocor.”
Claudia mencengkeram ponsel. Kuku-kukunya yang dicat merah darah nyaris menggores layar.
“Bocah sialan itu…” gumamnya lirih, setengah geli, setengah takut.
Sudah bertahun-tahun Claudia bermain rapi dalam dunia gelap. Di antara pesta-pesta elit, kontrak rahasia, dan kasur hotel mahal, tak pernah sekali pun dia salah langkah. Tapi Paijo—si bocah kampung dengan wajah tampan dan ‘Alvarez’ legendarisnya—membuat semuanya jadi kacau.
Dulu, dia hanya mengira Paijo adalah gigolo lain yang bisa dikendalikan. Tapi semakin lama Claudia bersama pria itu, semakin dalam tatapan matanya, semakin banyak kenangan lama yang terangkat.
Apalagi saat melihat foto Paijo dengan wajah mirip seseorang dari masa mudanya: Andy Wicaksana.
Wajah itu—wajah yang dulu membuat Claudia jatuh cinta dan hancur sekaligus.
Claudia duduk perlahan di ranjang, meneguk wine-nya dalam satu tegukan. Dadanya berdebar, bukan karena cinta, tapi karena ancaman.
Kalau Paijo tahu siapa dia sebenarnya—kalau Paijo tahu dia adalah potongan puzzle yang selama ini hilang dari keluarga Wicaksana—maka seluruh keseimbangan yang Claudia jaga dengan cakar dan darah bisa runtuh.
Keesokan paginya, Claudia sudah bersolek. Blazer hitam berkelas, lipstik merah menyala, dan kacamata hitam besar menutupi matanya. Ia bukan lagi wanita yang menggoda di ranjang semalam. Dia kini CEO agensi hiburan dengan tangan panjang ke segala arah.
Langkahnya menghentak menuju ruang kerjanya. Sekretarisnya terbirit-birit mengikuti dari belakang, membawa berkas dan kopi pagi.
“Suruh orang kita ikuti Paijo. Siang, malam, bahkan kalau dia ke tukang tambal ban,” ujar Claudia dingin.
Sekretarisnya terbata, “I-Ibu... boleh tahu kenapa?”
Claudia menoleh. “Karena bocah kampung itu sedang menggali kuburannya sendiri. Dan aku gak mau dia ngajak aku masuk ke lubang itu juga.”
Sore itu, Claudia menelepon Paijo. Suaranya lembut, seperti madu beracun.
"Paijo… kamu sibuk nggak malam ini? Madam Vivi lagi pengen nostalgia. Dia bilang rindu lihat kamu pakai piyama sutra ungu.”
Paijo di ujung sana hanya tertawa hambar. “Saya pikir, Cla, kita sudah selesai sama ‘kerja nostalgia’.”
Claudia mengerutkan dahi. Nada suaranya berubah, masih manis tapi penuh taring.
“Sayang… kamu lupa siapa yang bantu kamu sampai sekarang? Jangan sampai, Paijo, aku juga nostalgia ke wartawan infotainment, ya. Aku yakin mereka akan suka cerita soal aktor baru yang dulunya tukang hibur tante-tante kesepian.”
Klik.
Telepon ditutup. Claudia memijit pelipisnya.
Dia tahu, ini bukan sekadar tentang Paijo yang bosan jadi gigolo. Ini tentang kebenaran yang nyaris mencuat ke permukaan. Dan kalau kebenaran itu sampai muncul… Claudia tahu, posisinya tak akan aman.
Malamnya, Claudia duduk di ruang rahasianya. Dinding penuh dokumen lama, foto, dan selembar kertas tua berwarna kecokelatan: surat kelahiran Paijo yang dulu dicuri dari rumah sakit oleh seseorang yang bekerja untuknya.
Jovano Gregorius Wicaksana.
Nama itu menyala di kertas seperti kutukan.
Claudia menatapnya lama. Di sudut bibirnya, senyum pahit merekah.
“Aku yang tahu kamu sejak bayi, Jo. Aku yang jaga kamu dari kebenaran. Jangan coba-coba membuka peti yang kuburanku sendiri pun nggak siap nerima.”
Tangan kirinya menggenggam segelas anggur merah, sementara tangan kanan menyusuri sebuah album tua berisi potret masa lalu yang nyaris terlupakan. Di halaman paling depan, ada foto hitam putih seorang wanita muda dengan gaun pesta sederhana, memeluk erat seorang pria tampan yang tengah tersenyum kaku. Di bagian bawah foto itu tertulis: Jakarta, 1999 – Claudia & Andy.
Claudia menghela napas panjang. “Kalau waktu bisa diulang…”
Ia tak menyelesaikan kalimatnya. Matanya menatap tajam ke arah pantulan dirinya sendiri di cermin.
Dua puluh tahun lalu, Claudia bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang sekretaris muda yang bekerja di salah satu kantor properti milik keluarga Wicaksana. Di sanalah ia bertemu Andy—pria beristri dengan senyum yang memikat dan kata-kata manis yang bisa melelehkan es Himalaya sekalipun. Claudia jatuh cinta. Bukan cinta yang biasa. Tapi cinta yang membuatnya rela dibohongi, rela diabaikan, bahkan rela menjadi bayangan.
