Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: Petunjuk Keberadaan Samantha
Di ruang kerjanya yang temaram, Nathaniel berdiri membelakangi meja, matanya menatap kosong ke luar jendela kaca yang mengarah ke kegelapan kota. Tangan kirinya memegang ponsel erat-erat, sementara yang kanan terkepal di sisi tubuhnya.
Panggilan Leonard tadi masih terasa membekas, "Samantha belum pulang. Ponselnya tak bisa dihubungi. Ini bukan kebiasaannya."
Nathaniel segera menghubungi tim kepercayaannya. Suaranya dingin dan terukur, namun penuh ketegangan. "Periksa semua CCTV gedung dan area sekitar. Fokus pada pintu keluar belakang, koridor kosong, dan basement. Mobil Samantha masih ada di tempat parkir. Artinya, dia tidak pergi dengan kendaraan pribadi. Temukan jejak lain. Siapa pun yang terakhir terlihat bersamanya."
"Dimengerti, Tuan."
Nathaniel menyandarkan punggung ke dinding, rahangnya mengeras. Tidak ada sinyal ponsel, tidak ada gerak kendaraan. Semuanya terasa seperti bayangan gelap yang menelan seseorang dalam sekejap mata.
Ia menghubungi Leonard.
"Leonard."
"Ya?" suara di seberang terdengar panik namun tertahan.
"Mobil Samantha tertinggal di basement. Itu artinya dia tak pernah sempat pergi dengan mobilnya. Kami masih melacak, tapi...ini bukan sekadar keterlambatan biasa."
Leonard terdiam sejenak. Lalu, "Tuhan... jadi dia benar-benar menghilang?"
"Kami akan menemukannya," ucap Nathaniel, datar namun penuh tekad. "Timku sedang bekerja. Aku akan mengabari setiap perkembangan. Tapi kau harus bersiap pada kemungkinan terburuk."
"Baik. Tolong kabari aku secepat mungkin..."
Nathaniel memutuskan sambungan telepon, membiarkannya menggantung di udara yang menegang.
Ia melangkah pelan ke arah mejanya, lalu duduk sambil menatap gelap.
Nama itu menyelinap masuk ke pikirannya, Clara.
Bukan tanpa alasan. Instingnya, yang tak pernah salah dalam membaca gerak manusia, menuntunnya pada satu arah yang mencurigakan. Clara punya motif. Clara punya keberanian. Dan yang paling berbahaya, Clara punya luka ego yang belum sembuh.
Nathaniel menarik napas panjang, lalu menatap jam di pergelangan tangannya.
Waktunya memburu bayangan.
...****************...
Nathaniel bangkit dari duduknya, mengenakan jas yang tadi ia lepas, lalu menekan tombol kecil di sisi meja kerjanya. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka perlahan, dan seorang pria dengan jas gelap masuk tanpa suara.
"Elric," ucap Nathaniel tanpa menoleh. "Aku ingin kau fokus pada satu nama: Clara."
Pria itu sedikit mengangkat alis, tapi segera mengangguk.
"Cari tahu dengan siapa dia bertemu dalam dua minggu terakhir. Rekam siapa pun yang masuk dan keluar dari apartemennya, siapa yang ia hubungi melalui jalur pribadi. Dan...aku ingin tahu di mana dia sekarang!"
"Eliminasi, atau observasi?"
"Belum." Mata Nathaniel kini menatap lurus ke arah Elric, penuh ancaman yang terbungkus kendali dingin. "Kita hanya mengendus bau darah untuk saat ini."
"Dimengerti, Tuan." Elric membungkuk sedikit sebelum menghilang ke balik pintu, secepat ia datang.
Nathaniel berdiri dalam diam sesaat, lalu mengambil ponsel satunya, yang hanya ia gunakan untuk urusan paling pribadi. Ia mengakses sistem internal miliknya, menyusuri laporan-laporan digital, jaringan lalu lintas komunikasi, dan transaksi keuangan samar yang mulai terlihat mencurigakan.
Clara, pikirnya dalam diam.
Kau sudah menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak kau dekati.
Dan jika Samantha terluka karena ulahmu...
Wajah Nathaniel mengeras.
Maka aku akan memastikan, tidak akan ada satu pun tempat yang cukup gelap untuk kau bersembunyi.
...****************...
