NovelToon NovelToon
Jejak Cinta Di Bukit Kapur

Jejak Cinta Di Bukit Kapur

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / Dokter
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ichi Gusti

Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.

Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".

Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TEGURAN ADAT

Pagi itu, embun masih menempel di daun-daun ilalang ketika Kirana melangkah ke halaman Puskesmas. Ia sudah bersiap lebih awal dari biasanya, mengenakan blus baby blue dan jilbab abu-abu lembut serta snelli (jas dokter) lengan pendek. Tapi langkahnya terasa sedikit berat.

Ia tahu, pagi ini ia akan bertemu tokoh adat. Bukan untuk disambut atau dihormati — tapi untuk ditegur.

“Dok, hati-hati ya,” bisik Bidan Dina yang sudah lebih dulu duduk di teras. “Yang datang nanti Nyiak Rosma dan Pak Baha — Kepala Jorong Kampuang Ateh. Orangnya keras.” terang Dina yang merasa tidak enak kepada Kirana.

Kirana mengangguk. “Ya. Aku nggak akan lari, Din. Kalau ini harus aku hadapi, ya aku hadapi,” jawab nya sambil menenangkan diri sendiri.

“Maaf ya! Padahal kita perginya berdua, tapi cuma kamu yang disentimen-in sama orang-orang sini.”

Kirana menarik nafas. “Ga papa. Aku paham kok. Mungkin karena kamu juga orang minang, meski bukan dari kampung ini. Sedangkan aku orang luar.”

“Cuma di sini kok, Dok. Di tempat lain ga kayak gini amat!” bisik Dina. Takut ucapan nya didengar orang lain.

Kirana mengangguk paham. “Aku paham kok!”

***

Pukul delapan tepat, dua tetua dengan pakaian adat datang ke Puskesmas. Di belakang mereka, beberapa warga turut serta, termasuk beberapa perempuan yang sejak kemarin berbisik-bisik soal Kirana. Di ruang rapat kecil yang biasanya dipakai untuk briefing staf dan lokmin, kini dijadikan tempat ‘musyawarah adat darurat.’

dr. Raka duduk di bagian ujung meja, dengan sikap yang terlihat tenang.

Kirana masuk dengan langkah pelan, duduk di kursi yang sudah disediakan.

Pak Baha, lelaki sepuh berjanggut putih dan berkopiah hitam, membuka pembicaraan.

“Dokter Kirana,” ucapnya dengan suara berat, “Kami dari perwakilan ninik mamak dan tokoh kampung datang bukan untuk memusuhi Bu dokter di sini. Tapi kami ingin menyampaikan bahwa tindakan semalam dianggap tidak pantas menurut adat kami.”

Kirana menatapnya penuh hormat. “Saya mengerti, Pak. Dan saya mohon maaf jika tindakan saya dinilai kurang menghargai nilai-nilai adat.”

Nyiak Rosma ikut bicara, kali ini dengan nada lebih tajam. “Di kampung ini, perempuan keluar malam itu jarang, Dok. Apalagi ke rumah lelaki yang bukan muhrim. Sekalipun ibu seorang dokter, harus tahu batasnya.”

Kirana menunduk sebentar. Lalu ia menatap mereka semua, mencoba menjaga nada suara tetap tenang.

“Saya hanya ingin menyelamatkan nyawa. Karena saat itu, dokter Raka tidak di tempat. Mengobati pasien lain, Bu,” Kirana embela diri. “Saya datang ke sini bukan untuk melanggar adat, tapi juga tidak bisa menutup mata saat seseorang sedang sekarat. Saya siap belajar adat istiadat di sini. Tapi saya mohon, beri saya ruang untuk tetap menjalankan tanggung jawab sebagai dokter.”

Suasana hening. Sebagian warga tampak berpikir. Tapi sebelum ada yang menjawab, Raka angkat bicara.

