Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjaga Jarak
Pagi itu terasa ganjil. Mungkin karena semalam aku nggak bisa tidur nyenyak, atau karena ada banyak hal yang menggantung di kepala. Aku berangkat ke sekolah diantar Nizan, seperti yang aku janjikan kemarin.
Di perjalanan kami hampir tidak bicara. Padahal biasanya Nizan akan berceloteh soal guru yang aneh, soal anak kelas sebelah, atau bahkan soal keinginannya buat ngajak aku makan bareng. Tapi pagi ini dia diam. Hanya sesekali melempar senyum.
Sesampainya di sekolah, aku naik ke kelas dan langsung disambut Mira yang sudah duduk di tempatnya, main hp. Dia sekilas melihatku dan tersenyum tipis. Aku membalas dengan anggukan kecil lalu duduk. Tak ada percakapan.
Jam pelajaran berjalan lambat, dan di tengah-tengah pelajaran, hpku bergetar pelan.
...Azzam...
Kalau lo beneran mau sahabatan sama gue,
bisa mulai dari temenan biasa.
Misal, tanya kabar gitu.
Gue bukan alien, Sya.
Mana semalam belum ngobrol,
eh malah ditinggal pergi.
Aku menahan tawa kecil.
^^^Oh, gitu ya? ^^^
^^^Gue pikir cowok sesombong lo ^^^
^^^udah kebal ditanya kabar.^^^
Somboooong?? Ini karisma, Neng.
^^^Karisma kok bilang-bilang.^^^
Hahaha. Serius gue.
Gue cuma mau bilang, jangan anggap
ajakan sahabatan lo ini kayak formalitas aja.
Coba aja beneran temenan.
Siapa tahu...
Aku tidak langsung membalas. Sebenarnya aku sedikit menyesal tentang ajakanku kemarin, namun mau bagaimana lagi. Cowo sok ganteng sepertinya memang sepertinya butuh sedikit pelajaran, agar tidak merasa semua orang akan jatuh cinta kepadanya.
...****************...
Saat istirahat pertama, aku dan Mira jalan bareng ke kantin. Yumna dan Salsa sudah duduk lebih dulu di meja biasa, dekat jendela yang menghadap ke mushola. Kami memang jarang makan di tempat lain. Sudut itu adem dan sedikit lebih tenang dari keramaian kantin yang penuh suara gesekan kursi dan teriakan pesanan.
Hari ini kami sepakat makan soto lagi. Entah kenapa, makanan hangat itu seperti punya efek magis, bisa meredakan keruwetan di kepala setelah pelajaran Akuntansi Perpajakan. Uap soto mengepul pelan saat kami mulai menyeruput kuahnya.
Obrolan awalnya santai. Bahas soal PR Bahasa Inggris dan tugas kelompok yang entah kenapa selalu bikin drama. Tapi seperti biasa, arah pembicaraan cepat berubah jadi urusan hati.
"Sal, lo sama Khalif sekarang gimana?" tanya Yumna sambil menyeruput kuahnya. "Kok akhir-akhir ini jarang liat kalian bareng?"
Salsa yang sedang meniup sendoknya langsung melirik. "Masih, kok. Cuma gue aja yang lagi sibuk nugas. Apalagi tugas kelompok."
Aku dan Mira saling melirik, diam-diam tahu kalau hubungan mereka nggak seharmonis dulu. Tapi kami memilih nggak mengorek lebih jauh.
"Terus lo sendiri gimana, Yum?" sahut Salsa gantian. "Raka udah tembak lo belum?"
Yumna langsung tertawa. "Belumlah. Tapi dia perhatian banget akhir-akhir ini. Kemarin aja gue dianterin pulang."
"Wah, so sweet," kata Mira sambil senyum-senyum sendiri.
Aku tahu betul senyum itu bukan karena cerita Yumna. Pasti karena satu nama yang mendadak muncul di kepala: Afiq. Cowok yang dulu pernah bikin Mira senyum tiap pagi di kelas 10. Sayangnya waktu itu Afiq punya pacar, dan Mira memilih mundur diam-diam. Sekarang? Afiq udah jomblo sejak semester kemarin.
"Lo masih suka Afiq, Mir?" tanya Yumna tiba-tiba.
Mira nyengir. "Dikit. Tapi sekarang gue udah biasa aja. Lagian..."