Elric menyusuri lorong gelap menuju sebuah ruang operasi kecil di bawah tanah, basis intel pribadi Nathaniel yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Di dalam, layar-layar besar menampilkan rekaman CCTV dari berbagai titik kota, log panggilan terenkripsi, serta peta digital yang penuh dengan titik berkedip merah.
"Kami melacak Clara dua hari lalu," ujar salah satu analis, menunjuk ke layar. "Dia bertemu seseorang di bar lama dekat pelabuhan timur. Kamera jalanan menangkap wajah pria itu."
"Perbesar," perintah Elric tajam.
Sebuah wajah kasar muncul di layar. Sorot mata tajam, bekas luka samar di sisi pipi kiri. Pria itu mengenakan jaket lusuh, dan tampak duduk sangat dekat dengan Clara.
"Kami menjalankan pencocokan wajah. Namanya: Axton Mave. Catatan kriminalnya... panjang. Bekas anggota kelompok kriminal lintas negara, spesialisasi: penyelundupan manusia, kekerasan bersenjata, dan eksekusi bersih."
Elric menyipitkan mata. "Hubungan pribadi dengan Clara?"
"Kemungkinan besar. Mereka pernah tinggal di kota yang sama lima tahun lalu, dan... ini." Ia menekan tombol. Sebuah foto usang muncul. Clara dan Axton. Berciuman di pinggir jalan kecil, tampak jauh lebih muda dan sembrono.
Elric menahan napas sejenak. "Di mana mereka sekarang?"
"Kami melacak pergerakan terakhir Axton ke pinggiran kota barat, kawasan bekas pabrik. Sinyal ponsel Clara juga sempat aktif beberapa menit di area yang sama sebelum menghilang total."
"Koordinat lengkap," potong Elric.
Seseorang menyerahkan tablet padanya. Elric menatap layar sejenak, lalu meraih alat komunikasi di dadanya.
"Elric ke Raven Unit. Persiapkan tim. Kita bergerak dalam tiga puluh menit. Target: bangunan tua di sektor barat dua. Protokol diam, tapi siapkan intervensi keras jika diperlukan. Jangan ambil risiko, perempuan itu harus ditemukan hidup-hidup."
Ia mengetik cepat pesan terakhir ke Nathaniel:
"Target teridentifikasi. Clara dan pria bernama Axton terhubung. Lokasi Samantha kemungkinan besar telah ditemukan. Bergerak sekarang."
...****************...
Ponselnya gemetar di telapak tangan. Begitu pesan dari Elric masuk, Nathaniel tak membuang waktu. Ia segera menekan nomor Leonard.
"Leonard," suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya.“Kami menemukan jejak yang bisa dipercaya. Samantha kemungkinan besar ada di kawasan barat. Aku dan anak buahku dan sedang dalam perjalanan."
Di seberang sana terdengar helaan napas berat, disusul ucapan lirih dari Leonard, "Aku ikut."
"Tunggu di apartemen. Aku akan mengabari perkembangan selanjutnya." Suara Nathaniel mengunci, lalu sambungan terputus.
Ia tak menunggu pengawalan. Tak memberi perintah tambahan. Dengan langkah lebar, ia menuju garasi pribadinya, membuka sendiri pintu mobil hitam dengan jari yang nyaris bergetar. Mesin meraung dalam hitungan detik. Lampu-lampu kota tampak kabur di balik kaca saat mobil melesat keluar dengan kecepatan yang melanggar aturan.
Firasatnya buruk, sangat buruk.
Nathaniel Graves selalu mempercayai naluri. Ia telah berada terlalu lama dalam dunia yang penuh pengkhianatan, tipu daya, dan kekejaman untuk mengabaikan bisikan samar di balik benaknya. Dan malam ini, semuanya berteriak dalam satu suara: Samantha dalam bahaya yang tidak main-main.
Tangan kirinya mencengkeram setir, tangan kanan tak lepas dari ponsel, siap menerima kabar baru kapan pun. Pandangannya tajam menembus kaca, tapi pikirannya mengembara jauh ke tempat gelap yang tak ingin ia kenal kembali, tempat di mana perempuan yang mulai ia hargai lebih dari segalanya bisa dilenyapkan jika ia terlambat sedetik saja.
"Aku tidak akan membiarkanmu hilang..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.