Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.
Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?
Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29: 667
Bagian dalam dari kamar 667 tampak normal. Hanya terlihat satu pria yang sedang duduk di sofa kecil warna merah yang posisinya membelakangi kasur dan balkon yang ada dibalik tirai putih. Saat pintu terbuka, tak ada apapun yang terlihat masuk.
“Suara pintu terbuka... kenapa harus terjadi sekarang?” tanyanya dengan mengeluh.
Tiba-tiba...
Sosok hitam muncul di belakangnya dan membunuhnya dengan pisau dapur. Sosok itu memperlihatkan helaian rambut panjang. Berarti wanita atau pria.
Dirinya hanya menusuk jantungnya, tersenyum lebar, dan mengambil jantung dengan tangan kirinya. Jantung dimakan dan... “AAAA!!!” teriak kencang dari Lorenzo.
Lorenzo menjadi sangat ketakutan, keringat dingin, dan melihat kesana dan kemari. Tak terjadi apa-apa dan Liliana terlihat masih tidur nyenyak. Ia tak bisa berhenti bernapas cepat sampai membuatnya ngos-ngosan.
Ia mengusap wajahnya yang keringatan dengan kedua tangannya. Liliana yang terlihat tertidur nyenyak, tiba-tiba bangkit dan setengah duduk sepertinya. “Mimpi buruk lagi kah?” tanyanya kepadanya tanpa ekspresi.
Menatap Liliana dengan wajah ketakutan dan menganggukkan kepalanya. “Iya. Ka-kamar sebelah ba-baik-baik sa-saja, bu-bukan?” tanyanya kepadanya.
“Kamar 665 atau 667?” tanyanya lanjut kepadanya.
Menunjuk belakang. Liliana mengerti dan langsung mendekatkan diri. “Oke, kamar 667...” suara desahan terdengar dengan jelas. Ia langsung menjauhkan diri dari tembok. “Dua pasangan sedang melakukannya. Jadi, baik-baik saja. Memangnya, mimpimu apa?” tanyanya kepadanya.
Lorenzo menundukkan kepalanya dan memeluk erat badannya sendiri sambil terus ketakutan. “Sosok hitam dengan helaian rambut panjang menusuk jantungnya, mengambilnya, dan memakannya. Dialami oleh pria yang duduk di sofa dekat balkon.”
Liliana berpikir sebentar. “Itu film bukan?” tanyanya kepadanya dengan santai.
Lorenzo langsung berhenti ketakutan dan langsung menatapnya dengan wajah bingung. “A-apa maksudmu?” tanyanya kepadanya.
“Maksudku, ada sebuah film yang berjudul “Kamar 667” dan kamar sebelah adalah ruangan yang dipakai untuk syuting film tersebut. Tenang saja, tak pernah ada hal buruk terjadi selama syuting maupun setelah syuting bahkan setelah dipakai lagi oleh dua pasangan,” jawabnya akan pertanyaannya.
Mengembuskan napas pelan dan langsung tersenyum lebar. “Syukurlah. Kukira seperti sebuah penglihatan. Dan juga...” tiba-tiba malu sendiri. “Aku sudah pernah menontonnya saat umurku 15 tahun. Diriku yang takut hal-hal seperti Gore yang ada di film tersebut, sampai masuk ke dalam mimpi ternyata.”
Liliana menaruh tangan kanannya dipundak kirinya serta tetap saling hadap menghadap. “Lorenzo, lebih baik lupakan saja mimpi itu. Semakin dipikirkan, hanya akan membuatmu semakin stres. Lalu, karena kedepannya akan lebih mengerikan daripada yang sudah kau lihat selama ini, melupakan adalah hal yang baik.”
Sarannya membuatnya menundukkan kepalanya dan langsung merendahkan dirinya. “Kau benar. Padahal aku sudah sejauh ini, tapi aku malah takut karena hal kecil saja. Walaupun aku sangat menyedihkan...” menatap Liliana dengan wajah ketakutan. “Setidaknya, aku ingin Liliana baik-baik saja.”
Ucapannya membuatnya langsung menyentuh kedua pundaknya dan badannya agak mendekat ke dirinya. Wajahnya memerah karena Liliana semakin dekat dengannya dan saling bersentuhan. Wajah Lorenzo dan wajah Liliana dekat sekali. Jantung Lorenzo berdetak dengan sangat kencang sampai membuatnya berpikiran yang aneh-aneh.
Liliana kecewa padanya dan langsung kembali berbaring serta membalikkan badannya ke arah kiri. Menghela napas dan langsung mengomelinya. “Kau ini padahal sudah punya Clayra, tapi masih bisa bertingkah di depan wanita lain. Dirimu ini, tak mungkin bisa hidup bahagia kalau tak berubah lho, Lorenzo!”
Kata-katanya membuatnya langsung terkejut, berbaring, dan membalikkan badannya ke arah kanan. “Kau benar sekali, ahahaha.”
“Yahh... lupakan saja. Saatnya tidur,” ucapnya kepada Lorenzo dan tidur begitu saja. Lorenzo yang sudah tenang ikutan tidur.
Malam ini pun berlalu begitu saja. Tak terjadi apa-apa pada malam ini. mimpinya tak menjadi kenyataan. Bagaimana dengan pagi hari?
Terlihat mereka berdua berada di luar hotel. Sedang duduk di sebuah taman penuh rerumputan hijau, disekelilingi semak-semak campuran bunga anggrek, tulip, mawar, dan peony, kursi taman di tengah berjumlah dua dengan saling hadap menghadap, serta bangunan persegi yang menghubungkan empat gerbang masuk-keluar taman ini.
