Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akad Tanpa Cinta
Fajar menyingsing pelan, seolah malu menatap bumi. Langit Jakarta pagi itu berwarna pucat keemasan. Di rumah keluarga Zahra, udara terasa hangat oleh aroma melati dan wewangian kayu cendana.
Para tamu mulai berdatangan dengan busana putih dan biru muda, warna yang dipilih Alya karena ia ingin hari itu terasa tenang, tidak mencolok, dan penuh keberkahan.
Alya duduk di ruang rias, wajahnya terpancar lembut di balik kaca besar.
Makeup-nya tipis, hanya menegaskan keanggunan alami yang memang sudah ada. Hijab putih berpayet halus menutupi rambutnya, dan senyum kecil tersungging di bibirnya yang pucat.
“Kamu sudah siap, Nak?” tanya bu Ratna lembut.
“InsyaAllah, Bu. Hati Alya sudah siap,” jawab Alya dengan nada pelan tapi pasti.
Di dadanya, degup jantungnya berdetak teratur, bukan karena gugup, melainkan karena pasrah. Ia tahu, hari ini bukan awal dari kisah cinta yang indah seperti di buku-buku. Tapi ia berharap, ini awal dari ladang pahala yang panjang.
Sementara itu, di rumah besar keluarga Maheswara, suasana justru berbanding terbalik.
Arga mengenakan setelan jas putih bersih, tapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. Ia menatap cermin, menyesap udara dengan malas, lalu berkata pelan,
“Lucu. Gue nikah sama orang yang bahkan gak gue kenal.”
Bu Retno mengetuk pintu, masuk dengan senyum menahan haru.
“Nak, ayo. Sudah ditunggu keluarga calon istrimu.”
Arga memutar tubuhnya, memandang ibunya sebentar. “Kenapa sih harus ini caranya? Kenapa harus Arga?”
Bu Retno menatap putranya dalam. “Karena mungkin kamu belum pernah diajarkan arti tanggung jawab, Ga. Dan gadis itu... bisa jadi jalan kamu mengenalnya.”
Arga mengembuskan napas kasar. “Jalan mengenalnya? Arga bahkan gak yakin sama yang di atas sana.”
“Justru itu, Nak,” jawab ibunya tenang. “Allah tahu caranya menuntunmu. Kadang bukan lewat musibah, tapi lewat seseorang yang sabar.”
Arga tak membalas. Ia menatap lantai, lalu mengambil ponselnya.
“Ya sudah. Kita berangkat saja. Biar cepat selesai.”
---
Rumah keluarga Zahra semakin ramai. Ustaz, penghulu, dan keluarga besar duduk dengan khidmat. Ruang tamu besar itu kini berubah menjadi tempat akad yang sederhana tapi hangat, penuh kaligrafi di dinding dan bunga melati di meja.
Ketika rombongan Arga datang, suasana mendadak hening.
Arga melangkah masuk dengan langkah tegap dan wajah datar.
Sorot matanya tajam, seolah tak peduli dengan semua yang menatapnya.
Alya menunduk sopan, tak berani menatap calon suaminya. Tapi di dalam hati, ia berdoa pelan:
“Ya Allah, lembutkanlah hati yang keras, tenangkanlah jiwa yang gelisah, dan berkatilah ikatan ini karena nama-Mu.”
Ketika penghulu memulai prosesi, suara doa bergema lembut.
“Bismillahirrahmanirrahim... Hari ini, dengan izin Allah, akan kita saksikan akad nikah antara saudara Arga Maheswara dan saudari Alya Nur Zahra...”
Semua menunduk, suasana sakral memenuhi ruangan.
Pak Damar menyerahkan tangan Arga kepada pak Rasyid, ayah Zahra.
“Arga, ucapkan dengan tenang,” bisiknya.
Arga menarik napas panjang. Jari-jarinya sedikit bergetar, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi.
“Saya nikahkan, Arga Maheswara bin Damar Maheswara dengan putri saya, Alya Nur Zahra...”
Suara itu berat dan dalam.
“Saya terima nikahnya Alya Nur Zahra binti Rasyid Zahra, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas sepuluh gram dibayar tunai.”
