NovelToon NovelToon
PULAU HANTU

PULAU HANTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Iblis / Keluarga / Tumbal
Popularitas:657
Nilai: 5
Nama Author: ilalangbuana

Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mangsa pertama

Malam itu seperti tak pernah selesai...

Angin laut membawa aroma busuk yang menusuk ke dalam pori-pori,seakan menempel dan menolak pergi. Api unggun yang menyala hanya memberi sedikit rasa hangat,tapi tak mampu menyingkirkan dingin yang datang dari dalam dada.

Pak Jono masih terbaring lemah,tubuhnya dibalut perban yang mulai menghitam oleh darah dan nanah.Ia mengigau terus,menyebut nama anak-anak dan istrinya dalam gumaman yang memilukan.

Jefri duduk tak jauh darinya,mata sembab, pelipisnya berkeringat dingin.Kapten Rahmat berdiri menatap ke arah hutan,waspada. Sementara Gilang, yang paling muda dan tampak paling rapuh sejak awal, kini memegangi tongkat kayu runcing seperti harapan terakhir.

Dan di antara gelap dan terang fajar yang mulai mengintip, terdengar… jeritan.

*"AAAAHH—!!"*

Bukan dari mereka.

Jeritan itu datang dari hutan,suara serak penuh ketakutan yang terdengar terpotong di tengah teriakan. Kemudian… senyap kembali.

Kapten Rahmat langsung berdiri, “Itu... itu suara manusia! Itu pasti Sarman!”

“Tapi… dia hilang sejak kemarin, Kep!” Jefri tergagap.

“Kalau itu memang dia, kita harus cari sekarang. Kalau bukan... kita tetap harus tahu apa itu!”

Kapten mengencangkan tali sepatunya.

“Aku akan ke sana. Jefri, ikut denganku. Gilang, kau jaga Pak Jono. Jangan ke mana-mana!”

“Kapten... jangan... jangan tinggalkan kami!” seru Gilang, wajahnya pucat pasi.

Kapten menoleh tajam.

“Kalau kami tak kembali dalam satu jam, jangan tunggu.Bangun barikade. Sembunyikan diri. Dan... berdoalah.”

*****

Mereka masuk hutan berbekal tongkat logam dan satu senter kecil.Kabut pagi masih menggantung rendah, membuat setiap langkah terasa seperti berjalan dalam mimpi buruk..

Pepohonan tinggi membungkam suara burung..

Yang terdengar hanya daun yang digesek angin dan sesekali gumaman aneh seperti orang menyanyi di balik pepohonan.

“Kep... Itu suara apa?” tanya Jefri dengan suara serak.

Kapten Rahmat tidak menjawab.

Lima belas menit berjalan, mereka mencium bau itu. Busuk Tajam. Seperti bangkai busuk yang dibiarkan membusuk selama berhari-hari.

Dan lalu mereka melihatnya.

Sarman.

Atau… apa yang tersisa darinya.

Tubuhnya tergantung di antara dua batang pohon besar. Tapi tubuh itu tak lagi utuh.Kedua tangan hilang dari bahu. Lehernya robek besar, seperti dikelupas dengan benda tumpul. Perutnya terburai,organ dalam dibiarkan menggantung dan mengalirkan darah yang sudah menghitam.

Namun yang paling mengerikan, wajahnya tak ada.

Wajah Sarman seperti dikerok, hanya menyisakan tempurung kepala. Tidak ada bola mata dan Tidak ada hidung. Mulut seperti disobek hingga ke telinga, dalam posisi senyum yang membeku mengerikan.

Jefri muntah seketika.

Kapten Rahmat hanya terpaku, tubuhnya berguncang kecil. “Ini... bukan pekerjaan binatang…”

Di bawah tubuh Sarman yang tergantung, tergores pada tanah basah, simbol mata bersilang,sama seperti yang mereka lihat di gubuk kemarin.

Tapi kali ini ada tambahan, tiga garis menukik dari sudut simbol itu ke bawah, seperti tetesan air mata... atau darah.

Kapten perlahan mundur. “Kita harus kembali. Sekarang.”

Saat mereka kembali ke pantai, Gilang sudah panik. “Kalian dengar suara tadi?! Ada... yang bergerak di semak belakang! Aku hampir kabur!”

