NovelToon NovelToon
JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berbaikan / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Sarah Siti

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!

Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.

Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?

Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEDAMAIAN MENJADI SENYAP YANG MENIPU

Satu bulan telah berlalu sejak rumor xiao dan Pangeran jaemin mengguncang istana. Meski perlahan mulai reda, bayang-bayangnya masih menggantung di udara. Pangeran Jaemin, yang semula hanya menjaga jarak, kini mulai membuka diri pada Xiao. Ia tak lagi sekadar teman biasa perhatian-perhatian kecilnya mulai terlihat jelas. Membawakan bubur hangat di pagi hari, mengantar pulang saat hujan, bahkan xiao yang menunggu pangeran jaemin selesai membaca di perpustakaan istana.

Pangeran Wang, yang menyadari hal itu lebih dulu dari siapa pun, hanya memberi satu saran kepada adik sepupunya: "Hadapi dengan bijak, jangan terburu-buru. Jalani saja perlahan, seperti air mengalir. Yang penting kau bersungguh-sungguh."

Saran itu diikuti Jaemin dengan sabar. Di sisi lain, mereka masih belum berhasil menjatuhkan Nona Lee sepenuhnya. Bukti kuat yang bisa menyeretnya keluar dari istana belum juga ditemukan. Pergerakannya kini lebih licik, lebih diam, seolah bersembunyi sambil menanti waktu yang tepat untuk menyerang balik.

Namun keadaan istana segera berubah saat kabar buruk datang dari sebuah desa kecil bernama Qingshui, terletak di pinggiran perbatasan utara. Wabah misterius menyebar dengan cepat, menyebabkan demam tinggi dan pingsan mendadak pada para penduduk. Istana segera mengirim Pangeran Wang dan Pangeran Yu untuk menyelidiki. Tapi Zhao, yang mendengar kabar itu dari balik tirai ruang pertemuan, tiba-tiba mengambil keputusan nekat.

"Aku ikut," katanya mantap.

Pangeran Wang menatap tajam, nyaris kesal. "Tidak. Ini bukan tempat untukmu."

"Ini bukan soal tempat, ini soal keinginan. Aku tak tahu kenapa, tapi hatiku tak tenang. Aku ingin ke sana." Suaranya keras kepala tapi tidak emosional. Matanya penuh tekad, tapi menyiratkan kecemasan yang belum ia mengerti.

Pangeran Yu ikut membujuk. "Zhao, desa Qingshui sedang terkena wabah. Bisa jadi menular. Bisa jadi berbahaya. Jangan buat kami khawatir."

Namun Zhao hanya diam sesaat sebelum berkata pelan, "Aku tidak ingin jauh darinya... bukan sekarang."

Pangeran Wang tak bisa membalas. Dalam diamnya, ia tahu bahwa perasaannya sendiri tak kalah kacau. Pada akhirnya, setelah malam yang panjang dan diskusi dengan para pengawal pribadi, ia menyerah. Dengan syarat pengawalan ketat dan perlindungan penuh, Zhao diperbolehkan ikut.

Tanpa mereka sadari, keputusan itu telah ditunggu oleh seseorang yang senang di balik tirai. Nona Lele, yang selama ini hanya menjadi bayangan redup di sisi istana, melihat peluang itu sebagai kesempatan emas.

“Jika dia pergi keluar istana… dia akan lebih mudah dijatuhkan. Apalagi dengan wabah seperti itu.”

Senyuman tipisnya mengembang. Panggung permainan baru telah dibuka.

Perjalanan ke desa Qingshui memakan waktu dua hari. Begitu sampai, mereka langsung disambut pemandangan yang muram rumah-rumah tertutup rapat, suara batuk dari dalam ruangan, dan anak-anak yang tertidur lemas di pangkuan ibunya. Desa itu seperti kehilangan denyut kehidupan.

Zhao yang awalnya hanya berniat menemani, tanpa sadar ikut terlibat dalam penyelidikan. Salah satu pasien yang sempat ia periksa memiliki bercak biru di kulit dan aroma aneh yang melekat di pakaiannya. Bau itu… ia mengenalnya.

Zhao mengikuti jejak bau tersebut hingga ke pinggir ladang, dan di sanalah ia menemukannya serbuk bunga putih yang berserakan di tanah. Aromanya manis, wangi, tetapi menusuk kepala. Ia mengerutkan dahi.

“Bunga ini…” pikir Zhao. Saat masih sekolah, ia pernah belajar tentang jenis-jenis bunga dengan efek medis dan toksik. Sayangnya, ia jarang mengikuti praktiknya. Saat teman-temannya sibuk meracik, Zhao kabur ke ruang musik atau perpustakaan, lebih tertarik pada novel daripada ramuan.

Ia menggenggam bubuk itu dan mendekati Pangeran Wang serta Pangeran Yu.

"Pangeran aku menemukan bunga ini dan sepertinya ini penyebab wabah itu, pasti ada yang sengaja menaburkannya, dan bunga ini juga bisa menetral kan nya tapi aku tidak tahu cara mengolahnya karena saat praktik aku tidak pernah ikut" ucap zhao menggaruk belakang kepalanya

Namun sebelum ia sempat menjelaskan semuanya, Pangeran Wang mulai menegur.

"Kau ini kenapa belajar setengah-setengah?" tegurnya dengan nada tajam. "Coba kau pelajari semuanya, ini akan langsung menyelesaikannya!"

Zhao menatapnya dengan sorot terluka. “Yah, kau benar. