Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Jalan yang Tak Terlihat
–
Mereka berjalan melewati reruntuhan Sanctum Jiwa, tempat yang dulu megah dan sakral, kini berubah menjadi bayang-bayang dari kejayaannya. Pilar-pilar batu retak, taman spiritual mengering, dan udara dipenuhi bisikan-bisikan jiwa yang belum sempat kembali ke alam asalnya. Tapi Jiang Hao tidak berhenti. Setiap langkahnya adalah pernyataan: bahwa harapan belum mati.
“Ke mana kita akan pergi?” tanya Ying’er pelan, masih menggenggam tangannya yang tersisa.
“Ke Perpustakaan Akar Dunia,” jawab Jiang Hao. “Jika masih ada sesuatu yang bisa menjelaskan kehancuran ini, maka itu ada di sana. Semua sejarah dunia, termasuk yang disembunyikan para leluhur… terkunci di tempat itu.”
Ying’er mengangguk, meski keningnya mengernyit. “Tapi tempat itu sudah ditutup ribuan tahun. Bahkan roh penjaga pun menolak siapa pun masuk…”
Jiang Hao menatap matanya dalam-dalam. “Itu sebabnya kita butuh dia.”
“Dia…?”
Suara langkah kaki muncul dari balik kabut. Seorang pria muda dengan jubah kelabu dan mata tertutup kain hitam muncul perlahan. Di pundaknya tergantung lonceng kecil yang tidak berdenting, tapi udara seketika terasa berat saat ia muncul. Setiap jejak langkahnya membuat tanah menjadi abu.
“Li Fan,” sapa Jiang Hao, tenang namun tegang.
Ying’er menegang. “Orang buta dari Lembah Abu?”
Li Fan tersenyum tipis. “Aku mendengar seseorang ingin membuka pintu Perpustakaan Akar Dunia. Dunia rupanya sudah benar-benar putus asa jika kau datang mencariku, Jiang Hao.”
Jiang Hao menatapnya lekat. “Aku tak punya banyak pilihan. Mu Lei mungkin sudah dikalahkan, tapi kehancuran belum selesai. Jika benar ada jalan untuk menyusun ulang dunia ini… maka hanya catatan tertua yang bisa menunjukkan caranya.”
Li Fan mendekat, berdiri sejajar dengan mereka. “Kau tahu harga dari masuk ke perpustakaan itu, bukan? Satu ingatan harus kau tukar untuk tiap halaman yang kau buka. Dan bukan ingatan biasa—yang paling berharga yang pernah kau miliki.”
Jiang Hao mengangguk. “Kalau itu harga yang harus kubayar, aku siap.”
Li Fan menghela napas. “Bodoh. Tapi berani.”
Ia mengangkat tangannya, dan dari dalam jubahnya muncul gulungan kain berwarna gelap, dipenuhi tulisan kuno. Kain itu kemudian terbentang di udara, membentuk portal spiral menuju suatu tempat jauh di luar pemahaman manusia. Di dalamnya terlihat akar raksasa menjalar ke segala arah, melilit bangunan tua berlapis naskah cahaya.
Ying’er terbelalak. “Itu… Perpustakaan Akar Dunia.”
Li Fan melangkah pertama kali. “Ayo. Setiap detik yang kita buang, dunia semakin menjauh dari harapan.”
Jiang Hao dan Ying’er mengikuti, melintasi pusaran menuju dunia yang hanya dikenal oleh para pencari kebenaran sejati. Saat langkah terakhir mereka menjejak lantai perpustakaan, suara berat memenuhi udara:
"Selamat datang, jiwa-jiwa pelupa. Apa yang rela kau korbankan demi mengingat akhir dunia?"
Jiang Hao menarik napas panjang. Dalam pikirannya, ia tahu… untuk menyelamatkan masa depan, ia mungkin harus melupakan cinta pertamanya, wajah ibunya, atau bahkan nama sendiri.
Dan di hadapan mereka, ribuan lemari berjajar, berisi sejarah yang tak terucap—tentang penciptaan, pengkhianatan, dan jalan yang belum terlihat.
---
Langit Perpustakaan Akar Dunia tak pernah berubah. Gelap, namun bersinar. Seolah-olah jutaan kunang-kunang spiritual menggantung di antara akar-akar raksasa yang melingkupi ruangan. Mereka melayang dalam keheningan, mengamati para tamu yang sangat jarang datang.
Li Fan berjalan dengan langkah pasti, seolah ia sudah mengenal setiap lorong dan belokan di tempat ini. Lonceng kecil di pundaknya berdetak sekali—nyaring dan menghantui. Suara itu menggema, dan lemari-lemari di sekitar mereka tiba-tiba terbuka perlahan.
“Ini dia,” kata Li Fan, menunjuk rak paling atas. “Naskah yang mencatat tentang Perjanjian Darah Tertua. Bahkan sebelum dunia seperti yang kita kenal ini terbentuk.”
Ying’er menatapnya dengan cemas. “Kau yakin tak ada jalan lain?”
Li Fan menoleh. “Setiap halaman yang dibuka akan mengambil satu kenangan. Dan Jiang Hao… kau harus memilih sendiri.”
Jiang Hao menatap naskah tua itu. Ia tahu tidak ada waktu untuk ragu. Dunia telah retak, dan jika dia tak menemukan cara memperbaikinya, maka tak hanya dia—Ying’er, semua makhluk, bahkan dimensi spiritual pun akan lenyap.
Tangannya gemetar saat menyentuh halaman pertama.
