Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan
Satu demi satu warga desa mulai keluar dari tempat persembunyian mereka.
Mereka mengerumuni Vanessa, Alana, dan Lucien. Tak dengan senjata, tapi dengan tatapan penuh luka dan kelelahan.
Tubuh-tubuh itu tampak seperti bayangan dari manusia yang dulu pernah sehat.
Kurus kering. Wajah pucat seperti kapur. Bibir pecah-pecah. Mata mereka tampak cekung, namun masih menyimpan sorot kehati-hatian.
Vanessa perlahan berdiri. Ia mengangkat wajahnya, menatap mereka satu per satu.
Tuhan… apa yang telah terjadi di tempat ini…
Di antara kerumunan yang makin rapat, seorang pria tua bertubuh kurus namun tegap melangkah ke depan. Rambutnya putih, digelung sederhana. Ia mengenakan pakaian kelabu lusuh dengan selendang merah pudar yang menyilang di dada—tanda bahwa ia adalah pemegang suara tertinggi dalam komunitas ini.
Langkahnya tenang tapi penuh beban. Wajahnya dingin dan keriput—tapi bukan karena usia semata, melainkan karena terlalu lama menunggu keajaiban yang tak pernah datang.
Ia berhenti tepat di depan Vanessa.
Matanya menatap lurus padanya—tajam, kosong, menuntut.
“Siapa kau?” tanyanya dengan suara serak dan berat.
Vanessa menegakkan bahu, menyadari tatapan puluhan orang tertuju padanya.
“Namaku Vivienne Celestine d’Aurenhart,” jawabnya perlahan, nada suaranya tenang. “Putri dari keluarga Aurenhart, dan istri sah dari Kaisar Aragon.”
Ia menarik napas pelan, lalu melanjutkan.
“Aku datang bukan sebagai utusan istana… tapi sebagai bagian dari keluarga yang dulu pernah berjanji pada rakyat negeri ini. Aku datang untuk mengamati perkembangan Rousanne dan memastikan pertumbuhannya berjalan seperti yang dijanjikan.”
Ia menoleh ke sekitar—menatap rumah-rumah reyot dan tanah kering yang ditumbuhi jamur dan akar busuk.
“Tapi yang kutemukan… adalah penderitaan.”
Kerumunan mulai berbisik. Wajah-wajah kurus itu saling memandang. Ada sesuatu dalam nama Aurenhart yang menggugah—bukan hanya kenangan, tapi mungkin juga luka.
Kepala desa itu—pria tua bernama Elric Tavan—mengangkat satu tangan, membuat kerumunan kembali diam.
“Aurenhart,” gumamnya pelan. “Jadi… benar apa yang kudengar.”
Ia melangkah maju lagi, hingga jarak antara mereka hanya sejengkal.
“Aku mengenal wajahmu,” katanya dingin. “Kau wanita yang duduk di singgasana istana… saat kami datang, membawa daftar panjang nama anak dan istri yang kami kuburkan.”
Suara Elric mulai naik, getir namun terkendali.
“Kami memohon. Meminta pertolongan. Tapi yang kami lihat hanyalah wanita muda yang lebih sibuk dengan gaun dan perhiasan, tidak peduli pada satu pun dari kami.”
Wajah Vanessa tetap tenang, namun hatinya menegang.
“Kau dikenal sebagai wanita kejam… suka menghukum pelayan, meninggalkan tugas kerajaan, dan…,” ia memandang Vanessa dari ujung kepala hingga kaki, “tidak memiliki satu pun pengetahuan berguna selain pesta dan kecantikan.”
Kerumunan mulai bergemuruh pelan. Beberapa mengangguk. Beberapa wajah mulai sinis.
Elric mengangkat dagunya.
“Jadi katakan padaku, Ratu Aragon—apa yang kau lakukan di desa ini yang sudah sekarat sejak bertahun lalu? Apa yang bisa kau berikan kepada kami? Kata-kata manis? Harapan kosong?”
Vanessa menatap langsung ke matanya.
“Aku tidak membawa kata-kata manis. Aku membawa ilmu.”
