Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. SAKSI
Suasana ruang sidang seketika membeku. Sorot mata Van der menyapu seluruh ruangan, menyingkap siapa saja yang berani menyambut tatapannya. Dengan langkah tegas, ia berjalan menuju kursi hakim, mantel panjangnya berayun di setiap langkah, suaranya lantang memecah keheningan.
"Sejak kapan ruang sidang ini dijadikan panggung fitnah? Sejak kapan kehormatan seorang tabib, seorang yang mengabdikan hidupnya untuk menolong orang sakit, dilecehkan tanpa dasar? Bukankah hukum yang kita anut sejak kita berada di tanah Eropa adalah dengan tidak menyentuh tabib atau dokter. Karena mereka sudah disumpah untuk membantu semua orang tanpa terkecuali? Lalu kenapa aku melihat ada tabib yang di paksa berdiri di sidang ini dengan fitnah murahan?" ujar Van der penuh amarah.
Para pejabat ciut. Belum pernah mereka melihat sang Gubernur murka seperti ini sebelumnya. Begitu pula dengan hakim.
Cornelis menelan ludah, tubuhnya menegang, namun masih berusaha menjaga wibawanya.
"Tuan Gubernur, saya hanya menyampaikan apa yang menjadi kegelisahan banyak orang. Perempuan itu jelas menyalahi aturan, menyalahi tata cara pengobatan yang resmi di tanah ini. Bukti telah saya ajukan-"
"Bukti?" Van der memotong ucapan Cornelis dengan suara tajam, penuh kemarahan terpendam. "Yang kau ajukan hanyalah botol berisi ramuan herbal dan seorang saksi yang jelas-jelas ketakutan saat bicara. Itu bukan bukti, Cornelis. Itu hanya manipulasi."
Para pejabat yang semula ribut mendadak diam. Udara seolah dipenuhi percikan listrik.
Van der mengangkat tangannya, memberi aba-aba. Dua prajurit Belanda membuka pintu besar di belakang, dan masuklah sepasang suami istri pribumi. Sang wanita, Maria memeluk lengan suaminya, wajahnya tampak sehat meski masih ada rona pucat samar. Mereka berdua tampak gugup berada di hadapan begitu banyak orang berpengaruh, namun tatapan mereka penuh keyakinan. Dan Maria adalah keturunan bangsawan yang memiliki kehormatan di Hindia Belanda, datang ke tanah ini untuk sekedar melihat negeri yang katanya kaya akan sumber daya alamnya. Dan jauh dari musim dingin yang rentan untuk tubuh Maria.
"Maria," Van der menyebut namanya dengan nada penuh penghormatan. "Ceritakan apa yang terjadi sebulan lalu di pasar Batavia."
Maria menggenggam erat tangan suaminya sebelum melangkah maju. Suaranya bergetar di awal, namun semakin mantap seiring setiap kata yang keluar.
"Saya hampir mati. Tiba-tiba serangan asma menyerang saya di tengah keramaian pasar. Napas saya sesak, dada saya seperti diremas, semua orang panik. Suami saya pun menangis karena tidak tahu harus berbuat apa. Hingga ... hingga Nona Aruna datang," katanya pelan.
Aruna melihat Maria, ingat dengan jelas keadaan Maria yang pucat dan sulit bernapas saat itu.
Ia menoleh sekilas pada Aruna, matanya berkaca-kaca. "Dia menolong saya. Dia membuat ramuan yang ada di pasar dengan sangat cepat, mengusap dada saya, menuntun saya untuk bernapas perlahan. Jika bukan karena dia, mungkin saya sudah tidak ada di sini hari ini. Kesehatan saya bahkan semakin membaik setelah ia memberikan ramuan herbal untuk saya minum setiap hari. Bagaimana mungkin seseorang yang menyelamatkan nyawa saya dituduh sebagai penyihir?!"
Ruangan kembali gempar. Suara-suara mulai terdengar: beberapa pejabat Belanda saling berbisik, sementara pribumi yang hadir menunduk penuh rasa terharu.
Suami Maria menambahkan dengan nada lantang, "Saya bersaksi dengan segenap jiwa! Istri saya hidup hari ini karena Nona Aruna. Fitnah ini kejam!"
Wajah Cornelis memucat, tapi ia masih mencoba bertahan. "Itu hanya satu kesaksian! Bagaimana jika itu semua hanyalah kebetulan? Bagaimana jika ramuan itu kebetulan saja-"
"Diam, Cornelis." Van der menatapnya tajam, lalu memberi isyarat sekali lagi.
Pintu ruang sidang kembali terbuka. Seorang pria tua dengan janggut panjang, berpakaian sederhana namun anggun, masuk perlahan dengan langkah penuh wibawa. Semua pejabat Belanda di ruangan itu tampak terkejut, sebagian bahkan terperanjat. Bisikan-bisikan cepat berdesir di udara.
