"Harus berapa kali aku katakan, aku ini masih istri orang, dan aku tidak ingin menjadi seperti mereka dengan membiarkanmu terus mendekat dan memberiku perhatian. Aku harap kamu mengerti maksudku," kata Tiara penuh permohonan.
Senja menatapnya lekat. "Tiara, aku jelas mengerti apa maksudmu, tapi aku melakukan semua ini bukan untuk mengajakmu berselingkuh. Aku hanya ingin menunjukkan rasa cintaku padamu. Itu saja, tidak lebih."
Yaa Tuhan... Senja ini benar-benar keras kepala, membuat wanita itu bingung bagaimana lagi harus menghadapinya.
"Dan jika alasanmu mendorongku menjauh karena statusmu, aku akan memberimu jalan keluar. Aku akan membayar pengacara untuk mengurus perceraian kalian di pengadilan. Kamu di sini tinggal terima beres saja," kata Senja lagi menatap Tiara dengan ekspresi serius.
Baca cerita selengkapnya hanya di sini>>>
Dan jangan lupa follow IG @itayulfiana untuk lebih kenal dengan penulis😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 30
"Ngomong-ngomong, kenapa Tiara gak suka sama laki-laki yang merokok?" tanyaku penasaran. Seingatku, dulu Arkan bahkan selalu merokok diam-diam di gudang sekolah hampir setiap hari saat jam istirahat.
"Karena katanya, perokok itu, sama diri sendiri aja gak sayang, apalagi sama orang lain, seperti pasangan, keluarga, teman, dan orang-orang sekitar tempat dia menghisap rokok itu."
"Hanya karena itu?"
Reyhan menggeleng. "Sebenarnya alasan terbesarnya bukan itu sih, Bang."
"Terus, apa?" tanyaku yang seketika diselimuti rasa penasaran yang menggumpal.
Reyhan terdiam sejenak sebelum akhirnya bercerita. Katanya, dulu saat masih berumur 15 tahun, Tiara pernah mengalami masalah pada paru-parunya, gara-gara, dia menjadi perokok pasif dari bapak dan mendiang Kek Mahmud, ditambah dia juga sering menghirup asap dari obat nyamuk bakar. Semenjak saat itu, mendiang kakek dan bapak memutuskan untuk tidak pernah menyentuh rokok lagi, begitu pun dengan Reyhan sejak ketahuan oleh Tiara merokok diam-diam di rumah temannya yang bernama Boni. "Semua itu kami lakukan karena rasa sayang kami terhadap kak Tiara, juga rasa sayang kami terhadap diri sendiri, yang ingin hidup lebih lama agar tetap bisa saling menjaga satu sama lain."
Fakta yang baru saja kutemukan membuatku berpikir. Tiara ternyata tidak suka dengan pria yang merokok bukan tanpa alasan, tapi karena dia sudah terkena dampak dari keegoisan para penghisap nikotin tersebut. "Apa iya aku berhenti merokok juga yah mulai dari sekarang?" gumamku dalam hati.
Aku tahu itu tidak akan mudah bagi orang sepertiku. Rokok adalah teman terbaikku kala sedang bersantai, banyak pikiran, pekerjaan menumpuk, serta saat sedang stres. Tapi demi Tiara... aku rela berhenti untuknya. Ini demi cintaku padanya, juga demi rasa cintaku terhadap diri sendiri, yang ingin hidup lebih lama seperti kata Reyhan.
"Kalau kalian tidak merokok, lalu suami kakakmu, apa dia juga tidak merokok?" tanyaku, penasaran juga tentang hal itu, karena seingatku Arkan dulu juga perokok aktif.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Reyhan malah menghela napas berat. Aku menatapnya dengan lekat. Wajahnya masih bisa kulihat dengan jelas karena bantuan pencahayaan dari lampu depan mobilku yang kubiarkan menyala sejak tadi. "Setahuku, suami kak Tia memang gak merokok, lebih tepatnya sudah berhenti merokok, tapi dia melakukan sebuah kesalahan yang aku sendiri bahkan gak bisa memaafkannya."