“Aku tahu siapa aku dulu. Tapi aku tidak datang untuk membela masa lalu.”
“Aku datang untuk membuktikan bahwa tak semua dari kami… mati rasa.”
Ia melangkah maju setengah langkah, suaranya kini penuh keyakinan.
“Berikan aku satu orang. Satu saja. Izinkan aku menyembuhkannya. Jika aku gagal… aku akan pergi. Tapi jika aku berhasil—kau akan membiarkan aku dan timku tinggal. Kita akan memulai penyembuhan di desa ini. Bersama.”
Kerumunan kembali terdiam.
Lucien langsung mendekat, wajahnya tegang.
“Yang Mulia…” bisiknya tajam. “Jangan ambil risiko sebesar ini. Kalau Kaisar tahu… ini bisa jadi bencana.”
Tapi Vanessa tak menoleh padanya. Matanya hanya tertuju pada Elric, menunggu jawabannya.
Elric menatapnya lama. Sangat lama. Seolah mencoba menembus keyakinan wanita di hadapannya.
Lalu ia mendengus kecil, entah itu tawa getir atau olok-olok.
“Kau ingin main tabib?”
“Baik. Tapi jangan berharap kami akan meneteskan air mata untuk kegagalanmu.”
Ia menunjuk ke arah rumah kecil yang berdiri di sisi kiri jalan desa, dikelilingi semak-semak dan atap yang hampir runtuh.
“Ada seorang wanita tua di sana. Namanya Morla. Sejak dua bulan terakhir, ia hanya bisa berbaring. Tubuhnya kaku, kulitnya menguning, dan nafasnya nyaris hilang. Semua orang sudah menyerah.”
“Sembuhkan dia, dan kau bisa bicara soal harapan.”
“Tapi kalau tidak… maka keluarlah dari desa ini. Bersama semua ramuan dan khayalanmu.”
Elric membalik badan, hendak pergi.
Namun Vanessa menjawab perlahan, tapi penuh tekad:
“Kalau aku berhasil, maka bukan hanya Morla yang akan bangkit… tapi kepercayaan kalian juga.”
Langkah Elric terhenti. Tapi ia tak menoleh lagi.
Lucien menggeleng pelan, murka dalam diam.
Tabib Alana menatap Vanessa dengan gentar… namun juga tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
Vanessa menarik napas panjang.
“Ayo. Kita ke rumah Morla.”
Dan di bawah matahari yang mulai bergeser ke barat, tiga sosok itu melangkah menuju ujian pertama mereka.
Di tempat yang bahkan cahaya pun enggan tinggal lama.
——
Cahaya lampu minyak bergetar samar di antara tumpukan dokumen dan peta terbuka. Di tengah ruangan yang hening, Kaisar Maxime duduk tegak di kursi kerjanya. Kedua sikunya bertumpu pada meja, dan di tangannya… secarik surat yang telah berkali-kali ia baca, namun tetap tak mampu ia pahami.
Tangannya mencengkram kertas itu. Urat-urat di lengannya menonjol, matanya gelap oleh kekhawatiran yang tak sanggup ia sembunyikan.
“Kenapa tidak bicara padaku?” gumamnya lirih. “Kenapa harus dengan surat?”
Pintu diketuk. Sekali. Dua kali.
Maxime tidak menyuruh masuk—tapi pintu terbuka juga.
Sera masuk perlahan, langkahnya ragu. Ia mengenakan jubah malam dan menyembunyikan tangan di balik lengan panjang gaunnya. Tatapannya gugup saat melihat ekspresi Kaisar yang duduk kaku, seperti patung marmer di tengah badai.
Maxime mengangkat kepalanya, menatap tajam.
“Kau tahu ke mana perginya Ratu, bukan?” Suaranya rendah.
Sera mengatup bibirnya. Diam.
“Saya hanya pelayan, Yang Mulia,” ucapnya perlahan, suara gemetar.
Maxime berdiri. Gerakannya tenang, tapi ada badai di bawah ketenangan itu. Ia melangkah mendekat, meletakkan surat itu di atas meja dengan suara pelan namun berat.
“Lalu kenapa aku merasa… kau tahu sesuatu yang bahkan penjaga istana pun tidak tahu?”
