Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 29
Mobil berhenti di area parkir danau yang sepi. Bima mematikan mesin, dan keheningan di antara mereka terasa jauh lebih berat daripada kebisingan di pesta gala atau ketegangan di ruang rapat dewan keluarga. Ini adalah tempat yang paling Bima takuti, bukan karena ancaman fisik, tapi karena di sinilah titik nol dimulai. Di sinilah Bima yang asli, yang hancur karena utang dan keputusasaan, pertama kali lenyap, digantikan oleh logika dingin Arta.
Risa tidak bertanya. Dia hanya menunggu, mengamati Bima yang menatap lurus ke permukaan air danau yang tenang.
"Dulu aku sering ke sini," Bima akhirnya membuka suara. Kalimatnya datar, tanpa emosi. "Saat aku tidak punya apa-apa lagi. Saat Dinda kelaparan. Aku datang ke sini dan berpikir... mungkin lebih mudah jika semuanya berakhir."
Risa menelan ludah. Ini adalah bagian dari Bima yang tidak pernah ia ceritakan, bagian yang disembunyikan rapat-rapat di balik efisiensi Yura.
"Tapi kamu tidak melakukannya, Bima," bisik Risa.
"Tidak," Bima menggeleng. "Karena saat itulah 'Arta' mengambil alih."
Risa mengerutkan kening. "Arta?"
Bima akhirnya menoleh, menatap Risa dengan intensitas yang berbeda dari yang pernah Risa lihat. Bukan tatapan CEO, bukan tatapan pria yang baru saja menciumnya. Ini adalah tatapan pengakuan.
"Sistem yang kubangun," Bima menjelaskan, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Untuk bertahan hidup, aku harus mematikan Bima. Aku menciptakan persona baru. Sebuah robot. Dingin, logis, tanpa emosi. Aku menamainya 'Arta'. Arta yang menghitung kayu bakar. Arta yang memanipulasi Roni. Arta yang melihatmu sebagai 'Jaring Pengaman Emosional' dan Dinda sebagai 'Aset Non-Likuid'."
Risa merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungnya. "Aku... aku tahu ada yang berubah. Aku melihat robot itu. Saat kau berdebat dengan Tante Elina, itu 'Arta', kan?"
"Itu Arta," Bima membenarkan. "Sistem itu sempurna. Arta memenangkan setiap pertarungan. Dia mengalahkan Pak Tejo, dia menghancurkan narasi Roni, dia mengamankan kontrak. Arta tidak bisa kalah."
Bima berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Tapi sistem itu crash, Risa. Tepat di studio, saat orang tuamu merestui kita. Arta tidak bisa memproses data itu. Dia tidak punya variabel untuk 'cinta'. Dia tidak punya perhitungan untuk 'kebahagiaan'. Dia tidak bisa menghitung... kamu."
{Sistem Arta dirancang untuk mengakumulasi kekayaan dan bertahan dari ancaman. Tapi sistem itu tidak pernah dirancang untuk menerima kebahagiaan. Aku mengelola triliunan di Alam Dewa, tapi aku takut setengah mati oleh restu dua manusia fana.}
"Saat itulah aku sadar," kata Bima. "Aku lelah menjadi Arta. Aku lelah menang dengan cara robot. Aku hanya ingin... menjadi Bima."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Risa. "Oh, Bima..."
"Aku membawamu ke sini," Bima meraih tangan Risa, menggenggamnya erat. "Untuk menutup buku 'Arta'. Dia sudah menyelesaikan tugasnya. Dia menyelamatkan Dinda. Dia mengembalikan martabat kita. Tapi dia tidak tahu cara hidup."
Bima menatap Risa, kini dengan kerentanan penuh yang belum pernah ia tunjukkan pada siapa pun, bahkan pada Dinda.
"Aku takut, Risa," akunya. "Sebagai Arta, aku tidak takut apa-apa. Tapi sebagai Bima... aku takut kehilangan satu-satunya hal yang tidak bisa kubeli atau kurestorasi. Aku takut kehilanganmu."
Risa tidak bisa menahannya lagi. Air mata mengalir di pipinya. Dia melepaskan genggaman Bima hanya untuk melingkarkan lengannya di leher Bima, menariknya ke dalam pelukan erat.
"Kamu tidak akan kehilanganku," isak Risa. "Aku bukan aset, Bima. Aku Risa. Dan aku mencintaimu. Aku mencintai Bima yang bingung, Bima yang terluka, dan Bima yang menjadi CEO. Aku mencintai semuanya."
Bima membalas pelukan itu, membenamkan wajahnya di bahu Risa. Untuk pertama kalinya, ia melepaskan semua perhitungan. Tidak ada margin, tidak ada ROI, tidak ada sistem. Hanya ada kehangatan.
"Arta sudah pergi," bisik Bima. "Buku lama sudah ditutup."
Risa melepaskan pelukannya sedikit, hanya cukup untuk menatap mata Bima. "Jadi, apa yang tertulis di halaman pertama buku baru kita, Bima?"
Bima tersenyum, senyum tulus pertama yang benar-benar bebas dari beban sistem. Senyum Bima yang sesungguhnya.
"Halaman pertama," katanya lembut. "Adalah tentang bagaimana Bima akhirnya sadar dan berterima kasih pada takdir karena mengirimkan jaring pengaman paling keras kepala di alam semesta."
Dia menangkup wajah Risa dan menciumnya. Ciuman itu berbeda dari ciuman di studio yang terburu-buru dan tertangkap basah. Ciuman ini pelan, dalam, dan penuh kepastian. Ini adalah ciuman penutup buku sekaligus pembuka bab baru.
Saat mereka melepaskan diri, Risa bersandar di dadanya, mendengarkan detak jantung Bima yang tenang.
"Tapi ada satu masalah baru," kata Bima tiba-tiba.
Risa langsung mengangkat kepalanya, cemas. "Masalah apa? Pak Tejo? Roni?"
Bima tersenyum jenaka. "Bukan. Tante Elina. Dia pasti akan sangat, sangat marah saat tahu bahwa di rapat dewan keluarga berikutnya, kita yang akan memutuskan siapa yang mengelola sisa aset Sanjaya."
Risa tertegun sejenak, sebelum akhirnya tawa lepasnya yang indah pecah di keheningan danau. Bima ikut tertawa bersamanya, tawa seorang manusia yang telah menemukan kekayaannya yang sejati.
//////////////
Truk kontainer pertama dari perusahaan telekomunikasi itu tiba tepat pukul delapan pagi keesokan harinya. Ukurannya begitu besar hingga Tuan Banu dan Rio hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu kompleks logistik dan kantor pusat Yura yang kini dipenuhi aura keseriusan bisnis.
"Bos," Tuan Banu menelan ludah, memegang clipboard-nya. "Ini baru pengiriman pertama. Ada empat lagi yang dijadwalkan minggu ini. Totalnya dua ribu unit server bekas, tiga ribu monitor, dan puluhan ribu komponen kecil."
Skala dari Kontrak Pasokan Primer itu jauh melampaui apa pun yang pernah mereka tangani. Ini adalah gelombang pasang aset yang bisa menenggelamkan sistem mereka jika tidak dikelola dengan presisi.
Rio tampak pucat. "Bagaimana kita akan memproses ini semua, Pak Bima? Sistem modular kita dirancang untuk lima ratus unit, bukan ribuan."
Inilah saat di mana "Arta" akan mengambil alih. Logika dingin itu akan segera mengaktifkan mode krisis, menghitung TTR (Time-to-Restoration) dan efisiensi alur kerja dengan kecepatan super.
Tapi Bima hanya tersenyum tenang. Senyum yang sama seperti yang ia berikan pada Risa di danau.
"Sistem tidak kaku, Rio," kata Bima, suaranya santai. "Sistem itu cair. Kita tidak akan memproses semuanya sekaligus. Kita akan memprosesnya berdasarkan nilai."
Dia berjalan ke truk, mengambil satu unit server secara acak. "Tuan Banu, fokuskan dua puluh persen tenaga kerja kita untuk triase. Pisahkan unit yang bisa direstorasi cepat dari yang butuh perbaikan berat. Rio, delapan puluh persen sisanya fokus pada restorasi cepat itu. Kita ciptakan arus kas dulu."
Bima meletakkan server itu. "Jangan panik karena volume. Volume adalah teman kita. Itu berarti kita tidak perlu lagi berburu di pasar loak."
Tuan Banu dan Rio saling berpandangan, lalu mengangguk. Otoritas Bima masih ada, tapi ketegangan yang dulu selalu menyertainya telah hilang. Dia tidak lagi memimpin perang, dia sedang membangun kerajaan.
{Sistem Arta akan berteriak untuk efisiensi seratus persen. Tapi Bima tahu, efisiensi delapan puluh persen dengan tim yang bahagia jauh lebih berkelanjutan.}
Di tengah kesibukan membongkar muatan, sebuah mobil kecil berhenti. Risa keluar, membawa kotak bekal besar. Dia tidak lagi memakai setelan bisnis, hanya jins dan kaus biasa.
"Rapat dewan untuk makan siang," kata Risa sambil tersenyum, menyerahkan kotak itu pada Bima. "Agenda hari ini: memastikan CEO tidak lupa makan."
Bima tertawa, tawa yang kini terdengar lepas. "Agenda diterima."
Dia mengambil kotak itu. "Mau lihat aset baru kita?"
"Aku lebih tertarik melihat bagaimana kamu mengelolanya tanpa berubah menjadi robot lagi," balas Risa, matanya bersinar jenaka.
"Aku punya administrator sistem baru sekarang," kata Bima pelan, mengacu pada Risa. "Dia memastikan program 'manusia' tetap berjalan."
Tiba-tiba, dari dalam area kantor pusat, Dinda berlari keluar. Dia sudah pulang sekolah dan langsung diantar ke Yura.
"Kak Bima! Kak Risa! Gambarku dapat nilai A!" seru Dinda, melambaikan selembar kertas.
Bima segera berjongkok, mengabaikan Tuan Banu yang sedang menunggu instruksi. Dia mengambil gambar itu. "Wah, ini gambar apa, Sayang?"
"Ini Yura! Ini Kakak Bima, ini Om Banu, ini Kak Rio, dan ini Kak Risa," Dinda menunjuk satu per satu. "Dan ini Dinda, bagian yang memastikan semua orang tersenyum!"
Bima memeluk adiknya erat. {Inilah metrik kesuksesan yang sesungguhnya. Bukan margin empat ratus persen. Tapi nilai A dari Dinda.}
Dia berdiri, menatap Risa sambil tetap menggendong Dinda. Di hadapan mereka, truk kontainer raksasa mulai menurunkan ribuan aset. Itu adalah pemandangan kekayaan fungsional yang luar biasa.
"Baiklah, tim," kata Bima, suaranya kini kembali fokus, tapi hangat. "Mari kita ubah sampah ini menjadi masa depan."
Tuan Banu dan Rio tersenyum. Mereka tidak lagi bekerja untuk "Arta" sang CEO. Mereka bekerja untuk Bima, kakak, kekasih, dan pemimpin mereka. Buku baru itu telah dimulai.
Saat Bima sedang memberikan arahan, ponsel Risa berdering. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Risa mengangkatnya.
"Halo, Risa Sanjaya?" suara seorang wanita yang dingin dan penuh otoritas terdengar.
"Benar, dengan siapa saya bicara?"
"Namaku tidak penting. Tapi aku mewakili Tante Elina. Dia memintaku menyampaikan pesan. Kontrak telekomunikasi itu memang mengesankan. Tapi Tante Elina mengingatkan, bahwa dunia korporat bukan hanya soal kontrak. Ini soal siapa yang mengendalikan dewan direksi. Dan dia... belum selesai bermain."
Risa menutup telepon, wajahnya pucat. Dia menatap Bima yang sedang tertawa bersama Dinda. Perang itu... ternyata belum benar-benar berakhir.