"Tabib Liu!" Salah seorang pejabat Belanda berucap dengan nada tak percaya.
Tabib Tionghoa yang termasyhur di Batavia, yang namanya bahkan dihormati pejabat-pejabat Eropa, kini berdiri di hadapan mereka. Enam bulan ia absen dari Batavia, kabarnya membantu pengobatan di wilayah Andalas. Dan kini, ia hadir di ruang sidang itu bersama Gubernur.
Tabib Liu menunduk sopan kepada hakim, lalu menatap lurus ke arah Cornelis. Suaranya tenang, tapi setiap kata menancap seperti baja.
"Saya mendengar ada seorang tabib muda yang difitnah karena ilmunya. Maka saya datang untuk memberikan kesaksian. Saya sudah memeriksa cara pengobatan Nona Aruna, ramuan-ramuan herbal yang ia gunakan sama persis dengan metode pengobatan dari tanah leluhur saya di Tiongkok. Tidak ada racun. Tidak ada sihir. Hanya ilmu yang diwariskan turun-temurun.”
Ia mengangkat botol kecil yang tadi difitnah sebagai racun, membukanya dan mencium aromanya sebelum berucap, "Ini adalah ekstrak dari tanaman yang di negeri saya disebut ma huang, kalian mungkin mengenalnya dengan nama ephedra. Dalam dosis yang tepat, ia mampu meredakan sesak napas. Inilah ramuan yang menolong nyawa Maria. Dan kalian menuduhnya racun?"
Para pejabat Belanda terdiam, sebagian wajah mereka memerah karena malu. Mereka tahu, mereka sendiri sering meminta pengobatan dari Tabib Liu, mempercayai ramuan-ramuan herbalnya.
Tabib Liu menambahkan dengan tatapan tajam, "Jika kalian percaya pada ilmu saya selama bertahun-tahun, bagaimana bisa kalian menolak ilmu yang sama hanya karena kini dikuasai oleh seorang gadis pribumi? Bukankah itu berarti yang kalian persoalkan bukan ilmunya, tapi darah yang mengalir dalam nadinya dan juga statusnya sebagai seorang perempuan. Di negeri asalku, justru para perempuan yang paling hebat dalam mengenali herbal, dan menjadi tabib."
Ruangan seakan pecah oleh kalimat itu. Beberapa pejabat pribumi bertepuk tangan pelan, suara mereka segera ditenangkan oleh hakim, tapi semangatnya tak bisa dibungkam.
Aruna berdiri membeku, dadanya bergetar hebat. Ia menatap Maria, suaminya, lalu Tabib Liu. Air matanya hampir jatuh, bukan karena kelemahan, tetapi karena perasaan yang tak mampu ia bendung, kelegaan, haru, dan kekuatan baru.
Van der lalu berdiri tegak di tengah ruangan, suaranya menggelegar, "Dengarkan baik-baik! Kalian boleh tidak menyukai Aruna, kalian boleh membencinya karena dia pribumi, tetapi satu hal yang tidak bisa kalian sangkal, dia telah menyelamatkan nyawa, tanpa pandang bulu, bahkan kepada budak yang kalian injak-injak sekali pun! Dan aku tidak akan membiarkan fitnah menjatuhkan seorang yang berhati murni di tanah yang seharusnya menjadi tempat keadilan. Terutama pada wanitaku. Berani ada yang memfitnah atau menyentuhnya lagi, aku tidak akan segan memberikan hukum eksekusi dengan tuduhan perampasan milik Gubernur Hindia Belanda."
Semua terdiam.
Cornelis berusaha bersuara, "T-tapi Tuan Gubernur-"
"Cukup, Cornelis!_ Van der membentak, wajahnya merah padam oleh murka. "Kau telah mempermalukan kehormatan sidang ini dengan bukti palsu dan fitnah busukmu. Ada harga yang harus kau bayar."
Suara Van der bergaung di ruang sidang, menutup segala celah bagi Cornelis untuk menyelamatkan diri.
Aruna menunduk, kedua tangannya bergetar, tetapi kini bukan karena takut, melainkan karena perasaan yang begitu besar: bahwa akhirnya, kebenaran berpihak padanya.
Van der berjalan mendekati Aruna dan berkata, "Kau pikir aku tidak akan tahu apa yang terjadi hanya karena kau tidak mengatakannya? Wanita-ku di fitnah dan tentu aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan harga dirinya. Sudah kubilang kau orang paling berharga untukku di negeri ini."
Aruna menatap Van der dengan air mata yang meleleh, seolah kekuatan yang ia tahan selama persidangan menguap begitu saja saat tahu ada yang menopangnya.
Van der hanya memeluk Aruna, berusaha menenangkan wanitanya. Sebelum tatapannya mengarah tajam kepada Cornelis.
Kau akan membayar karena membuat wanitaku menangis, batin Van der.