Sebelum ke sini, mereka berdua beli eskrim dengan mengantri terlebih dahulu. Rasa vanilla dan rasa strawberry adalah yang dipilih mereka berdua. Vanilla dipilih oleh Lorenzo dan strawberry dipilih oleh Liliana.
Warna merah muda dan warna putih, apakah ada artinya?
Begitu selesai membeli, tentu saja tempat duduk yang mereka cari dan taman inilah jawabannya. Taman terbuka selama 12 jam dari pukul 06.00-18.00 setiap harinya.
Lorenzo menjilat es krimnya dan langsung bahagia. “Lezat sekali. Liliana mau mencoba punyaku!” tawarnya kepadanya.
Kebahagiaannya langsung dihancurkan dengan tatapan datar dengan aura kesal di dalam dirinya. “Ciuman tidak langsung. Lorenzo, apakah kau tak tahu itu?”
Pertanyaannya membuatnya langsung keringat dingin dan melahap eskrim langsung semuanya beserta corongnya. “Maaf, tadi hanya bercanda dan...” giginya mati rasa. “Di-dingin sekalii.”
Liliana menatap tanpa ekspresi dan menjilat eskrim miliknya. “Lumayan juga rasanya.”
Menatapnya lagi dengan wajah memerah hebatnya. Liliana langsung menatap datar kejam ke arahnya. Lorenzo langsung menatap depan serius dan tak bermain-main lagi.
Setelah eskrim nya habis, Liliana beranjak dari tempat duduknya. “Oke, waktunya sedikit keliling Jepang.”
Liliana berjalan ke depan dan Lorenzo langsung ikut berjalan. “Tunggu aku.” Dengan langkah kaki cepat, mereka berdua bisa berjalan kaki dengan tempo yang sama dan hal itu membuat mereka tak bisa terpisah dengan mudah.
Sekeliling yang terlihat kebanyakan gedung-gedung mewah. Banyak sekali para pekerja kantoran, nenek-nenek, kakek-kakek, anak sekolahan, pengendara motor & mobil, delman, dan pengemis jalanan.
Di gang kotor yang dipenuhi tong sampah yang sampahnya berserakan, terdapat kardus bersih yang di tempati oleh seorang anak kecil. Terlihat seperti umur 6 tahunan. Rambut hitam lurus pendek, bola mata hijau, tubuh kecil, memakai pakaian robek, dan kulit tak terurus, seperti itulah kondisinya.
Lalat, kecoak, dan tikus menemaninya mengemis dengan tangannya disodorkan ke depan agar beberapa orang baik mau memberinya uang. Tak bicara apa-apa, pengemis ini hanya menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri.
Beberapa orang memberinya dan itu hanya sedikit saja. Sisanya tak memberinya apa-apa serta ada yang membuatnya menjadi live youtube. Live itu tak sengaja dilihat oleh Lorenzo dan Liliana. Mereka agak kesal dan Lorenzo yang mau menyelamatkannya, Liliana menahannya begitu saja.
“Tak perlu mengurusnya. Anak itu, mungkin kehidupannya akan menjadi lebih baik.”
Melihatnya lagi dan... sepertinya benar. Live youtube tersebut terlihat seperti anak tersebut sedang ditanyai hal-hal seperti ibunya ke mana? Ayahnya ke mana? dan lain sebagainya.
Mereka meninggalkannya dan berjalan melewati kerumunan orang-orang. Saat sampai di lurus terus sambil menunggu lampu merah, ia dihadapkan dua pilihan. Lurus terus atau belok kiri. Mereka berdua memutuskan untuk lurus terus. Setelah lampu menjadi merah, mereka berdua berjalan agak desak-desakan dengan orang-orang yang ikut-ikutan menyebrang di jalan mereka.
Selesai melewati itu semua, akhirnya tempat yang dituju Liliana telah ditemukan. Sebuah bioskop tua yang sudah tak berpenghuni terlihat dengan jelas di depan mata mereka berdua. Lorenzo yang penasaran langsung bertanya kepadanya. “Liliana, apa yang akan kita lakukan di bioskop ini?”
Pertanyaannya langsung dijawab dengan singkat. “Detektif bekerja sekarang.”
Lorenzo refleks langsung berada di depannya dengan penuh rasa bangga, semangat membara, dan senyum lebar. “Oke, waktunya aku beraksi ternyata. Jadi, ada yang sangat menakutkan di sini kah, Liliana?”
“Ini adalah markas salah satu pemimpin dari 9 eksperimen normal para senjata pemerintahan. Sekarang, karena kita sudah sampai ke salah satu tujuan, kau harus membantuku menyelesaikannya, Lorenzo!” perintahnya kepadanya.
Lorenzo menganggukkan kepalanya. “Baiklah, aku akan membantumu menyelesaikannya. Pertama, harus menyelesaikan apa dulu kita, Liliana?” tanyanya kepadanya.
Liliana berjalan ke depan. “Ikuti aku!”
Ajakannya dijawab dengan cepat dan dengan ekspresi yang masih sama. “Baiklah.”
Menghadap depan dua pintu merah dengan kaca hitam yang sudah rusak. Lorenzo berusaha melihat ke dalam lubang yang ada di depan Liliana. “A-apa-apaan yang ada di dalam sini?” tanyanya dengan sangat terkejut.
“Itulah yang harus kita selesaikan, Lorenzo,” balasnya akan pertanyaannya dengan tetap tanpa ekspresi apapun itu.
Bersambung...
Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani