Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlihat Ambigu
Saat malam tiba...
Langit di luar jendela apartemen Albert sudah benar-benar gelap. Lampu kota berpendar seperti bintang-bintang buatan, sementara ruangan kerja pria itu hanya diterangi cahaya lembut dari monitor komputer. Musik instrumental pelan mengalun di latar, tapi pikirannya sibuk, terfokus pada deretan grafik saham yang terus bergerak naik turun.
Scroll demi scroll, ia menelusuri berita ekonomi dan pasar global. Sampai sebuah unggahan mencuri pandangannya.
Akun bernama @sisi915.
Satu foto muncul di layar, seorang wanita berbalut dress hitam dengan belahan rendah, berada di tengah suasana klub malam yang remang.
Albert membeku. Matanya menajam.
Klik.
Ia memperbesar gambar itu... dan rahangnya langsung mengeras.
Cantika.
Gadis itu.
Gadis yang yang baik dan pintar, namun sayang nya banyak sekali yang iri padanya. Bahkan ada yang rela bermain kotor demi menghancurkan Cantika.
“Shit…” gumamnya lirih tapi tajam.
Suara dentuman jantungnya terasa bersaing dengan detik jam di dinding.
“Kenapa selalu ada orang yang ingin menjatuhkan kamu, Cantika…”
Tangannya bergerak cepat.
Beberapa ketikan, klik, enter.
Dengan keahlian yang ia miliki, postingan itu lenyap dalam hitungan detik.
Namun Albert belum puas. Tatapannya kini berubah, tajam, berbahaya.
Ia membuka terminal baru, menelusuri jejak digital pemilik akun. Baris-baris kode berlari di layar, berpacu seperti peluru.
Beberapa menit kemudian, wajah pria itu mengeras.
Nama yang muncul di layar membuat udara di ruangan terasa berat.
Sindi.
“Jadi kamu lagi-lagi biang masalah…” desisnya dingin.
Suara ketikan kembali memenuhi ruangan.
Albert memiringkan kepala, jemarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan nyaris mustahil diikuti.
Sekali klik, dua kali enter, lalu...
Ting!
Sebuah notifikasi muncul di layar monitor.
Akses berhasil diperoleh.
Semua akun milik Sindi, baik palsu maupun resmi, kini ada di genggamannya.
Senyum smirk melengkung di bibir Albert, samar tertimpa cahaya biru dari monitor.
“Permainan sudah selesai,” ucapnya pelan, suaranya serendah geraman, namun penuh kekuasaan.
Malam pun semakin larut.
Di luar, kota terus berdenyut... tapi di satu ruangan apartemen berlapis emas itu, seorang pria baru saja memulai peperangan diam demi melindungi satu nama, Cantika.
**
Di sebuah café malam itu...
Lampu gantung berwarna kuning temaram menyoroti meja di sudut ruangan, tempat Sindi dan Elsa duduk berdua. Di luar, suara lalu lintas kota masih samar terdengar, tapi di dalam café suasananya lebih tenang, hanya ada denting sendok, percakapan pelan, dan alunan musik jazz lembut.
Kedua gadis itu tampak berusaha santai. Sindi mengaduk minumannya, sedangkan Elsa sibuk memotong kue yang nyaris tak disentuh sejak tadi. Mereka baru saja kembali dari klub, hanya minum sebentar untuk menenangkan kepala yang penuh kekesalan.
“Sin,” ucap Elsa dengan nada ringan, mencoba mencairkan suasana.
“Udah banyak yang komen belum? Pasti ada deh, anak-anak kampus pasti udah liat postingan lo.”
Sindi tersenyum percaya diri. Ia mengambil ponsel dari meja, mengetik cepat sandi akun sosial medianya. Namun, wajahnya perlahan berubah.
Keningnya berkerut.
“Lho... kok salah?” gumamnya pelan. Ia coba lagi.
Sandi salah. Lagi, dan lagi.
“Masa sih gue lupa sandi?” suaranya mulai naik satu oktaf, disertai ekspresi gelisah.
Elsa menatap penasaran. “Kenapa, Sin? Beritanya rame, ya?”
“Bukan! Ini aneh, sandinya salah terus. Padahal tadi masih bisa kebuka.”
Sindi kembali mencoba, kali ini lewat email, tapi notifikasi gagal masuk langsung muncul.
“Aneh banget. Email gue juga nggak bisa.”
Nada panik mulai terasa.
Elsa ikut mencondongkan tubuh. “Mungkin lo lupa, Sin. Coba buka akun resmi lo deh, jangan yang fake.”
Sindi mengangguk cepat, mencoba login ke akun aslinya. Tapi hasilnya sama.