Kapten menahan bahunya. “Tenang! Di sini kita aman. Untuk saat ini.”

“Tapi... Sarman? Dia…?”

Kapten menunduk. “Dia mati!”

Jefri menambahkan, suaranya nyaris tak terdengar. “Bukan cuma mati... dia dikuliti. Disayat. Wajahnya hilang... dan ada simbol lagi.”

Mereka semua terdiam.

Pak Jono tiba-tiba mengerang pelan.Ia tampak lebih lemah dari sebelumnya. Demamnya belum turun. Perban di lukanya sudah lengket dan menghitam.

“Kita... harus pergi dari sini,” bisik Gilang. “Kita nggak bisa tetap di pulau ini! Ini... tempatnya mereka! Mereka lihat kita masuk... dan sekarang satu-satu... kita akan jadi korban!”

Kapten Rahmat menatap laut. “Sekoci kita rusak parah. Tak bisa jauh. Tanpa alat komunikasi,kita tak bisa minta bantuan. Jalan satu-satunya... kita cari tempat lebih aman di dalam pulau. Mungkin ada... sisa pemukiman tua, atau gua.”

Jefri menggeleng lemah. “Pak Jono gak bisa jalan. Kalau kita bawa dia... luka itu makin parah.”

“Kalau kita tinggal, dia bisa mati. Tapi kalau tetap di sini… dia bisa lebih dari mati,” kata Kapten.

Pak Jono menggeliat.Matanya sedikit terbuka, berkaca-kaca. “Tinggalkan aku... kalau aku menghalangi... selamatkan diri kalian...”

Gilang menangis. “Jangan bilang gitu, Pak...”

“Dengar,” Kapten menegaskan, “Kita istirahat sekarang. Kita butuh tenaga. Malam ini, kita jaga secara bergantian. Besok... kita tentukan.”

------

•••••••

Malam kembali datang. Langit tanpa bintang. Api unggun redup.

Gilang tertidur lebih dulu.Jefri berjaga dengan tombak buatan. Kapten mencoba tidur dekat Pak Jono.

Namun saat malam mencapai tengah,angin berhenti bertiup. Laut menjadi sunyi. Hutan pun bisu.

Dan dari kejauhan… tampak siluet manusia.

Tapi anehnya... bukan satu. Tiga. Lima. Delapan. Mereka berdiri di batas antara pantai dan hutan, tak bergerak.

Wajah-wajah mereka tidak terlihat jelas, namun tubuh mereka kurus, tinggi, dan mengenakan semacam topeng kayu berbentuk tengkorak.

Mereka mengamati.

Jefri menahan napas. Ia tak berani membangunkan yang lain. Ia hanya menggenggam senjata, menatap dengan tubuh gemetar.

Namun makhluk-makhluk itu... hanya berdiri.

Menunggu.

Menunggu waktu yang tepat.

Langit mulai menghitam. Awan bergulung seperti pertanda murka alam sedang menggeliat.

Pak Jono masih menggigil di atas alas daun pisang yang mulai lembap oleh peluh dan darah. Luka-lukanya tak menunjukkan tanda-tanda membaik. Justru kini mengeluarkan bau amis bercampur anyir, pertanda infeksi mulai menyebar.

Kapten Rahmat dengan tangan gemetar membuka gulungan kain untuk membalut luka baru di lengan Pak Jono. Di sampingnya, Jefri meracik ramuan darurat dari tumbuhan yang mereka temukan di hutan.

“Aku gak yakin ini bisa membantu, Kapten.Tapi tanaman ini mirip daun sambiloto.Di kampung, biasa dipakai buat demam dan luka luar,” ucap Jefri lirih.

Kapten mengangguk tanpa berkata. Gilang duduk tak jauh, memegangi tongkat runcing dengan gelisah, matanya tak lepas dari semak-semak yang membingkai batas pantai dan hutan.

Tiba-tiba…

Srek.

Sebuah suara lirih seperti daun terinjak.

Semua menoleh cepat.Hening. Angin pun seolah berhenti.

Kemudian, dari balik pohon kelapa, seorang pria tinggi menjulang muncul.

Tubuhnya dibalut pakaian kasar dari kulit kayu yang dijahit simpul daun, wajahnya tertutup topeng kayu hitam menyerupai tengkorak, dan di tangannya tergenggam erat busur melengkung besar dengan panah berujung batu tajam.