Hening.
Lalu para saksi berkata, “Sah.”
Dan seketika ruangan bergema dengan ucapan Alhamdulillah.
Beberapa ibu menitikkan air mata, termasuk Bu Retno yang memeluk Alya dengan penuh kasih.
“Selamat datang di keluarga kami, Nak. Semoga rumah tangga kalian sakinah, mawaddah, warahmah.”
Alya mencium tangan ibu mertuanya dengan lembut.
“Terima kasih. Mohon bimbingannya.”
Di sisi lain, Arga hanya berdiri diam, matanya kosong. Ia menatap ke arah Alya sebentar, lalu berbalik, meminum segelas air putih yang disodorkan panitia tanpa mengucap apa pun.
Semua orang melihatnya aneh, tapi tak ada yang berani menegur.
Alya melihat itu dari jauh, hatinya sedikit menghangatkan diri dengan sabar.
“Dia hanya butuh waktu,” bisiknya pada diri sendiri.
“Boleh jadi Allah menundanya bukan untuk menyakitiku, tapi agar aku belajar lebih banyak mencintai karena-Nya.”
---
Beberapa jam setelah akad, sesi makan bersama keluarga berlangsung.
Alya duduk dengan sopan di samping Bu Retno, sementara Arga sibuk dengan ponselnya, bahkan tak menyentuh makanan.
Pak Rasyid, ayah Alya, mencoba mencairkan suasana.
“Arga, Nak, semoga setelah ini kamu bisa lebih sering datang. Ayah pasti akan sangat merindukan Alya."
Arga menatap ayah mertuanya singkat, lalu tersenyum hambar.
“Iya, ayah.”
Jawaban itu membuat udara mendadak kaku.
Alya menunduk, tidak ingin mempermalukan suaminya. Ia lalu menjawab lembut,
“InsyaAllah, Alya akan berusaha menjadi istri yang baik, Yah. Seperti pesan Rasulullah: ‘Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.’”
Bu Retno tersenyum bangga mendengar kutipan itu, tapi Arga hanya menggerakkan rahangnya pelan, menahan emosi. Ia merasa tertekan, bukan oleh Alya, tapi oleh dirinya sendiri.
---
Malam tiba. Rumah keluarga Maheswara sudah disiapkan untuk tempat tinggal pasangan baru itu.
Sebuah kamar besar tanpa dekorasi, hanya warna hitam khas Arga.
Alya masuk perlahan, memandangi tempat tidur dan ruangan luas yang terasa asing.
Arga berdiri di balkon, menyalakan rokok.
Alya mendekat beberapa langkah, lalu berkata lembut,
“Mas... kalau bisa, jangan merokok di dalam kamar. Bau asapnya bisa menempel di mukena dan sajadah.”
Arga menoleh dengan alis terangkat.
“Sampai asap rokok aja lo atur?”
Nada suaranya dingin, menusuk.
Alya tidak tersinggung. Ia hanya menunduk sedikit, lalu menjawab,
“Aku tidak bermaksud mengatur, Mas. Hanya mengingatkan, karena kebersihan itu bagian dari iman.”
Arga menatapnya lama, lalu menghela napas dan membuang puntung rokok ke luar.
“Udah, jangan khotbah di malam pertama. Gue capek.”
Alya hanya mengangguk pelan.Ia berjalan menuju lemari, mengambil mukenanya, dan menggelar sajadah di pojok ruangan.
Saat Arga merebahkan diri di tempat tidur, ia melirik sekilas.
Alya berdiri menghadap kiblat, suaranya lirih, membaca ayat-ayat yang menenangkan:
“Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun, waj‘alna lil muttaqina imama.”
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Suara lembut itu menggema pelan, menembus hati Arga tanpa izin.
Ia menatap langit-langit, menahan sesuatu di dadanya yang ia sendiri tak mengerti.
Untuk sesaat, ia merasa asing di rumahnya sendiri.
Karena untuk pertama kalinya... seseorang mendoakannya bukan karena harta, tapi karena ingin ia pulang, bukan ke rumah, tapi ke arah Tuhan.
---
🕊️ To be continued...
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