Sandi salah.
“B4ngsat!” sumpahnya pelan tapi tajam. “Sama aja, nggak bisa juga!”
“Coba akun gue,” kata Elsa cepat. Ia buka ponselnya, login... berhasil.
“Lihat, gue bisa kok.”
Sindi menatapnya heran. “Terus punya gue kenapa? Di situ banyak banget chat penting, banyak foto juga!” katanya hampir menjerit. Ia tahu isi akunnya, dan itu bukan sesuatu yang bisa dilihat publik.
Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Elsa yang sedang scroll timeline tiba-tiba membeku.
Matanya membulat. “Sin... lihat ini.”
Sindi langsung merebut ponsel Elsa, dan seketika wajahnya memucat.
Layar menampilkan postingan di akun Instagram miliknya, akun resminya.
Foto mereka berdua terpampang jelas, lengkap dengan tulisan besar:
“Mahasiswi dikeluarkan karena berbuat curang dan mengancam dosen.”
Sindi terpaku. Suaranya tercekat sebelum akhirnya meledak:
“APA INI!? Kok bisa di-upload di akun gue!?”
Elsa melotot tak percaya. “Lo salah upload, ya? Jangan bercanda, Sin!”
Sindi menatapnya garang. “Lo pikir gue buta!? Tadi gue upload foto CANTIKA, bukan INI!”
“Terus sekarang ini apa!? Lo nyalahin siapa!?”
Suara Elsa meninggi, emosi ikut terpancing.
“Lo nuduh gue? Gue juga korban di sini!” bentak Sindi lagi, suaranya menggema hingga menarik perhatian beberapa pengunjung.
Tatapan-tatapan mulai mengarah ke meja mereka. Beberapa pelanggan menatap risih, sebagian lagi berbisik-bisik.
Seorang pria berjas hitam, kemungkinan pelayan senior, melangkah mendekat. “Maaf, kalau cuma mau ribut, tolong keluar. Ini café, bukan pasar.”
Sindi menunjuk Elsa dengan marah. “Dia yang mulai duluan!”
Elsa tak mau kalah. “Lo yang nyolot duluan, s3tan!”
“Bangsa—”
“Cukup!” suara berat memotong tajam.
Seorang pria berbadan tegap, manager café, muncul di depan mereka. Tatapannya tegas, tak memberi ruang untuk debat.
“Satpam, tolong antar dua tamu ini keluar.”
Dua petugas keamanan segera datang. Sindi dan Elsa masih sempat saling memaki, tapi suara mereka tenggelam oleh derap langkah dan tatapan orang-orang di sekitar.
Pintu kaca café berayun saat keduanya diusir keluar ke trotoar malam.
Lampu kota menyorot wajah Sindi yang kini merah padam, bukan hanya karena malu, tapi juga karena ketakutan.
Sementara itu, di kejauhan, ponsel Elsa kembali bergetar.
Puluhan notifikasi komentar masuk.
Semua dengan nada yang sama, hina, jijik, dan penuh hujatan.
***
Malam mulai larut.
Kota sudah mulai lengang, hanya suara jangkrik dari halaman belakang yang terdengar samar. Cantika baru saja merebahkan tubuh di kasur empuknya, tubuhnya terasa ringan setelah membersihkan sisa make up dari wajah. Kulitnya yang bersih dan lembap tampak bercahaya dalam temaram lampu kamar. Cantik alami, tanpa perlu polesan apa pun.
Ia menarik napas lega, lalu meraih ponsel di samping bantal. Jemarinya membuka WhatsApp, memastikan pesan terima kasihnya pada Albert sudah dibaca atau belum.
Seketika jantungnya berdetak sedikit lebih cepat ketika melihat dua centang biru.
Sudah dibaca.
Dan sudah dibalas.
Ia menahan senyum kecil, membuka pesan itu perlahan seperti membuka surat penting.
Tuan Albert:
“Sama-sama, Cantika. Kertas jawaban kamu memang pantas diselamatkan, karena jawabannya sangat bagus.
Lain kali kamu harus lebih berhati-hati, karena orang jahat bisa muncul di mana saja.
Kita bisa saja tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi tetap akan ada yang berusaha menjatuhkan.
Dan selama saya masih bernafas... saya akan melindungi gadis sebaik kamu.”
Tatapan Cantika membeku di layar ponselnya.
Kalimat terakhir itu membuatnya terpaku cukup lama.
Ada sesuatu dalam kata-kata Albert yang terasa… berbeda.
Entah kenapa, isi pesan itu terasa ambigu, antara perhatian tulus... atau sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ucapan terima kasih.