Queensa tak menyukai pernikahannya dengan Anjasmara. Meskipun pria itu dipilih sendiri oleh sang ayah.
Dijodohkan dengan pria yang dibencinya dengan sifat dingin, pendiam dan tegas bukanlah keinginannya. Sayang ia tak diberi pilihan.
Menikah dengan Anjasmara adalah permintaan terakhir sang ayah sebelum tutup usia.
Anjasmara yang protektif, perhatian, diam, dan selalu berusaha melindunginya tak membuat hati Queensa terbuka untuk suaminya.
Queensa terus mencari cara agar Anjasmara mau menceraikannya. Hingga suatu hari ia mengetahui satu rahasia tentang masa lalu mereka yang Anjasmara simpan rapat selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Queensa tidak menyadari ketika seseorang melewati Anjasmara begitu saja dan langsung meraih tangannya.
"Ternyata beneran kamu Queen," Queensa terpaku beberapa saat menikmati momen perjumpaannya dengan pujaan hati.
Belum sempat menjawab perkataan Affin, tangannya sudah ditarik lebih dulu oleh suaminya.
Anjasmara tentu tak membiarkan orang lain menyentuh istrinya. Laki-laki itu menjulurkan tangannya untuk di cium. Queensa terkejut kala tiba-tiba Anjasmara mencium kening dan pipinya di depan Affin. Apa maksudnya? Queensa merasa dipermalukan. Ia tersenyum kikuk saat Affin memundurkan langkahnya.
Cercaan Queensa tak berlanjut, sikap Anjasmara yang berlebihan membuatnya marah. Sepanjang perjalanan pulang perempuan itu terus saja diam, Queensa juga enggan terlalu dekat dengan Anjasmara. Mobil berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah.
Anjasmara menoleh pada Queensa dan kembali mencium puncak kepalanya.
"Saya merindukan kamu, Queensa." ucap Anjasmara lembut sebelum kembali konsentrasi pada kemudi.
Queensa hanya berdeham pelan menjawab ungkapan rindu dari suaminya. Lebih tepatnya rindu sepihak. Tidak ada sedikitpun rasa yang tumbuh dihati perempuan itu untuk suaminya sampai saat ini. Justru, rasa nelangsa karena tidak bisa bersanding dengan laki-laki yang diinginkan semakin jadi.
Beberapa jam perjalanan ditambah berhenti sekali di masjid untuk shalat, akhirnya mobil Anjasmara memasuki pelataran kediaman mereka.
Queensa memasuki rumah, dan agak terkejut kala mendapati meja makan penuh dengan berbagai macam hidangan.
"Ayo makan, tadi saya minta tolong Bu Wilda memasak untuk makan malam kita." Anjasmara menggenggam tangan Queensa lembut dan menggiringnya duduk di meja makan.
Mereka makan dalam diam. Sesekali Anjasmara menanyakan tentang murid-murid istimewa yang Queensa didik. Queensa hanya menjawab seperlunya dan tak terlalu menanggapi beberapa obrolan yang Anjasmara ciptakan.
Seperti biasa, selesai makan. Anjasmara akan mencuci piring dan membereskan sisa makan mereka, tanpa bantuan Queensa sedikitpun.
Usai dengan pekerjaannya, Anjasmara menyusul Queensa ke dalam kamar.
Seperti yang sudah-sudah, setiap kali berada di atas ranjang Anjasmara selalu memandang Queensa dengan lembut seakan ia memiliki cinta begitu besar untuk istrinya. Yang jadi pertanyaan Queensa sendiri, dari mana cinta itu bisa tumbuh sedang mereka hanya bertemu sesekali dan tanpa ada sapaan berarti?
"Saya ingin melakukannya malam ini." bisik Anjasmara dengan tangan mulai bergerak membuka baju yang Queensa kenakan.
"Apa aku bisa menolak?" tanya Queensa lirih. "Bagimu selama ini aku hanyalah pelacur yang harus siap kapan saja melayanimu!"
Anjasmara berhenti bergerak, laki-laki itu menatap Queensa tajam. Ada emosi dan kecewa di bola matanya. Tapi, Queensa sama sekali tidak peduli.
"Saya akan berusaha memiliki hatimu dengan cara apapun itu, Queensa. Ingatlah! Kamu istri saya, bukan seperti yang kamu anggap dan ucapkan itu!"
Queensa mendengus, sekasar apapun kalimat yang ia ucapkan, tidak pernah sekalipun Anjasmara membalasnya. Yang ada Anjasmara akan memberinya penjelasan dan diiringi dengan nasehat yang tentu tidak Queensa harapkan.
