Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku tak akan menjadi ibu yang lemah..
Hari-hari terasa lebih sunyi sejak Tania datang dengan tangisan palsunya. Tapi aku bersyukur ia tidak kembali lagi. Entah karena dia sadar aku tak akan membukakan pintu, atau karena Raka mulai menjauh.
Tapi itu bukan urusanku lagi.
Aku mulai menyusun rencana pelan-pelan.
Setiap malam, aku duduk di meja ruang tamu, menuliskan daftar kebutuhan kehamilan, mencatat uang yang bisa kusimpan, dan mencoba mencari pekerjaan lepas yang bisa kulakukan dari rumah—kalau nanti aku benar-benar pergi.
Aku tahu ini tak akan mudah. Tapi aku juga tahu satu hal:
Aku tak bisa tinggal di kota yang terus-menerus mengingatkanku pada pengkhianatan.
---
Ibuku memperhatikan semua gerak-gerikku, tapi tak banyak bertanya. Mungkin dia tahu, aku sedang membangun keberanian. Dan aku tahu, dia pun sedang melatih diri untuk melepas.
Sampai suatu malam, seseorang datang lagi.
📲 Raka.
Kali ini bukan telepon. Tapi dia datang langsung.
Ibuku yang membukakan pintu. Wajahnya dingin. Tapi Raka tetap memaksa masuk.
“Di mana Nayla?” tanyanya dengan suara berat.
“Aku di sini,” jawabku pelan dari ruang tengah.
Dia menoleh. Dan dalam sekejap, ekspresi penyesalan langsung terpampang di wajahnya—aku hampir tidak mengenali Raka yang ini.
“Nay… aku minta maaf. Tolong… kita bicara, ya?”
---
Kami duduk berhadapan.
Aku diam. Membiarkannya bicara.
“Aku salah. Aku bodoh. Aku... terjebak dalam perasaan yang belum selesai sama Tania. Tapi itu bukan alasan. Aku nyakitin kamu. Dan aku siap menebusnya. Apa pun…”
Aku menatap wajahnya lama. Mencari sisa lelaki yang dulu kucintai. Tapi yang kutemukan hanya bayang-bayangnya. Ia bukan Raka yang dulu berdiri di altar, berjanji akan menjagaku seumur hidup.
“Kamu tahu aku hamil?” tanyaku akhirnya.
Matanya membelalak. Ia mengangguk pelan. “Tania yang bilang…”
Aku menghela napas panjang. Ternyata Tania tahu. Mungkin ia menyampaikan dengan caranya sendiri—cara yang pasti terasa menusuk juga.
“Aku tahu aku nggak bisa minta kamu lupa semua yang aku lakuin,” lanjut Raka, “Tapi setidaknya… biar aku tanggung jawab sama anak ini.”
Aku tertawa kecil. Bukan karena lucu. Tapi karena geli. “Sekarang kamu inget tanggung jawab, setelah tidur sama sahabatku sendiri?”
“Nayla, tolong…”
“Enggak, Raka. Tolong kamu yang pergi.”
---
Dia menunduk. Tapi tidak beranjak.
Aku bangkit. Perlahan, tapi pasti. Menatapnya dengan mata yang tak lagi berlinang air mata, tapi penuh ketegasan.
“Kalau kamu benar-benar mau menebus kesalahan, mulai dengan menghilang dari hadapanku.”
Ibuku muncul dari balik pintu, dan dengan pelan menepuk lengan Raka.
"Pergilah, Nak. Nayla butuh ruang. Bukan luka tambahan."
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat Raka tak punya kata-kata.
Ia pergi malam itu.
Tanpa pelukan. Tanpa janji manis.
Dan aku tidak menangis.
(Setelah Raka pergi...)
Aku duduk sendirian di lantai ruang tengah. Tak ada suara. Hanya detak jam dinding dan degup jantungku sendiri yang kini terasa lebih stabil.
Sejak malam itu, aku tahu… tak akan ada lagi sosok yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri.
Tanganku kembali menyentuh perutku yang mulai terasa hangat. Seakan bayi ini tahu bahwa aku baru saja menolak ayahnya.
Bukan karena aku benci. Tapi karena aku ingin anak ini lahir dari keputusan yang benar—bukan dari paksaan masa lalu.
“Mama janji, kita akan baik-baik saja.”
“Walaupun jalannya tidak mudah… tapi Mama akan berjuang.”
Karena kali ini, aku memilih menjadi ibu… bukan korban.
---
Malam itu, aku menyalakan laptop. Kubuka halaman kosong, dan mulai menulis:
"Untuk anakku tercinta,
Jika suatu hari nanti kau bertanya mengapa kita hanya punya satu sama lain…
Aku akan bilang, karena Ibumu memilihmu.
Bukan luka. Bukan dendam. Tapi kamu."
Aku menutup laptop dengan air mata hangat.
Bukan karena lemah.
Tapi karena aku tahu, aku akhirnya belajar kuat.