Joi, siswa SMA kelas 2 yang cuek dan pendiam, memiliki kemampuan indigo sejak kecil. Kemampuannya melihat hantu membuatnya terbiasa dengan dunia gaib, hingga ia bersikap acuh tak acuh terhadap makhluk halus. Namun, pertemuan tak terduga dengan Anya, hantu cantik yang dikejar hantu lain, mengubah kehidupannya. Anya yang ceria dan usil, terus mengikuti Arka meskipun diusir. Pertikaian dan pertengkaran mereka yang sering terjadi, perlahan-lahan mencairkan sikap cuek Joi dan menciptakan ikatan persahabatan yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joi momo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usaha Joi
Bunyi bel pulang sekolah memecah lamunan Joi. Ia segera merapikan buku-bukunya, gerakannya masih lamban dan lesu. Namun, sebuah tekad baru muncul di dalam hatinya. Ia harus menemui Anya. Dengan langkah cepat, ia menuju rumah sakit tempat Anya dirawat. Doa terucap dalam hati, memohon agar orang tua Anya tidak ada di sana. Atau, jika mereka ada, ia berharap mereka mau mendengarkannya, mempertimbangkan penjelasannya demi kebaikan Anya dan juga mereka sendiri.
Joi ingin sekali memulangkan ruh Anya ke jasadnya. Ia ingin Anya kembali hidup seperti sedia kala, hidup normal sebagai manusia, bukan sebagai hantu yang melayang-layang di antara dunia manusia dan dunia roh.
Walaupun itu akan membuat Anya melupakan Joi.
Keinginan itu begitu kuat, menggerakkan langkah kakinya menuju rumah sakit dengan harapan dan sedikit kecemasan. Ia tahu ini akan menjadi pertarungan yang berat, bukan hanya melawan kenyataan pahit, tetapi juga melawan keraguan dan kesedihan yang masih menggelayut di hatinya.
**
Joi berlari sekuat tenaga hingga tiba di rumah sakit. Ia melangkah perlahan, hati berdebar-debar, menanti pertanyaan atau bahkan pengusiran dari orang tua Anya. Setelah menarik napas panjang, ia memasuki ruangan Anya. Ruangan itu kosong, hanya Anya yang terbaring koma. Joi mendekat, tangannya gemetar saat mengelus pipi Anya. Dalam hati, ia berjanji, "Kau akan segera sadar. Aku yakin itu. Aku akan berjuang keras."
Tiba-tiba, Ibu Anya masuk dengan langkah pelan. Joi, yang tengah larut dalam kesedihan, tak menyadarinya hingga tangan Ibu Anya menyentuh pundaknya.
"Kau siapa?" tanya Ibu Anya.
Joi terkejut. Ia menjelaskan dengan suara pelan bahwa ia adalah siswa SMA dari pinggiran kota yang mengenal Anya.
"Omong kosong!" bentak Ibu Anya, matanya berkilat marah. "Bagaimana kalau kau sudah lama mengincar Anya? Kau pasti seorang maniak atau sengaja ingin masuk ke lingkungan keluarga kami yang kaya!"
Kaya!
Joi menatap tajam mata Ibu Anya, terluka dengan tuduhan itu. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dalam hatinya, ia membacakan mantra perlindungan, sebuah doa yang diajarkan neneknya untuk melindungi diri dari energi negatif. Setelah itu, dengan keberanian yang tiba-tiba muncul, Joi meraih tangan Ibu Anya.
Ibu Anya spontan menarik tangannya, jijik. "Jangan sentuh saya! Dasar kurang ajar!"
Namun, pegangan tangan Joi begitu kuat, tak mampu ia lepas. Tiba-tiba, Ibu Anya menjerit, bukan karena sakit, melainkan karena ketakutan yang luar biasa. Di sekeliling mereka, Ibu Anya tiba-tiba dapat melihat hantu-hantu bergentayangan, wajah-wajah mengerikan yang mengintainya dari kegelapan. Ia melihat sosok-sosok pucat yang melayang di sudut ruangan, mata merah yang menatapnya dengan penuh dendam. Dunia yang selama ini ia kenal tiba-tiba berubah menjadi neraka yang mengerikan.
Joi menarik napas panjang, berusaha menenangkan Ibu Anya yang masih menjerit ketakutan. "Ibu, saya... saya bisa melihat makhluk gaib. Saya adalah penghubung antara dunia manusia dan dunia lain. Itu sebabnya saya bisa bertemu Anya." Ia menjelaskan dengan suara tenang namun tegas, mencoba meredakan kepanikan Ibu Anya.
"Saya bertemu Anya... sebagai roh gentayangan. Awalnya, saya tidak peduli, tapi roh Anya terus mengikuti saya. Lama-kelamaan, kami menjadi dekat, menjadi akrab."
Joi menatap Ibu Anya dengan mata yang penuh penyesalan dan kasih sayang. "Saya mencintainya, meski ia… bukan Anya yang Ibu kenal."
Ibu Anya pun menatap Joi dengan penuh kebimbangan.
hatinya yang berkecamuk mendengar hal itu.
Joi melepaskan pegangan tangannya dari Ibu Anya yang masih gemetar ketakutan, lalu mundur perlahan. Ia tahu, kata-katanya sulit dipercaya, tapi ia tak punya pilihan lain. Dengan berat hati, Joi berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Ia harus membuktikan kebenaran ucapannya, meski terdengar gila.
Dengan langkah cepat, Joi menuju ruang administrasi. Ia mencari petugas yang semalam ia titipkan lukisan Anya. Jantungnya berdebar kencang, berharap lukisan itu masih ada dan bisa menjadi bukti cintanya, sekaligus menjelaskan siapa Anya sebenarnya. Ia harus meyakinkan Ibu Anya, bahwa cintanya pada Anya tulus, meski terjalin di antara dua dunia yang berbeda.
Setelah mendapati lukisan itu, Joi pun kembali masuk keruangan itu dan tampak di sana ayah Anya pun sudah ada di tempat itu.
Joi pun mendekat dengan perlahan, membawa lukisan itu.
Ia menatap wajah ayah Anya dengan tenang sembari menjelaskan kembali dari awal.
Setelah penjelasan itu, Ayah Anya menatap lukisan itu, tatapannya perlahan berubah. Air mata mulai menetes di pipi Ayah Anya, air mata kesedihan yang dalam dan tak terucapkan. Kesunyian menyelimuti ruangan, hanya diiringi suara isak tangis Ayah dan Ibu Anya yang pelan namun menyayat hati. Lukisan itu, dengan senyum Anya yang tulus, tampaknya telah berbicara lebih banyak daripada kata-kata.