Queensa pasrah dengan tetap mengikuti permainan Anjasmara. Melayani apa maunya. Sebanyak apapun itu hingga tubuhnya tak bertenaga dan rela terlelap di pelukannya.
Gemericik suara dari kamar mandi membangunkan Queensa dari lelap serta lelah yang suaminya ciptakan. Saat hendak beranjak dari tempat tidur, lebih dulu Anjasmara keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu mendekatkan alas kaki istrinya yang segera Queensa kenakan, tanpa menyapa, Queensa langsung saja berlalu ke kamar mandi.
Mereka ibadah bersama. Setelah usai memanjatkan doa yang tak pernah sekalipun Queensa Aaminkan, Anjasmara menatap istrinya lembut. Mereka saling memandang dalam diam. Dapat Queensa lihat sorot mendamba dan penuh kerinduan pada tatapan Anjasmara padanya. Sayangnya sorot mata Queensa justru kecewa dan hampa untuk Anjasmara.
Maaf. Queensa bukan perempuan yang bisa membohongi diri sendiri. Mata selalu mampu memberikan kejujuran.
Queensa hanya bergeming saat Anjasmara kembali melumat bibirnya, membiarkan Anjasmara kembali memilikinya. Hingga saat ini, tak sekalipun Queensa membalas sentuhan Anjasmara. Ia hanya mengikuti alur yang Anjasmara bawa kemanapun itu. Ia terlampau pasrah dan terlalu malas untuk bergerak.
"Ikut saya ke perkebunan, ya! Setelah itu kita pergi ke toko baju. Saya ingin membelikan kamu beberapa pasang pakain." Anjasmara mengusap lembut pipi istrinya setelah ciuman pagi itu.
"Apa aku bisa menolak? Aku ingin pergi ke rumah Paman saja?" tentu bukan Queensa namanya jika tak menolak Anjasmara.
Laki-laki itu tak menjawab, justru tersenyum manis lalu mencium kening Queensa lama.
Mereka tiba di perkebunan kelapa sawit. Saat ini mereka tengah singgah di sebuah Mess karyawan milik Anjasmara. Ayah Queensa memiliki sekitar belasan sertifikat yang ditanami sawit, semua tanah-tanah itu, jika digabungkan kurang lebih hanya 10 hektare saja. Ditempat ini Queensa baru tau jika suaminya memang pantas disebut bos kelapa sawit. Ia memiliki lebih dari 48 hektare tanah yang terpecah di tiga tempat.
Tentu saja Queensa sedikit malu saat tau suaminya jauh lebih kaya dari Ayahnya dan mencurigai laki-laki itu akan menjual tanah mereka yang jika dibandingkan, hanya sepersekian dari milik Anjasmara. Tapi Queensa tak sudi minta maaf, lagi pula Anjasmara tidak marah. Dan juga pada saat itu dia belum tau tentang Anjasmara.
Queensa tengah memperhatikan Anjasmara yang tengah serius berbincang dengan para pekerja disana. Queensa akui, Anjasmara terlihat berkuasa dan berwibawa jika berada di tengah karyawannya.
Queensa mengenang ucapan Ayahnya. Ayahnya meminta Queensa menikah dengan Anjasmara, karena dia adalah pria yang pekerja keras dan taat ibadah. Hal itu tak Queensa bantah. Karena sejauh ini, memang hal itu yang terlihat.
Anjasmara juga lembut dan santun. Queensa pun tak pernah mendapat kekerasan apapun darinya. Anjasmara tegas jika bicara, namun laki-laki itu tak pernah keras dalam menghadapi wanita.
Satu yang menjadi pertanyaan Queensa. Mengapa Anjasmara menerima begitu saja perjodohan konyol dari Ayahnya? Sedang dia sendiri sudah kaya, baik budi, taat beragama. Ia juga terbukti pria sejati bukan? Setidaknya Queensa kerap sulit berjalan jika usai melayaninya.
"Queensa, sudah siang. Ayo kita cari makan siang dan langsung ke butik. Setidaknya kita cari buah tangan untuk dibawa kerumah Paman nanti."
Akhir kalimat Anjasmara berhasil menyentuh sedikit ego Queensa. Perempuan itu mengangguk lembut sebelum berlalu mendahului suaminya menuju mobil.
#####
Boleh gak ya minta semangattt...
Like nya
Komennya...
Vote nya...
Tiba-tiba jadi nggak semangat lanjutin cerita ini well
🥲🥲🥲🥲
makanya gak usah sooook...
untung gak dicere
semoga Anjas menemukan perempuan yang tepat dalam hidupnya...
queensa ini gak kapok kapok lho ya ...
haddeuh 🤦♀️