Dia mengangkat busur itu dengan cepat, tak berkata sepatah pun.

"AWAS!" teriak Jefri.

Sfreeeettt!

Panah itu melesat seperti kilat mengarah langsung ke dada Kapten Rahmat. Tapi Kapten sempat bergerak sedikit ke samping. Anak panah itu menyambar bahunya, menggores kulit dan menciptakan semburan darah.

“ARGHHH!!” Kapten jatuh tersungkur.

Tanpa aba-aba, Jefri dan Gilang langsung menyerbu pria bertopeng itu.Jefri meraih batu besar, sementara Gilang mengayunkan tongkatnya seperti tombak. Pria bertopeng itu mengeluarkan suara geraman mirip hewan lalu mencoba mengisi busur dengan panah kedua.

Terlambat.

Jefri melempar batu ke arah kepala musuh. Meleset, namun cukup membuatnya goyah.

Saat itulah Gilang menyerang.

Dengan kekuatan panik dan rasa takut yang membuncah,ia menghujamkan pipa besi yang diambil dari reruntuhan sekoci,tepat ke arah wajah bertopeng itu.

CREEEK!!

Pipa itu menembus langsung ke mata kanan musuh. Pria itu meronta-ronta,topengnya retak. Dari balik topeng yang terbelah, tampak kulit gelap legam penuh goresan, dan tatapan… yang tidak menyerupai manusia biasa. Tatapan kosong, tak ada ampun, namun kini menyala dalam rasa sakit yang mengerikan.

Darah mengucur deras, membasahi wajahnya, jatuh ke pasir.

Beberapa detik kemudian… ia tumbang.

Tubuhnya menghantam tanah dengan suara berat. Jefri segera menyusul, membantu Gilang yang masih gemetaran. “Gilang! Kamu gak kenapa-napa kan?!”

Gilang hanya mengangguk kaku.

Kapten meringis, menekan bahunya yang mulai membengkak. “Dia… suku di pulau ini… sepertinya bukan yang terakhir.”

Jefri memeriksa jasad pria itu. Busur dan anak panahnya dibuat dari tulang dan batu tajam. Di sabuk kulitnya tergantung kupingan manusia yang dikeringkan, dirangkai seperti kalung.

“Dia… benar-benar kanibal…” bisik Jefri.

Mereka saling berpandangan.tubuh musuh yang baru saja mereka bunuh bukan hanya sekadar ancaman fisik ia adalah simbol nyata bahwa mereka telah menginjak wilayah yang tidak diizinkan.

Pak Jono yang tadi sempat tak sadar, kini terbangun pelan,matanya nyalang karena demam tinggi. Ia menatap ke arah jasad bertopeng dengan mata merah dan keringat dingin.

“Dia... bukan satu-satunya...” lirih Pak Jono.

Kapten mengangguk pelan. “Kita harus bersiap. Jika satu sudah menyerang, yang lain takkan lama muncul…”

-------

Menjelang Subuh

Mereka mengubur jasad pria bertopeng itu seadanya, meski hati mereka tahu bahwa tanah ini mungkin tak menerima mayat yang asing. Langit mulai menunjukkan semburat merah darah, seolah ikut memperingatkan sesuatu..

Pak Jono semakin parah.Bibirnya pecah, kering, tubuhnya menggigil tak terkontrol.Luka di punggungnya mengeluarkan bau amis yang menyengat, dan dari beberapa bekas sobek tampak garis-garis hitam yang merambat ke pembuluh darah.

Tanda-tanda tetanus dan infeksi parah sudah jelas.

“Dia bisa kena kejang. Atau mati napas kalau infeksi masuk ke jantung,” ucap Jefri sambil menahan tangis. “Kita butuh antibiotik.Kita butuh pertolongan medis…”

Tapi semua tahu, tidak ada yang akan datang.

Dan mereka pun belum tahu bagaimana keluar dari neraka ini.

------

1
Killspree
Memukau dari awal hingga akhir
♞ ;3
Jalan ceritanya keren, endingnya bikin nagih!
ilalangbuana: terima kasih atas masukannya,!!
admin masih dalam tahap belajar.. semoga kedepannya karya ku bisa lebih baik lagi dalam penulisannya ataupun alur ceritanya☺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!