Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan rahasia Raka dan Aldi..
Malam itu, gerimis jatuh tipis di atas atap kafe tua yang terletak di sudut jalan. Sebuah tempat yang tidak mencolok, jauh dari pusat kota, tapi memiliki kesan intim dan privat—tempat yang dipilih Aldi dengan penuh pertimbangan. Di luar, lampu jalan redup temaram, menambah kesan sunyi pada malam yang basah.
Raka tiba dengan langkah cepat, setengah gugup. Ia mengenakan jaket kulit gelap yang basah oleh hujan. Matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang memintanya datang. Di pojok ruangan, dekat jendela, duduk Aldi. Wajahnya tenang seperti biasa, namun matanya menyimpan keseriusan yang tak biasa.
“Raka,” sapa Aldi tanpa senyum.
Raka menarik kursi dan duduk tanpa banyak bicara. Ia menggenggam kedua tangannya di atas meja, menggigil, entah karena udara malam atau perasaan yang menggumpal di dadanya.
“Aku tidak menyangka kau akan menerima ajakanku,” kata Raka akhirnya, suaranya berat dan kering.
“Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bicara empat mata. Terutama soal Nayla.”
Suasana di antara mereka menegang. Pelayan datang membawa dua cangkir kopi, lalu pergi meninggalkan mereka dalam keheningan yang memekakkan telinga.
“Aku tahu aku orang terakhir yang pantas memintamu ini, Al,” Raka mulai, pandangannya menusuk. “Tapi aku mohon... tolong yakinkan Nayla. Jangan lanjutkan gugatan itu.”
Aldi menatap cangkir kopinya, uap tipis mengepul dari permukaannya. Ia tidak langsung menjawab. Hanya diam, memikirkan kata-kata yang tepat agar tidak meledakkan emosi lawan bicaranya.
“Kau tahu betapa hancurnya Nayla saat pertama kali datang meminta pertolonganku? Tangannya gemetar saat menyerahkan berkas, matanya bengkak karena terlalu sering menangis. Dan tahukah kau apa yang paling menyakitkan?” Aldi menatap Raka dengan tatapan tajam. “Dia tidak marah. Tidak membenci. Yang ada hanya kecewa. Kecewa karena cinta yang dia pertahankan mati begitu saja.”
Raka menghela napas berat. “Aku... aku terlalu bodoh. Aku tak pernah mengira dia akan benar-benar pergi.”
Aldi menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Selama bertahun-tahun Nayla mencoba memahami. Memberi ruang, memaafkan, menunggu. Tapi setiap luka yang kau beri tak pernah kau tutup kembali. Kau biarkan terbuka, dan berharap ia tetap bertahan.”
“Aku mencintainya,” bisik Raka lirih.
Aldi mengangguk pelan. “Mungkin. Tapi kadang cinta tidak cukup untuk menebus pengkhianatan, Raka. Cinta seharusnya tidak membuat seseorang merasa sendiri dalam hubungan yang seharusnya saling menguatkan.”
Kata-kata itu menghantam Raka tepat di dada. Ia mencoba menahan emosi, tapi suaranya bergetar ketika ia berkata, “Aku menyesal, Al. Setiap malam aku dihantui rasa bersalah. Aku kehilangan arah tanpa Nayla. Aku bahkan tidak yakin bisa menjalani hidup tanpanya.”
Aldi terdiam. Matanya mengamati raut wajah Raka yang terlihat begitu menyesal. Ia tahu Raka bukan pria jahat. Tapi Raka juga bukan pria yang tahu cara menjaga perempuan yang mencintainya sepenuh hati.
“Kalau kau mencintainya, kau seharusnya tahu kapan harus melepaskannya,” ujar Aldi akhirnya. “Bukan untuk menyerah, tapi untuk membiarkannya menyembuhkan diri.”
“Aku ingin menebus semuanya,” kata Raka dengan suara tertahan. “Beri aku satu kesempatan terakhir. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa berubah.”
Aldi tersenyum miris. “Kau pikir ini hanya soal kesempatan? Ini tentang luka yang terlalu dalam untuk sembuh dalam waktu singkat. Kau tahu Nayla sedang membangun hidupnya lagi. Dan aku... aku melihatnya tumbuh. Bangkit. Untuk pertama kalinya, dia terlihat hidup.”
“Apakah kau jatuh cinta padanya, Al?” tanya Raka tajam. Pertanyaan itu terlontar begitu saja, spontan, namun penuh desakan.
Aldi tidak menjawab langsung. Ia memutar gelas kopi di tangannya pelan, lalu menatap lurus ke mata Raka.
“Aku menghargainya. Aku mengaguminya. Tapi saat ini, perasaanku tidak relevan. Yang penting adalah apa yang Nayla butuhkan, bukan yang kau atau aku inginkan.”
Hening beberapa saat. Raka merasakan kekalahannya. Tapi ia masih memegang satu harapan.
“Tolong sampaikan padanya satu hal. Bahwa aku menyesal. Bahwa aku akan tetap menunggu, berapa lama pun itu. Dan kalau suatu saat dia ingin kembali, aku akan berada di tempat yang sama.”
Aldi mengangguk. “Aku akan sampaikan. Tapi kau juga harus janji satu hal. Jangan ganggu dia selama proses ini. Jangan muncul tiba-tiba. Biarkan dia menata dirinya. Jangan egois, Raka. Jika kau benar-benar mencintainya, kau akan mengerti apa yang kumaksud.”
Raka mengangguk perlahan. Tangannya mengepal di atas meja. “Terima kasih, Al. Setidaknya... aku lega sudah bicara denganmu.”
Pertemuan itu berakhir tanpa jabat tangan, tanpa pelukan, tanpa janji damai. Keduanya berdiri sebagai dua pria yang menyayangi perempuan yang sama, tapi dengan cara yang berbeda. Dan dalam keheningan malam yang terus diguyur gerimis, masing-masing melangkah keluar dari kafe dengan beban yang lebih berat dari sebelumnya.
Di dalam hati Aldi, ada perasaan yang tak ia akui. Dan di dalam hati Raka, ada penyesalan yang terlambat datang. Tapi bagi Nayla—perempuan yang tak hadir malam itu—kisahnya masih terus bergulir, membawa harapan dan luka dalam satu tarikan napas.