Cahaya ungu menyilaukan mata mereka.
Dan seketika itu juga, kenangan tentang wajah gurunya… menghilang.
---
Potongan pertama dari naskah itu bercerita tentang “Jiwa Pertama”, makhluk yang bukan manusia, bukan roh. Ia adalah kesadaran murni—dan ternyata, itu adalah Jiang Hao sendiri, dalam bentuk paling purba. Sebelum dunia ini ditulis ulang oleh para Leluhur Langit, ada perang antara dua kekuatan: Keinginan untuk Menjaga, dan Nafsu untuk Menguasai.
Dan saat perang itu terjadi, Jiwa Pertama membagi dirinya. Separuh menjadi Penjaga Alam. Separuh lainnya… menjadi penagih. Menjadi Mu Lei.
Ying’er menutup mulutnya. “Jadi… Mu Lei adalah dirimu sendiri? Separuh dirimu yang dulu?”
Jiang Hao menunduk. Tiba-tiba semuanya menjadi masuk akal—mengapa tangan kanannya selalu memberontak, mengapa kekuatan itu terasa asing meski begitu menyatu. Ia telah bertarung melawan dirinya sendiri.
“Dan perjanjiannya,” gumamnya, “bukan tentang mengikat dunia… tapi mengikat dua sisi jiwaku. Agar tidak pernah bersatu kembali.”
Li Fan mengangguk pelan. “Kau ingin mengakhiri semua ini? Kau harus bersatu kembali. Tapi itu berarti… kau akan kehilangan ‘kau’ yang sekarang.”
Halaman kedua dibuka.
Ingatan tentang adik perempuannya… lenyap.
---
Dalam naskah itu, dijelaskan tentang Ritual Penyatuan Jiwa. Sebuah upacara terlarang yang hanya bisa dilakukan sekali dalam sejarah. Jiwa Penjaga dan Jiwa Penagih harus disatukan dalam tubuh manusia fana. Tapi agar itu terjadi, pengorbanannya bukan hanya kenangan… tapi perasaan.
Jiang Hao harus melepaskan cinta, rasa takut, dendam, bahkan kasih. Menjadi kesadaran murni, tanpa rasa. Hanya dengan itu, jiwanya bisa menerima kembali bagian yang hilang.
Ying’er menggenggam lengan Jiang Hao erat. “Jangan… kalau kau hilang, lalu siapa yang akan menyelamatkan dunia ini? Siapa yang akan tetap menjadi Jiang Hao?”
Jiang Hao menatapnya, sayu. “Aku harus melakukannya. Kalau tidak, dunia akan terus berada di ambang kehancuran, seperti menanti ledakan terakhir.”
“Tapi aku tidak ingin menyelamatkan dunia dengan kehilanganmu!” seru Ying’er, air matanya mulai jatuh.
Li Fan menunduk, suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Mungkin… kau bisa mengikat sebagian perasaanmu pada satu kenangan. Jika kuat, kenangan itu bisa bertahan, meski kau kehilangan yang lain.”
Ying’er menatap Jiang Hao. “Pilih satu. Satu saja… satu hal yang tak ingin kau lupakan.”
Jiang Hao terdiam. Lalu perlahan, ia mengangkat tangan kirinya, menyentuh pipi Ying’er.
“Saat aku menatapmu… di bawah hujan di Desa Yin Hua. Saat kau tak tahu siapa aku, tapi tetap membawaku masuk. Itu… adalah awal dari semuanya.”
Ying’er menangis, menggenggam tangannya.
Dan Jiang Hao membuka halaman ketiga.
Cahaya meluap dari naskah itu, menyelimuti tubuhnya. Akar-akar di sekeliling mereka mulai tumbuh cepat, membentuk lingkaran sihir yang bergetar hebat. Li Fan segera mundur.
“Ritualnya telah dimulai!”
Jiang Hao berteriak pelan, tubuhnya terangkat di udara. Dari dalam tubuhnya, cahaya hijau dan ungu bertabrakan, saling melilit, saling menghancurkan dan menyatu. Jiwa Penjaga dan Jiwa Penagih mulai melebur. Satu entitas baru… terlahir.
Ying’er tersungkur. “Jangan lupakan aku… meski hanya sekejap…”
Tiba-tiba, dentuman keras terdengar dari atas langit Perpustakaan. Portal hitam terbuka. Sesosok entitas lain—besar, kabur, dengan wajah berlapis topeng—muncul. Ia bukan Mu Lei. Ia bukan makhluk fana.
“DIA TELAH MEMBUKA PENYATUAN!” entitas itu meraung. “AKU ADALAH KEHENDAK YANG TAK MAU DILUPAKAN! AKU AKAN MEMBUNUHNYA SEBELUM DIA SELESAI!”
Li Fan memekik. “Itu… itu adalah Kenangan Kolektif Dunia! Bagian dari alam yang menolak perubahan!”
Ying’er berdiri dengan air mata di wajahnya. Ia tahu… hanya satu orang yang bisa menahan makhluk itu cukup lama.
Ia memetik kecapi.
Nada-nada terakhir pun mengalun—melodi yang bisa menahan waktu, bahkan jika hanya beberapa detik.
“Jiang Hao… cepatlah. Aku tak bisa menahannya lebih lama.”
Dan di tengah dentuman cahaya dan nyanyian cinta yang terluka, Jiang Hao membuka mata. Satu mata bersinar hijau. Yang satu lagi… ungu menyala.
“Aku kembali,” bisiknya. “Sebagai satu.”
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh