NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: tamat
Genre:Dunia Lain / Tamat
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~Serpent's Maw~

Matahari baru saja naik ketika rombongan Edrick meninggalkan gua. Udara pagi terasa dingin, dan embun menempel di ujung daun. Mereka bergerak cepat, ingin menjauh sejauh mungkin sebelum Garrick atau pemburu bayaran itu menemukan jejak mereka lagi.

Darius memimpin di depan, matanya menyapu jalan setapak yang hampir tak terlihat. “Kita butuh setidaknya dua hari perjalanan untuk mencapai mulut Serpent’s Maw. Setelah itu, mungkin tiga atau empat hari lagi untuk melewatinya,” jelasnya.

Selene berjalan di belakang Darius, matanya waspada. “Kalau tempat itu seburuk yang kudengar, kita harus pastikan kuda-kuda kita cukup kuat. Jalan di dalam lembah kemungkinan tidak bersahabat.”

Mira menatap lengan yang dibalut kain. “Aku bisa mengatasinya. Tapi aku tidak akan bisa menembak dengan sempurna untuk beberapa hari.”

Edrick berjalan di sampingnya. “Kau sudah melakukan banyak hal. Jangan paksakan dirimu.”

Mira menoleh dan menatapnya tajam. “Jangan perlakukan aku seperti beban.”

Edrick sedikit kaget, tapi kemudian tersenyum tipis. “Aku tidak bermaksud begitu.”

Di belakang, dua prajurit pengawal menuntun kuda yang membawa perbekalan. Mereka berjalan dengan tenang, tapi mata mereka terus mengamati sekeliling, khawatir akan serangan mendadak.

Saat siang mulai mendekati puncak, mereka berhenti di sebuah sungai kecil untuk memberi minum kuda. Airnya jernih, tapi Darius tidak mau mengambil risiko. Ia menuangkan sedikit ke dalam botol dan meneteskan ramuan kecil untuk memastikan tidak beracun.

Selene duduk di batu besar, memeriksa peta. “Kalau kita memotong lewat dataran tinggi ini, kita bisa menghemat setengah hari. Tapi jalurnya lebih terbuka. Kalau Garrick mengirim pasukan ke sini, kita akan terlihat jelas.”

Darius menggeleng. “Tidak. Kita tetap di jalur hutan. Lebih lambat, tapi lebih aman.”

Mira menyela, “Atau kita bisa ambil risiko. Semakin cepat kita ke Highridge, semakin besar peluang kota itu belum jatuh.”

Edrick menatap ketiganya, kemudian memutuskan. “Kita tetap di hutan. Aku tidak mau kehilangan elemen kejutan.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Pohon-pohon tinggi menutup langit, membuat cahaya matahari hanya menembus sebagai garis-garis tipis di tanah. Suara burung dan serangga menjadi latar belakang konstan.

Menjelang sore, Darius tiba-tiba mengangkat tangannya. “Berhenti.”

Semua menahan langkah.

Darius berjongkok, menyentuh tanah. Ada jejak kaki besar, terlalu besar untuk manusia biasa. Jejak itu menuju arah yang sama dengan jalur mereka.

“Makhluk apa ini?” tanya Selene.

“Bisa jadi Troll Hutan,” jawab Darius dengan wajah tegang. “Atau sesuatu yang lebih buruk.”

Mira meraih busurnya secara refleks. “Kita bisa menghindarinya?”

Darius menggeleng. “Jejaknya segar. Kalau kita mencoba menghindar, bisa-bisa kita malah menabrak sarangnya.”

Edrick menggenggam gagang Ashenlight. “Kita tidak boleh mundur. Kita teruskan perjalanan, tapi hati-hati.”

Mereka bergerak lebih pelan. Setiap ranting patah terdengar lebih keras dari biasanya. Selene berjalan lebih maju, matanya mengamati setiap bayangan.

Tak lama kemudian, suara berat terdengar dari depan. Seperti nafas besar dari makhluk raksasa. Daun-daun bergerak, dan seekor Troll Hutan muncul di jalan setapak. Tubuhnya besar, kulitnya kehijauan dengan luka-luka lama yang tampak seperti bekas pertempuran lama.

Makhluk itu menatap rombongan, mengeluarkan suara geraman rendah.

Mira berbisik, “Kita bisa menghindarinya kalau bergerak pelan.”

Tapi tiba-tiba, salah satu kuda mengentak dan meringkik keras. Troll itu langsung menoleh tajam, lalu mengaum dan maju.

“Bersiap!” teriak Darius.

Edrick melompat maju, menarik Ashenlight. Pedang itu menyala terang, cahaya birunya memantul di mata Troll. Makhluk itu terhenti sesaat, seolah mengenali cahaya pedang itu.

“Dia takut,” kata Selene cepat.

“Tidak. Dia marah,” balas Darius, bersiap dengan pedangnya.

