Dibunuh oleh putrinya sendiri membuat Kayana bersumpah untuk membalas setiap perbuatan keji sang putri saat ia diberikan kesempatan untuk hidup kembali. Doanya terkabul ia diberikan kesempatan hidup lagi, apakah ia akan membalas dendam kepada sang putri atau luluh karena sang putri berubah menjadi anak baik???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warisan
Laston menyerahkan rekaman CCTV rumah kepada pihak berwajib. “Kami punya bukti siapa yang masuk ke kamar nenek sebelum kejatuhan itu terjadi,” ujarnya tenang, tapi dingin.
Penyelidikan dimulai. Polisi meminta semua penghuni rumah tetap di dalam hingga penyelidikan awal selesai. Vanesa akhirnya dibawa ke ruang tamu oleh salah satu pelayan yang berhasil membujuknya.
Ia duduk, menunduk. Tak ada satu pun dari mereka yang memandangnya dengan simpati. Putri hanya menatap lurus ke depan. Mala mencoba mengendalikan diri, namun nadanya tegas saat berkata, “Kamu sudah melewati batas, Vanesa. Kali ini kamu tak bisa lari lagi.”
“Aku tidak berniat membunuhnya,” bisik Vanesa pelan, hampir tak terdengar. “Aku hanya… aku hanya ingin dia mengerti.”
“Dengan mendorongnya dari lantai dua?” sergah Laston dingin.
Shela dan Haris yang datang belakangan juga mendengar kabar kematian Nyonya Wijaya. Mereka terkejut, namun lebih cemas dengan nasib Vanesa. Haris bahkan mencoba menyuap aparat agar kasus ini tidak diperpanjang. Tapi Laston sudah lebih dulu melaporkan semuanya ke pihak yang lebih tinggi. Bukti video, sidik jari, dan saksi cukup kuat untuk menyeret Vanesa ke ranah hukum.
Malam itu, Vanesa dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Ia menjerit dan memohon kepada Mala agar menyelamatkannya.
“Ibu, tolong aku… Aku anakmu…”
Namun Mala hanya menatapnya lama. Air matanya mengalir, bukan karena sedih, tapi karena kecewa yang tak terbendung.
“Anak kandungku ada di sebelah sana. Yang kamu hina, yang kamu siksa, yang kamu coba bunuh.” Suaranya gemetar. “Dan kamu, Vanesa… kamu adalah karma untuk hidupku yang pernah terlalu percaya pada orang yang salah.”
Vanesa akhirnya dibawa pergi oleh polisi. Putri memalingkan wajahnya, tak ingin melihat gadis yang selama ini menghancurkan hidupnya.
Shela dan Haris saling pandang, menyadari bahwa perlahan-lahan semua yang mereka bangun dengan tipu daya mulai runtuh satu per satu.
Dan untuk pertama kalinya, Putri mendekat ke Mala. Ia menggenggam tangan wanita itu dan berkata lirih, “Aku tahu ibu tak sempurna… tapi kali ini, aku percaya.”
Mala memeluknya erat. Luka lama mulai sembuh perlahan.
Namun cerita belum benar-benar usai. Di balik layar, Shela belum menyerah. Ia tahu, harta warisan Nyonya Wijaya masih bisa dimanipulasi… selama ia menemukan celah.
Sepekan setelah kepergian Nyonya Wijaya, suasana rumah besar itu masih diliputi duka. Namun di balik keheningan, aroma intrik mulai tercium. Notaris keluarga dijadwalkan hadir untuk membacakan surat wasiat mendiang Nyonya Wijaya. Semua anggota keluarga diundang: Mala, Putri, Haris, dan—secara mengejutkan—Shela.
Putri duduk di ruang utama bersama Mala. Wajahnya tenang tapi tegas. Ia tak lagi gadis pemalu yang dulu dibungkam oleh ejekan dan hinaan. Ada kekuatan dalam tatapannya, terlebih sejak mengetahui bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga Wijaya yang sah.
Notaris mulai membacakan isi surat.
“...Dengan kesadaran penuh, saya, Nyonya Wijaya, menyatakan bahwa seluruh aset kekayaan keluarga akan diwariskan kepada cucu kandung saya, yakni Putri Aulia, yang telah lama hilang namun kini ditemukan kembali…”
Suara notaris terdengar jelas, membuat wajah Haris dan Shela memucat.
“Namun, jika sesuatu terjadi pada Putri sebelum ia genap berusia 18 tahun, maka harta akan jatuh ke tangan ibunya, Mala.”
Shela mengepalkan tangan. Segala rencananya terasa buyar. Ia berharap warisan itu tetap bisa jatuh ke tangan Vanesa—atau minimal dirinya melalui manipulasi hukum. Tapi kini semuanya tergantung pada Putri, gadis yang sangat ia benci sejak bayi.
hadeh ada juga yg kyk gtu