Hubungan mereka bersemi dalam diam. Claudia tahu ia hanya selingan, namun tetap bertahan. Hingga pada suatu malam, Andy datang dalam keadaan mabuk, menangis di pelukannya, mengeluhkan keretakan rumah tangganya dan membutuhkan dirinya.
Tapi suatu malam, Andy berniat untuk mengakhiri hubungannya karena tidak ingin meneruskan perselingkuhannya tersebut. Claudia tahu keputusan Andy itu karena istrinya itu akan melahirkan.
Claudia yang sudah terlalu dalam mencintai Andy tidak akan sudi melepaskan pria itu. Ditambah kabar kalau dirinya tengah hamil.
Ia langsung mencari siasat. Rencana agar dirinya tidak kehilangan cinta pertamanya itu. Claudia mulai menyuruh orang untuk melakukan sesuatu. Hal yang berbahaya karena obsesinya yang semakin menyesatkan.
Namun sayang, sesuatu yang jauh yang ia lakukan tidak sesuai dengan harapannya. Kenyataan dirinya yang hanyalah wanita selingan tidak menjadikannya seorang ratu di tahta yang diinginkan.
Andy tetap meninggalkannya namun membawa anak yang dikandung olehnya. Meski menyakitkan, namun wanita itu terhibur dengan kenyataan kalau anaknya lah yang akan mewarisi semua kekayaan pria yang dicintainya.
Tentu saja, ia masih terus mencari keberadaan anak kandung Andy. Dan lebih dari itu, Claudia tidak membiarkan Andy bahagia dengan istri barunya. Ia selalu turut campur dalam menggagalkan usaha mereka memiliki keturunan lain.
Tahun-tahun berlalu. Claudia naik kelas. Menjadi sosialita, membuka agensi model, dan bergaul dengan elite Jakarta.
Ketika akhirnya wajah pemuda itu muncul dalam wawancara casting agensinya, Claudia nyaris terjatuh dari kursinya. Wajah itu. Matanya. Senyumnya. Semua itu mengingatkan Claudia pada satu orang—Andy Wicaksana.
Saat itulah, obsesi lama mekar kembali. Bukan lagi karena cinta pada Andy. Tapi pada teka-teki hidup yang belum selesai. Jika benar Paijo adalah anak dari Andy... ia tidak boleh tahu. Dan ia juga... harus dikendalikan.
Claudia tak butuh tes DNA. Baginya, tatapan Paijo yang polos namun keras kepala sudah menjawab semuanya. Ia mulai mendekati Paijo. Merayunya. Memolesnya. Dan secara perlahan, membentuknya menjadi pria ideal di dunia malam Jakarta: Joe Gregorius, sosok yang tampan, misterius, dan menjadi incaran banyak wanita kaya kesepian.
Namun lebih dari sekadar bisnis dan gairah, Claudia menyimpan ketakutan. Takut jika suatu hari Paijo mengetahui kebenarannya sendiri. Takut jika seseorang dari masa lalu datang membawa kebenaran yang bisa merenggut segalanya—termasuk kekuasaan Claudia atas pria itu.
Claudia menutup album itu perlahan. Ia berjalan ke lemari besi kecil, mengeluarkan satu amplop coklat yang sudah mulai menguning. Di dalamnya, akta kelahiran lain—yang berbeda dari yang pernah dilihat Paijo.
“Jovano Gregorius Wicaksana...” Claudia menyebut nama itu seperti mantra. Nama yang ditulis oleh seorang wanita yang entah di mana kuburannya kini. Seorang wanita yang "konon" meninggal setelah melahirkan anak itu... dan mempercayakannya kepada Mbok Sarni.
Claudia tahu kebenaran ini hanya tinggal menunggu waktu. Tapi dia tidak peduli.
“Kalau kamu tahu siapa kamu sebenarnya, Paijo…” gumam Claudia dengan senyum kecut. “Kamu akan pergi. Dan aku akan kehilangan semua yang telah kuperjuangkan.”
Dia meneguk habis sisa anggur dalam gelasnya. Kemudian menyalakan sebatang rokok panjang, seperti ritual malam menjelang perang.
Di tempat lain, Paijo berdiri sendiri di balkon apartemennya. Jakarta yang hiruk-pikuk tampak kecil dari ketinggian. Hatinya tak bisa tenang. Suzy masih menghilang. Claudia masih menekannya. Dan masa lalunya... mulai menampakkan taringnya.
Ia tak tahu siapa dirinya sebenarnya. Tapi satu hal yang pasti: Claudia tahu. Claudia menyembunyikan sesuatu. Dan cepat atau lambat... rahasia itu akan pecah.
Claudia yang selama ini tampak manipulatif namun ternyata didorong oleh trauma dan obsesi masa lalu.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
next lah bang. jgn bikin kita kita penasaran terus😑😆
Tak apa jika kebenarannya tidak terungkap skrg. Cukup kenali dirimu sndiri dan berdamai dgn diri sndiri dlu ya dan obati luka yg sepertinya masih tersayat dlm batinmu, nnti kebenarannya akan mnemukan jalannya sndiri
Mangat Jo kmu bener² berberda skrg, beda pas awal yg klo celetuk lucu😭🤌
brarti stengah lgi cintanya kemana Jo😭🏃♀️🏃♀️