Troll itu menyerang, mengayunkan lengannya yang besar. Edrick menghindar dan menebas, meninggalkan luka bercahaya di lengan makhluk itu. Troll meraung keras, tapi tidak mundur.

Mira, meski terluka, melepaskan satu panah. Panah itu menancap di bahu makhluk itu, membuatnya semakin marah. Selene berlari ke samping, mencoba menusuk bagian bawah perutnya.

 

Troll itu meraung begitu keras hingga burung-burung beterbangan dari pohon-pohon. Suara gemuruhnya memantul di antara batang pohon, membuat kuda-kuda semakin gelisah.

Edrick menebas lagi, kali ini mengincar sisi tubuh makhluk itu. Tebasannya berhasil melukai, tapi Troll itu memukul balik dengan lengannya yang besar. Pukulan itu menghantam tanah, membuat tanah bergetar dan debu berhamburan.

“Selene, ke kiri!” teriak Darius.

Selene berguling menghindar, lalu melemparkan belati ke arah mata Troll. Belati itu menancap, membuat makhluk itu berteriak marah dan menutup wajahnya dengan tangan.

“Sekarang!” Darius berteriak, lalu melompat ke arah kaki Troll. Ia menebas tendon besar di pergelangan kakinya. Makhluk itu kehilangan keseimbangan, berlutut dan menghantam tanah.

Mira menahan rasa sakit di lengannya dan menarik busur lagi. Dengan napas berat, ia melepaskan panah kedua, kali ini mengarah ke dada Troll. Panah itu menancap dalam, membuat darah gelap mengucur.

Edrick melihat kesempatan. Ia melompat ke batang pohon kecil untuk mendapatkan posisi lebih tinggi, lalu meluncur ke depan, menancapkan Ashenlight ke bagian leher Troll. Cahaya biru pedang itu menembus kulit keras makhluk itu, membuatnya meraung terakhir kali sebelum roboh ke tanah.

Troll itu jatuh dengan suara berat, membuat dedaunan dan tanah bergetar.

Hening menyelimuti hutan. Hanya suara napas berat mereka yang terdengar.

Darius membersihkan pedangnya. “Itu tidak mudah.”

Selene mendekat ke Edrick. “Kau baik-baik saja?”

Edrick menarik napas panjang. “Ya. Tapi kita tidak bisa berlama-lama di sini. Raungan Troll ini mungkin menarik makhluk lain.”

Mira memegangi lengannya. “Dan aku butuh perban baru.”

Mereka memutuskan untuk menarik tubuh Troll sedikit ke samping jalan dan menutupinya dengan dedaunan untuk menyamarkan bekas pertempuran. Setelah itu, mereka bergerak lebih cepat, tak ingin jejak mereka mudah ditemukan.

Menjelang malam, mereka menemukan gua kecil yang cukup aman untuk bermalam. Api unggun kecil dinyalakan. Selene memasak sedikit bubur dari sisa perbekalan.

Darius duduk bersandar pada dinding gua, matanya tetap mengawasi pintu masuk. “Pertempuran tadi membuatku berpikir… Troll itu terlihat mengenali Ashenlight. Seolah-olah pedang itu bukan sekadar senjata.”

Edrick menatap pedang di pangkuannya. Cahaya samar masih memancar dari bilahnya. “Aku juga merasakannya. Saat pedang ini mengenai kulitnya, ada sesuatu… seperti penolakan dari dalam dirinya.”

Mira tersenyum lemah. “Kalau makhluk-makhluk itu tahu siapa yang membawa Ashenlight, berarti legenda pedang ini bukan sekadar cerita.”

Selene menimpali, “Dan itu juga berarti Garrick tidak akan berhenti mengejarmu, Edrick. Dia pasti tahu kekuatan pedang ini lebih besar daripada yang terlihat.”

Edrick terdiam beberapa saat. “Aku tidak meminta semua ini. Tapi kalau pedang ini bisa menyatukan Averland, aku tidak bisa lari dari tanggung jawab.”

Malam itu mereka makan dengan tenang. Masing-masing larut dalam pikirannya. Di luar, suara serigala terdengar samar, tapi tidak ada yang berani mendekat karena api unggun.

Menjelang tengah malam, Darius dan Selene berbagi giliran berjaga. Mereka berbicara pelan, memastikan suara mereka tidak terlalu keras.

“Kau percaya dia bisa membawa pedang ini sampai ke Highridge?” tanya Selene.

Darius menatap Edrick yang tertidur. “Aku tidak tahu. Tapi dia punya sesuatu… tekad. Itu kadang lebih penting daripada pengalaman.”

Selene mengangguk. “Kalau Garrick menang, perang saudara ini akan semakin parah. Highridge mungkin harapan terakhir.”

Darius menarik napas panjang. “Karena itu kita tidak boleh gagal.”

 

Fajar menyingsing, dan kabut pagi menyelimuti hutan. Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih waspada. Setiap ranting yang patah terdengar terlalu keras di telinga mereka.

Setelah beberapa jam, mereka mencapai tepi lembah besar. Di bawah, jurang menganga, dan di seberangnya tampak tebing runcing berbentuk mulut ular raksasa—itulah Serpent’s Maw. Udara di sana terasa lebih dingin dan aneh, seolah-olah lembah itu menahan napasnya sendiri.

Mira menunjuk ke bawah. “Kita harus turun dan menyeberang ke sana. Tidak ada jalan lain.”

Darius mengamati lereng curam. “Kita turunkan kuda dulu, lalu perbekalan.”

Edrick memimpin, menurunkan kuda mereka satu per satu. Proses itu memakan waktu lama. Ketika mereka hampir mencapai dasar lembah, suara retakan terdengar. Batu besar di sisi kiri runtuh, mengirimkan kerikil berjatuhan.

“Cepat!” teriak Selene.

Mereka berlari ke sisi aman, tapi runtuhan itu memutus jalan setapak di belakang mereka. Sekarang satu-satunya jalan hanyalah maju.

Di dasar lembah, udara terasa semakin berat. Pepohonan menjadi jarang, digantikan batu-batu tajam. Tiba-tiba, suara gemerincing logam terdengar. Dari balik bebatuan, beberapa sosok bertopeng muncul—enam orang, mengenakan jubah abu-abu, membawa pedang dan tombak.

“Pasukan Garrick,” gumam Darius.

Pemimpin kelompok itu berbicara, suaranya datar. “Serahkan pedang itu, atau kalian mati di sini.”

Edrick mengangkat Ashenlight, matanya tajam. “Kalau kalian menginginkan pedang ini, kalian harus mengambilnya dari tanganku.”

Salah satu prajurit maju, tapi Darius sudah melompat lebih dulu. Pertarungan pecah. Suara pedang beradu memenuhi lembah. Selene bergerak cepat, menangkis serangan tombak, lalu menusuk balik. Mira, meski lengannya terluka, tetap menembakkan panah, menjatuhkan dua lawan.

Edrick menangkis dua musuh sekaligus. Cahaya biru Ashenlight memotong senjata mereka seolah-olah besi biasa hanyalah kayu. Dalam beberapa menit, lima musuh tergeletak. Pemimpin mereka mundur, wajahnya tampak ketakutan di balik topeng.

Dia melarikan diri ke arah Serpent’s Maw, meninggalkan mayat-mayat di belakangnya.

“Dia akan memperingatkan Garrick,” kata Selene.

“Kita tidak punya pilihan selain bergerak lebih cepat,” sahut Edrick.

Mereka mengumpulkan kembali perbekalan, lalu melanjutkan perjalanan melintasi lembah. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke mulut batu berbentuk ular itu. Di depan, Serpent’s Maw menjulang, gelap dan menakutkan.

Mira menelan ludah. “Jadi ini… tempat ujian itu?”

Darius mengangguk. “Legenda mengatakan siapa pun yang lewat di sini akan diuji hatinya. Tapi tidak ada jalan lain.”

Mereka memasuki mulut batu. Begitu mereka melangkah ke dalam kegelapan, suhu turun drastis. Suara angin bergema seperti bisikan.

Di dalam, dinding gua dipenuhi ukiran-ukiran kuno. Gambar-gambar prajurit Averland kuno, naga, dan pedang bercahaya tergambar jelas. Selene menyentuh salah satu ukiran. “Ini… kisah Ashenlight. Mereka sudah meramalkan kedatangan pedang ini.”

Tiba-tiba, cahaya biru dari Ashenlight semakin terang. Jalan di depan mereka terbuka, memperlihatkan aula batu yang luas. Di ujung aula, altar batu berdiri. Di atasnya, tertancap potongan logam tua—sebuah pecahan bilah pedang.

Edrick mendekat, hatinya berdegup kencang. Ketika ia menyentuh pecahan itu, ruangan bergetar. Suara gaib bergema di udara:

"Pembawa Ashenlight, langkahmu diuji. Averland tidak hanya butuh kekuatanmu, tetapi hatimu. Buktikan dirimu, atau biarkan kerajaan ini hancur."

Tanah di bawah mereka retak, membuka jurang gelap. Angin kencang menyapu aula, memadamkan obor-obor.

Edrick menatap rekan-rekannya. “Kita harus terus maju. Averland menunggu.”

Selene mengangguk. “Maka kita hadapi ujian ini. Bersama.”

Darius mengangkat pedangnya. “Tidak ada jalan kembali.”

Mira menyiapkan busurnya, wajahnya tegang.

Dengan satu tarikan napas, mereka melangkah ke cahaya biru yang muncul dari jurang. Tubuh mereka tersedot masuk, dan dunia di sekitar mereka lenyap.

1
Siti Khalimah
👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!