Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Elira melenguh kecil, membuka mata dengan rasa malas. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat pandangannya terasa perih. Menyebalkannya, tidur semalam nyatanya tidak membuat segar, melainkan membuat kepalanya jadi berat.
"Terlalu cinta itu menyakitkan."
Kalimat itu mendadak berputar di kepalanya. Elira mendengkus merutuki diri. Kenapa bisa-bisanya ia mengucapkan hal tak berguna seperti itu?
"Kenapa tak ada yang membangunkanku?" Elira terduduk sambil menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi wajahnya. "Bibi?" panggilnya.
Elira menyingkap selimut, lalu mengikat rambut ala kadarnya. "Ke mana pelayan itu?" gumamnya.
Teringat para bodyguard semalam, ia pun berjalan ke luar kamar, mengitari setiap jendela yang ada di rumahnya. Ternyata sial, jumlah mereka cukup banyak, hingga bertebaran di setiap sudut area luar rumahnya.
Elira tak tahu, apakah perlakuan ini timbul agar ia tak keluar rumah lagi? Atau ada hal berbahaya hingga Cedric menjaganya ketat seperti ini?
"Hah." Elira pun mendengkus singkat saat kembali mengintip ke jendela ruang utama. "Satu orang saja sudah menjengkelkan. Kenapa sekarang semakin banyak?"
"Ah! Ponsel!" antusiasnya. "Ponsel Axel." Elira berlari kecil ke kamar. Kemudian merogoh bend itu dalam saku jaket Axel yang tergeletak di tempat tidurnya.
Ekspresi serius Elira tersinari oleh cahaya ponsel. Dengan lihai, jemari lentiknya mengetikkan sesuatu di pencarian berita internet, 'Keluarga Maeven'.
Deretan berita pun muncul.
Maeven Corp Diambang Krisis
Apakah Elira Maeven Layak Menjadi Pewaris?
Arsen Vaelric: "Sejak penamparan sampai penusukan, keluarga Maeven tak pernah menunjukkan rasa bersalah."
Penyebab Putri Semata Wayang Cedric Brutal, Elira Alami Hilang Ingatan?
Pasca Insiden Gagal Bunuh Diri, Timbul Prediksi Elira Hilang Ingatan?
Arsen Vaelric: "Mungkin Elira Terkena Gangguan Mental."
"Cih." Elira berdecih. "Dunia ini makin sibuk memojokkanku. Seolah aku begitu peduli dengan saham atau reputasi keluarga ini."
Elira melempar ponsel ke atas kasur. "Aku jadi penasaran. Sebenarnya apa yang tengah Cedric rencanakan?"
......................
📍 Markas Komplotan Gregor Hale
Di ruang tengah, beberapa kali Axel menghubungi nomor ponsel yang ia tinggalkan pada Elira. Terhitung tujuh kali, hingga sekarang tak ada satu pun panggilan yang terangkat.
"Kenapa dia tidak mengangkat panggilanku? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya?" cemas Axel dengan perasaan kesal.
Jemari Axel yang berpindah untuk mengetik pesan bahkan sampai terlihat gemetar. Ia tak bisa berpikir jernih. Ia benar-benar khawatir pada keadaan Elira.
✉️ Elira, dengarkan aku baik-baik. Aku baru mendapat kabar kalau The Viper sedang bergerak menuju rumahmu. Mereka bukan orang sembarangan, mereka berbahaya. Tolong, jangan lakukan hal bodoh apa pun. Jangan keluar, apalagi nekat melawan. Percaya saja pada para penjaga yang ada di sana. Aku tahu kau membenci situasi ini, tapi jangan keras kepala. Aku mohon, demi keselamatanmu, bertahanlah di dalam rumah.
"Aku harap dia baik-baik saja." Axel memejamkan mata tak tenang, dengan tatapan yang lagi-lagi tertuju pada ponselnya.
"Kau terlihat resah sekali." Gregor datang sambil membalut tubuh dengan jaket hitamnya. "Mau ikut denganku?"
"Ke mana?" sahut Axel cepat.
"Menyelamatkan pujaan hatimu," goda Gregor supaya Axel bisa rileks. "Hanya, aku akan memintamu untuk diam saja di mobil. Dan boleh keluar untuk menemui Elira jika keadaan sudah aman."
Axel tersenyum kaku. Meski tak yakin akan diam saja seperti permintaan Gregor, namun rasanya tak pantas saja membiarkan orang lain menyelamatkan seseorang yang ia cintai.
"Kau melakukan ini untukku?" tanya Axel heran, karena ia tahu, bahwa membalaskan dendam Ve adalah satu-satunya alasan Gregor setia berada di pihaknya.
Gregor tersenyum kecil. "Aku adalah lawan yang sepadan dengan The Viper. Meski sebenarnya mereka sendiri masih terlalu bodoh untuk bersanding denganku."
Gregor mengeluarkan sesuatu dalam sebuah tas jinjing. "Kau tak penasaran mengapa aku tahu pergerakan mereka?"
Axel menggeleng sekali, menatap senyuman Gregor yang tampak berbangga diri.
"Mereka tak sadar, jika aku masih menyadap keamanan mereka," ucap Gregor yang belum berhenti mengecek senjata-senjata miliknya.
Axel terdiam, memperhatikan kesibukannya.
"Kau tahu ...," jeda Gregor sambil meniup gagang salah satu pistol yang terlihat berdebu. "Mereka adalah yang selama ini kita tunggu."
Yang mendengar mengernyitkan dahi mendengar itu.
"Kompolotan yang menewaskan Ve."
Gemuruh amarah tiba-tiba berkecamuk di dalam dada Axel. Selain geram karena mendadak teringat kematian Ve, ia juga marah karena khawatir jika Elira akan mengalami nasib yang sama dengan mendiang ibunya.
"Jadi ..., ini memang sudah waktunya?" gumam Axel dengan senyuman penuh dendam.