Dia berhenti. Aku tahu pasti ada kelanjutannya. Tapi nggak semua harus diucapkan. Karena cuma aku yang tahu kalau sekarang Mira justru sering curi-curi pandang ke arah Nizan.
Giliran mereka semua menatap ke arahku.
"Kalau lo, Sya? Nizan atau Azzam?"
Aku sempat tersedak sedikit. "Apaan sih," sahutku pelan sambil pura-pura sibuk ngaduk soto.
"Nggak usah pura-pura polos," goda Salsa. "Lo deket banget tuh sama dua-duanya. Nizan sering anter jemput, Azzam bantuin benerin laptop."
Aku nggak menjawab. Karena jawabannya rumit. Dan nggak semua hal bisa dijelaskan sambil makan soto di kantin sekolah. Yang mereka nggak tahu, ada batas yang sedang aku jaga. Batas yang aku dan Azzam sepakati sejak awal. Dan Nizan, ya dia pernah ada di luar garis itu. Tapi kini, entah kenapa, dia mulai melangkah masuk. Dan aku belum tahu harus memilih siapa yang tetap tinggal dan bisa melewati batas itu.
...****************...
Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Tentunya pulang bareng Nizan lagi. Ia sudah menunggu di parkiran dengan motornya, mengenakan jaket hitam dan helm yang belum dikenakan. Mira melihatku dari balik jendela kelas. Pandangannya cepat beralih saat mataku menangkapnya, lalu pura-pura ngobrol dengan Yumna.
Aku tahu ekspresi itu. Cemburu, tapi tidak ingin terlihat cemburu. Mira pandai menyembunyikan rasa.
"Yuk," ucap Nizan sambil menyerahkan helm.
Perjalanan pulang terasa sedikit lebih ringan dibanding pagi tadi. Mungkin karena kami sudah cukup lama berteman, jadi rasa canggung jarang bertahan lama.
"Hari ini aku nggak kerja part time," kata Nizan memecah keheningan, "Mau main bentar sama Fadly."
Aku meliriknya, "Kamu izin ke aku?"
Dia tertawa pelan, "Iya lah. Masa izin ke motor. Siapa tahu kamu ngarep aku nemenin kamu terus."
Aku pura-pura manyun, "Oh, jadi kamu ngerasa penting nih ya?”
"Lumayan," jawabnya santai.
Aku ikut tertawa kecil. Kadang memang seperti ini. Nizan suka menggoda, dan aku terlalu biasa untuk membalasnya dengan tenang.
...****************...
Sesampainya di rumah, aku langsung disambut mama yang sedang menyiram bunga di halaman. Kami hanya saling sapa sebelum aku naik ke kamar. Begitu sampai, aku lempar tas ke kasur, lalu rebahan sambil menyalakan hp.
Satu notifikasi muncul. Dari nama yang tak kuduga: Rafael Athaariq Razi.
...Rafael...
Apa kabar sya?
Aku tersenyum. Sudah lama kami nggak chatting. Terakhir, mungkin awal semester ini, saat Rafa basa basi membalas story Whatsappku.
^^^Baik, Fa. Lo gimana?^^^
Balasanku tak butuh waktu lama untuk dijawab.
Baik juga.
Gue mau nanya nih Sya,
sekarang lo deket ya sama Azzam?
Aku terdiam sejenak. Tentu saja aku kaget. Rafa,yang biasa santai, mendadak serius seperti itu.
^^^Iya kami sahabatan sekarang.^^^
^^^Kenapa emangnya Fa?^^^
Nggak papa sih. Memastikan aja.
Soalnya gue sama Bima kaget aja pas Azzam cerita. Azzam kan belum pernah punya sahabat cewe sebelumnya. Biasa ya teman dekat gitu,
ga sampai sahabatan. Gue cuma harap,
hubungan lo sama Azzam nggak mengganggu persahabatan kita ya.
Soalnya nanti gue sama Bima bingung
harus bela lo atau Azzam, hehehe
Kalimat terakhir itu bikin dadaku sesak. Rafa benar.
^^^Tenang, Fa. Gue tahu batas kok. ^^^
Pesan itu aku kirimkan dengan jujur. Karena memang itu yang aku rasakan. Azzam mungkin mulai masuk ke kehidupanku, tapi bukan berarti aku mau kehilangan sahabat lamaku.
Aku meletakkan hp di samping bantal dan menatap langit-langit kamar. Kadang hal sederhana seperti pertemanan bisa jadi rumit ketika hati mulai bermain.