NovelToon NovelToon
Mahar Pengganti Hati

Mahar Pengganti Hati

Status: tamat
Genre:Perjodohan / Pengganti / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Pengganti / Tamat
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

Beberapa bulan setelah kejadian itu, pagi yang seharusnya tenang tiba-tiba berubah panik.

Husna yang baru saja bangun dari tempat tidurnya merasa kepalanya berputar hebat.

Pandangannya kabur, tubuhnya terasa ringan seolah kehilangan keseimbangan.

“Uh… kenapa aku pusing sekali…” gumamnya pelan sebelum akhirnya tubuhnya limbung.

Brugh!

Tubuh Husna jatuh ke lantai dengan suara cukup keras.

Jovan yang masih terlelap sontak membuka matanya dan langsung bangun.

“Sayang!” serunya panik sambil berlari menghampiri istrinya yang terbaring lemah di lantai.

Tanpa pikir panjang, ia membopong tubuh Husna ke atas tempat tidur.

Nafasnya memburu, tangannya gemetar saat menepuk pelan pipi istrinya.

“Na, bangun, sayang. Husna!” panggilnya cemas.

Suara gaduh itu membuat Mama Riana dan Burak bergegas masuk ke kamar.

“Jovan! Ada apa dengan Husna?” tanya Mama Riana panik.

“Dia tiba-tiba pingsan, Ma. Tolong panggil dokter sekarang!” jawab Jovan cepat sambil menatap wajah istrinya yang pucat.

Burak langsung menghubungi dokter pribadi keluarga mereka, dan dalam waktu singkat, dokter datang membawa tas medis.

Ruang kamar hening, hanya terdengar suara alat pemeriksaan dan detak jam dinding.

Jovan menggenggam tangan Husna erat, menatap cemas setiap gerak dokter yang memeriksa tekanan darah dan detak jantung istrinya.

Beberapa menit kemudian, dokter tersenyum tipis dan menatap Jovan.

“Selamat, Jovan,” katanya pelan namun penuh arti.

“Istrimu hamil.”

Jovan tertegun sejenak. Matanya membesar, lalu perlahan berubah menjadi senyum bahagia yang tak bisa ia sembunyikan.

“H-hamil? Husna hamil?”

“Ya. Tidak perlu khawatir, keadaannya stabil, hanya kelelahan. Tapi tolong pastikan dia cukup istirahat dan jangan terlalu stres. Ini saya bawakan obat serta vitamin untuk kandungannya.”

Mama Riana menutup mulutnya, air mata bahagia menetes.

“Ya Tuhan, akhirnya cucu kedua…” ucapnya haru.

Burak menepuk bahu Jovan sambil tersenyum lebar.

“Selamat, Nak. Kau akan jadi ayah lagi.”

Jovan hanya bisa tersenyum bahagia, menatap wajah istrinya yang masih lemah di atas ranjang.

Beberapa menit kemudian, kelopak mata Husna bergerak.

Ia membuka matanya perlahan dan melihat Jovan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan penuh kasih.

“Van, aku kenapa?” tanyanya lirih.

Jovan tersenyum lembut, menunduk dan mencium punggung tangan istrinya.

“Kamu cuma kelelahan, sayang…” ujarnya lembut. Lalu, sambil menatap mata Husna, ia berbisik penuh kebahagiaan,

“Dan satu hal lagi, Na. Kamu hamil.”

Husna terdiam, matanya membesar, lalu perlahan berkaca-kaca.

“A-apa? Aku… hamil?”

Jovan mengangguk sambil tersenyum lebar, menahan haru.

“Iya, sayang. Kamu hamil.”

Air mata Husna mengalir di pipinya. Ia menatap suaminya dengan senyum bahagia, lalu memeluknya erat.

“Terima kasih, Tuhan…” bisiknya di pelukan Jovan, yang membalas dengan kecupan lembut di keningnya.

Tok… tok… tok…

Suara ketukan pintu memecah keheningan kamar.

Jovan yang masih duduk di sisi tempat tidur segera menoleh.

Dari balik pintu terdengar suara lembut Bibi Marta,

“Tuan Jovan, saya boleh masuk?”

Jovan berdiri dan membuka pintu. Di sana, Bibi Marta berdiri dengan senyum hangat sambil menggendong Ava yang tampak baru bangun tidur dengan rambut halusnya berantakan dan matanya masih setengah terbuka.

“Non kecil ini dari tadi cari-cari Mamanya,” ujar Bibi Marta sambil tersenyum kecil.

Jovan tak kuasa menahan senyum. Ia segera menyambut dan menggendong putrinya dari pelukan Bibi Marta.

“Sini, sayang…” katanya lembut sambil mengelus kepala Ava.

“Kamu kangen Mama, ya?”

Ava langsung menyandarkan kepalanya di dada ayahnya, menggenggam kemeja Jovan dengan tangan mungilnya.

Bibi Marta tersenyum melihat pemandangan itu.

“Saya bawakan juga bubur kecilnya, Tuan. Nanti kalau Non Husna sudah bangun lebih segar, bisa makan bersama,” katanya sambil menunjuk nampan kecil yang ia letakkan di meja.

“Terima kasih, Bi. Nanti biar saya suapin Ava sendiri,” jawab Jovan sopan.

Bibi Marta mengangguk, lalu berpamitan keluar dengan senyum hangat.

Setelah pintu tertutup, Jovan menatap Husna yang masih bersandar di tempat tidur, tersenyum lembut melihat pemandangan itu.