“Yang dilakukan Kirana adalah keputusan medis. Bukan keinginan pribadi atau pelanggaran moral. Kalau adat tak bisa membedakan mana niat tulus dan mana perbuatan buruk, maka kita kehilangan makna sebenarnya dari adat itu sendiri.”

Pak Baha mengangguk pelan. “Kami tidak menuduh yang bukan-bukan. Tapi kami ingin jaga agar kampung ini tetap seimbang — antara adat dan ilmu. Lagi pula, di kampung ini masih ada 'orang pandai'. Dan tadi malam juga ia sudah dipanggil oleh warga lain ke rumah si Firman.”

Raka menoleh ke Kirana. Ia bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya ini masalah praktik dengan pengobatan tradisional juga. Dukun, tentunya.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita cari jalan tengah? Kirana membuat pernyataan tertulis bahwa ke depan akan berkonsultasi dulu pada perangkat kampung jika akan melakukan kunjungan di luar jam tugas?”

Kalau peristiwa kemarin harus diskusi dulu, bisa mampus tu pasien! pikir Kirana dalam hati. Namun, Kirana hanya bisa mengangguk. “Saya bersedia.” Tidak ada gunanya menentang adat di sini.

"Kalau memang begitu yang baik menurut dokter Raka, kami terima untuk kali ini saja," ucap Pak Baha. "Lain kali tidak ada lagi pemakluman. Kita lakukan sesuai adat yang berlaku di tempat ini!"

Pertemuan selesai tanpa keputusan menjatuhkan sanksi adat dan sebagainya. Di luar ruangan, bisik-bisik masih terdengar. Sebagian warga masih curiga. Sebagian lagi diam.

Saat siang itu, Kirana memeriksa seorang bocah yang terluka karena jatuh dari sepeda, ibunya — seorang perempuan berselendang ungu — tersenyum padanya.

“Terima kasih ya, Dok. Malam itu saya lihat dari jauh. Kalau bukan karena Bu dokter, Pak Firman bisa... ya, semua juga tahu gimana jadinya.”

Kirana  membalas dengan senyum. Tapi hatinya terasa hangat, karena masih ada penduduk daerah ini yang mengerti tugasnya.

Ketika Kirana kembali ke ruangan nya, ia melewati Raka yang berdiri di lorong. Setelah masalah tadi selesai, Kirana baru menyadari aura tenang dan memikat dari lelaki itu.

“Untung, ya…” kata Raka saat mereka berpapasan. “Untuk kamu nggak diusir dari kampung ini.”

Kirana terdiam lalu tertawa pelan. “Untung  juga Bapak datang menyusul  semalam. Kalau nggak, aku mungkin udah dilempar pakai sendal jepit.”

Raka melirik, lalu menjawab datar. “Kalau dilempar, pastikan sandal merek bagus. Biar nggak sakit.”

Kirana nyengir. “Ternyata Bapak bisa juga bercanda, ya!”

Raka mengangkat bahu lalu  melangkah pergi ke arah apotek.

Sekarang Kirana tahu, dibalik Raka yang dingin, masih ada cukup perhatian yang diberikan untuk staf nya.

Dan itu cukup sebagai tanda bahwa ia tak sepenuhnya sendirian dalam perjuangan ini.

1
kalea rizuky
lanjut donk seru neh
kalea rizuky: ia nanti cuss
Ichi Gusti: Sambil nunggu update-an baca Cinta Cucu Sang Konglomerat ja dulu kak. udah tamat novelnya.
total 2 replies
kalea rizuky
ini dunia gaib apa dunia jaman dlu sih Thor
Ichi Gusti: Dunia zaman dulu yang memiliki hal-hal gaib
total 1 replies
kalea rizuky
transmigrasi apa gmna nieh
kalea rizuky
ini cerita sejarah apa misteri sih
Purnama Pasedu
berlanjut
Purnama Pasedu
serem
Purnama Pasedu
horor ya
Ichi Gusti: genre misteri 😁
total 1 replies
Purnama Pasedu
lakukan dok
Purnama Pasedu
senangnyaaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!