"Maksudmu?" Keningku berkerut. Apa jangan-jangan Reyhan juga sudah tahu soal perselingkuhan Arkan dengan Anika.
"Dia mengkhianati kakakku..." ujarnya, sembari menekuk wajah dalam-dalam, kedua tangannya terkepal kuat, terlihat sangat marah, "tapi sayang, aku gak bisa, dan aku bingung gimana caranya supaya aku bisa cerita sama kak Tia."
Aku menepuk punggungnya dengan lembut. "Aku mengerti, untuk saat ini kamu pasti belum bisa cerita ke kakakmu karena takut dia terluka dan sakit hati. Maka dari itu, kamu boleh cerita padaku agar hatimu bisa terasa lebih lega. Aku akan menjadi pendengar yang baik."
Reyhan mengangkat kepalanya, melirik ke arahku dengan senyuman tipis. "Sekali lagi makasih banyak, Bang. Aku merasa kayak punya kakak laki-laki."
Aku tertawa kecil. "Gak apa-apa. Aku justru malah senang kalau kamu menganggapku seperti itu." Apalagi kalau kelak aku jadi kakak sungguhan, kakak ipar maksudnya. Hahhay.
Suasana hatiku seketika menjadi sangat baik, berbanding terbalik dengan Reyhan yang kini ingin curhat. Semua itu karena Reyhan yang mengaku bahwa sudah mengetahui belang Arkan, ditambah pengakuan Tiara beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa tidak ada toleransi bagi pasangan yang berselingkuh. Aku yakin, hubungan Tiara dan Arkan tinggal menghitung waktu. Setelah perselingkuhan itu terbongkar, mereka pasti akan langsung bercerai.
"Rey, bagaimana kalau kita mengobrol di tempat lain saja? Rumahku tidak jauh dari sini, bagaimana kalau kita ngobrol di rumah saja?"
Reyhan mengangguk setuju. "Boleh, Bang. Di sini juga sudah mulai banyak nyamuk."
Hanya berselang beberapa menit kemudian, kami sudah sampai di rumah dan disambut oleh Ibu. "Siapa ini, Ja?"
"Ini Reyhan, Bu. Adiknya Tiara." Jawabku. Ibu mengerutkan kening.
"Tiara siapa?"
"Cucunya kek Mahmud."
"Hah?" Ibu menatap Reyhan dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ya ampun, kamu sudah sebesar ini. Dulu, terakhir kali Ibu liat kamu, pas kamu masih bayi umur 1 tahun lebih." Ibu yang tertawa senang langsung menarik lengan Reyhan masuk ke dalam rumah, sementara pemuda itu malah menatapku penuh tanya. Dia pasti bertanya-tanya dalam hati, kenapa Ibu tiba-tiba bisa mengenalnya, dan kenapa kami bisa tahu siapa nama mendiang kakeknya.
"Rey, kamu ngobrol sebentar sama Ibu yah, aku mau mandi dan ganti baju dulu sebentar," kataku, yang langsung diangguki olehnya.
Sekitar 15 menit kemudian, aku keluar menghampiri Reyhan yang duduk mengobrol bersama Ibu di meja makan, ditemani 2 cangkir kopi dan kue bolu jadul buatan Ibu.
"Nah, itu dia Senja sudah datang. Sekarang, kalian bawa kopi dan kue ini ke teras, kalian ngobrol di sana. Ibu mau masak makan malam, ya." Reyhan hanya mengangguki ucapan Ibu dengan patuh, kemudian mengekor di belakangku.
"Bang, aku minta penjelasan," katanya, begitu kami tiba di teras.
Aku duduk di salah satu kursi rotan. "Duduk dulu," kataku. "Kamu mau minta penjelasan apa memangnya?"
Reyhan meletakkan nampan berisi 1 toples kue dan 2 cangkir kopi di atas meja, kemudian duduk. "Apa benar dulu Abang sama kak Tia pernah ingin dijodohkan waktu remaja?"