Sera mengangkat wajahnya, menatap sang Kaisar—mata yang penuh kemarahan, tapi juga ketakutan yang lebih besar.
“Yang Mulia,” bisiknya akhirnya. “Saya tidak bisa menghentikannya. Beliau sudah memutuskan.”
Maxime menyipit. “Kemana dia pergi?”
“Ke… Rousanne, Yang mulia,” jawab Sera. “Desa yang terjangkit penyakit. Ratu ingin menyembuhkan mereka.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Lalu Maxime mengangkat dagunya sedikit.
“Seorang wanita bangsawan… pergi menyusup ke desa penderita wabah, tanpa pengawal, tanpa izin… hanya bersama tabib dan asistennya?”
Sera tampak ingin bicara, tapi menunduk. “Beliau tahu Anda takkan mengizinkan. Tapi—beliau melakukannya bukan untuk memberontak. Beliau ingin membuktikan bahwa Aurenhart masih layak dihormati.”
Maxime memejamkan mata. Saat membukanya kembali, matanya tajam dan penuh rasa kecewa.
“Kenapa dia merasa harus membuktikan itu sendirian?”
Sera menatapnya, pelan-pelan berkata, “Karena seisi istana… belum benar-benar memaafkan nama Ratu.”
Maxime menghela napas panjang, membalikkan badan, memandangi lukisan besar Aragon yang menggantung di dinding ruang kerjanya.
“Berapa lama dia pergi?” tanyanya.
“Beberapa jam sejak tengah malam, Yang Mulia. Saya mohon… jangan marah padanya. Ratu hanya ingin menjadi sosok yang pantas berdiri di sisi Anda.”
Maxime tak menjawab. Ia berjalan kembali ke meja, mengambil surat itu, dan menggulungnya perlahan.
Kemudian, dengan suara tenang namun tegas, ia berkata:
Kemudian, dengan suara tenang namun sarat ketegasan, Maxime berkata:
“Panggil Bastian. Sekarang.”
Sera terkejut. “Yang Mulia—”
Tatapan Maxime memotong kata-katanya.
“Aku takkan membiarkannya sendirian.”
Ia melangkah ke rak peta di sisi meja, membuka bagian timur wilayah Aragon. Jarinya menunjuk ke satu titik kecil yang tersembunyi di antara bukit dan hutan:
Rousanne.
Maxime tahu, tempat itu bukan hanya desa sakit—tapi juga sarang bahaya yang bisa mencelakakan siapa pun yang datang tanpa perlindungan. Dan istrinya telah melangkah ke sana, tanpa izin, tanpa pengawalan. Dengan ceroboh, dengan keberanian yang mengiris dada.
Namun di balik amarahnya, hanya ada satu hal yang membara: ketakutan kehilangan.
“Aku akan menyusulnya. Dari jauh. Tanpa diketahui siapa pun. Dan jika ada bahaya sekecil apa pun…”
“…aku ingin orang pertama yang berdiri di antara dia dan kematian—adalah diriku sendiri.”
Ia menoleh, menatap Sera untuk terakhir kalinya.
“Dan kau… tetap di istana. Pastikan tak satu pun orang mendekati kamar Ratu, termasuk pelayan itu.” Nada suaranya menajam. “Wanita itu pasti sedang merencanakan sesuatu. Awasi dia.”
Sera menunduk dalam. “Saya mengerti, Yang Mulia.”
Begitu Sera meninggalkan ruangan, Maxime menarik napas panjang. Ia kembali duduk perlahan, memandangi surat di hadapannya.
Lalu, tanpa suara, ia melipatnya rapi… menyimpannya ke dalam laci, dan menguncinya dengan tangan yang bergetar halus.
Namun pikirannya tetap melayang, jauh melintasi dinding istana dan medan berbatu…
Menuju perempuan keras kepala yang tak pernah meminta perlindungan—
Namun selalu menjadi satu-satunya yang ingin ia lindungi,
Meski harus mempertaruhkan segalanya.
——
luar biasa
semangat Thor.. up selanjutnya kami tunggu 😊❤️