Ava yang berada di pelukan ayahnya menggumam pelan,

“Mama…”

“Sini, sayang…”

Jovan mendekat, lalu menurunkan Ava ke pangkuan Husna dengan hati-hati.

Ava tersenyum kecil dan langsung memeluk mamanya erat, membuat Husna tak kuasa menahan air mata haru.

Ava sudah selesai makan, dan setelah digendong sebentar oleh Husna, Bibi Marta datang menjemputnya untuk dibawa kembali ke ruang bayi.

Husna mencium pipi mungil putrinya sebelum melepasnya, “Tidur yang nyenyak, ya, sayang…”

Begitu pintu tertutup dan suasana kamar kembali tenang, Jovan beranjak mendekat.

Ia duduk di tepi ranjang dan perlahan menarik tubuh Husna ke dalam pelukannya.

Kepalanya bersandar di bahu Jovan, dan kehangatan pelukannya membuat Husna merasa aman.

“Mikir apa?” tanya Jovan lembut, sambil mengusap punggung istrinya pelan.

Husna terdiam sejenak, lalu menjawab lirih,

“A-aku cuma takut, Van. Takut kalau aku nggak bisa jadi ibu yang baik buat Ava dan si kecil nanti.”

Suaranya bergetar, dan tatapannya merendah ke arah perutnya yang masih datar.

Jovan tersenyum tipis, kemudian mempererat pelukannya.

Ia menatap wajah istrinya yang tampak cemas, lalu berbisik lembut di telinganya,

“Na, kamu sudah jadi ibu yang hebat sejak awal. Kamu bertahan waktu keadaan paling sulit, kamu sudah menyelamatkan Ava dan kamu masih di sini, berjuang buat mereka.”

Husna menelan air liurnya, matanya mulai berkaca-kaca.

“Tapi aku takut salah, Van. Takut nggak bisa bahagiain mereka.”

Jovan menggeleng pelan, kemudian menepuk punggung istrinya dengan lembut.

“Kita belajar bareng, Na. Nggak ada orang tua yang langsung sempurna. Selama kamu pakai hati buat ngasih cinta ke mereka, kamu udah jadi ibu terbaik yang bisa mereka punya.”

Husna menatap Jovan dengan mata basah, lalu tersenyum kecil di antara air matanya.

“Terima kasih, Van. Aku beruntung punya kamu.”

Jovan menyentuh pipinya, menghapus air mata yang jatuh.

“Bukan kamu aja yang beruntung, Na. Aku juga.”

Husna yang masih bersandar di dada Jovan tiba-tiba mengerucutkan bibirnya, matanya menatap kosong ke arah jendela.

Jovan yang sedang memijat lembut bahunya menatap heran.

“Kenapa, sayang? Kok tiba-tiba bengong gitu?”

Husna menggigit bibir bawahnya, lalu menatap suaminya dengan wajah polos tapi serius.

“Van…” panggilnya pelan.

“Hmm?” Jovan menatap penuh perhatian.

“Aku pengen mangga,” ucap Husna lirih tapi mantap.

Jovan berkedip beberapa kali, memastikan ia tak salah dengar.

“Mangga? Sekarang?”

Husna mengangguk cepat, ekspresinya begitu meyakinkan seperti seorang jenderal yang baru memberi perintah penting.

“Iya, Van. Tapi bukan sembarang mangga. Aku pengen mangga muda yang asem, dikasih bumbu rujak yang pedes, yang seger banget itu.”

Jovan menatapnya lama, lalu menatap keluar jendela kamar. Salju tipis masih turun di halaman rumah mereka di Kanada.

“Sayang, ini Kanada, bukan Indonesia. Di luar aja salju, bukan musim mangga. Mana ada penjual mangga muda, apalagi sama bumbu rujak.”

Husna menatapnya dengan mata memelas, kedua tangannya memegang perutnya yang masih kecil.

“Tapi Van, aku pengen banget dan rasanya sudah kebayang di lidah. Mangga muda yang asem terus dicelupin ke bumbu kacang pedes manis…”

Nada suaranya bergetar seperti ingin menangis.

“Ehh… ehh jangan nangis, Na! Aduh, kamu ini baru bilang ‘pengen mangga’, terus udah kayak mau banjir gitu matanya.”

Husna memalingkan wajah, suaranya merajuk.

“Kamu nggak ngerti, Van. Ini ngidam… aku bener-bener pengen.”

Jovan mengusap wajahnya sendiri, setengah menyerah tapi juga geli. Ia menatap istrinya

dengan senyum pasrah.

“Oke, oke. Aku cari mangga. Kalau nggak nemu, paling aku beli mangga beku di supermarket, terus kita bikin bumbu rujak pakai sambal botolan, gimana?”

Husna langsung menatapnya dengan mata berbinar.

“Beneran kamu mau cariin?”

“Beneran. Demi calon bayi kita dan ibu ngidam tercinta,” jawab Jovan sambil menepuk pelan hidung istrinya.

Husna tersenyum malu-malu tapi bahagia. “Van… kamu lucu banget kalo panik.”

Jovan mendecak kecil sambil mengambil jaket tebalnya.

“Lucu tapi nurut, kan? Oke, tunggu di sini. Aku pergi berburu mangga di negeri bersalju.”

Husna tertawa kecil sambil menatap punggung suaminya yang bersiap keluar rumah.

“Semangat, pahlawan mangga-ku…”

Dan Jovan hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum, sebelum melangkah keluar ke udara dingin dengan misi paling aneh tapi paling manis dalam hidupnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!