Aku tak menjawab, justru meraih cangkir kopi dan mulai menyesapnya. Selama kurang lebih 15 menit kutinggal, sepertinya Ibu sudah banyak bercerita pada Reyhan. "Menurutmu?"
Reyhan terdiam sejenak, kemudian berkata dengan nada frustrasi, "Hais. Kenapa sih dulu kak Tia mesti dijodohkan lebih dulu dengan mas Arkan? Kenapa gak Bang Senja aja yang nikah sama kakakku?"
"Semua itu sudah suratan takdir, Rey, kita tidak punya kuasa melawannya. Apalagi semuanya sudah terjadi, dan waktu juga mustahil untuk bisa diputar kembali," ujarku sok bijak. Padahal aslinya aku pun sangat menyesalkan hal itu.
Hening selama beberapa saat. Kami berdua sama-sama sibuk dengan isi kepala masing-masing, hingga tiba-tiba Reyhan melontarkan sebuah pertanyaan, "Bang Senja sendiri kenapa belum menikah sampai sekarang?"
Aku mengubah posisi dudukku sedikit. Bingung juga bagaimana menjawab pertanyaan Reyhan. Karena tidak mungkin aku berkata jujur dengan menjawab, "Aku menunggu kakakmu jadi janda dulu, baru setelah itu aku menikahinya."
Bisa-bisa, Reyhan berpikir aneh-aneh tentangku. Meski tak bisa kupungkiri bahwa faktanya memang demikian, tapi setidaknya aku harus menjaga image agar harga diri dan reputasiku tidak jatuh karena terang-terangan mencintai istri orang.
Karena aku hanya diam, Reyhan kembali berkata, "Maaf, Bang. Kayaknya pertanyaanku bikin gak nyaman."
"Oh iya, tadi ada yang mau aku ceritakan tentang suaminya kak Tia." Anak itu kemudian bercerita, dan aku mendengarkan dengan seksama. Berawal dari kecurigaan karena cara Arkan yang memperlakukan Tiara kurang baik, dari situlah Reyhan diam-diam mencari tahu. Rupanya, Arkan bukannya pergi dinas di luar kota selama ini, melainkan diam-diam hidup bersama dengan wanita lain di sebuah apartemen. Tidak lama setelah mengetahui fakta itu, Reyhan dibuat semakin marah.karena Arkan malah meminta Tiara untuk melahirkan anak untuknya.
"Aku gak sudi kak Tia kembali melahirkan anak untuk pria terkutuk itu lagi. Sementara selingkuhannya juga tengah hamil." Napas Reyhan memburu, kedua matanya memerah, dan kedua tangannya terkepal seperti siap menghajar jika saja Arkan ada di hadapannya. "Rasanya aku ingin sekali membongkar perselingkuhannya di depan kak Tia, tapi aku bingung bagaimana caranya. Aku takut kak Tia terluka dan terpuruk," katanya lagi, lalu menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya yang sudah tak terkepal, membuatnya terlihat semakin frustrasi.
Aku mengusap punggungnya lembut agar dia bisa lebih tenang. "Rey, sepertinya aku harus membeberkan sebuah fakta."
"Fakta apa, Bang?" Dia menurunkan kedua tangannya, menatapku dengan penasaran.
Aku menghela napas sebelum mulai bercerita. "Sebenarnya... aku dan Arkan adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Mengenai selingkuhannya, aku juga tahu dan kenal siapa wanita itu. Setahuku, mereka sudah berpacaran sejak kami masih SMA dulu," ungkapku, dan Reyhan cukup terkejut mengetahui fakta tersebut.
"Jadi Bang Senja juga sudah tahu? Sejak kapan? Kenapa tidak mengatakannya pada kak Tia?" Dia memberondongiku dengan beberapa pertanyaan.
"Untuk sekarang, aku rasa pertanyaanmu tidak terlalu penting untuk kujawab. Yang penting sekarang, aku ingin membantumu membongkar perselingkuhan mereka."
"Serius, Bang?" Reyhan menegakkan punggungnya, menatapku dengan lekat.
Aku mengangguk mantap. "Ayo kita bekerja sama, kita cari cara."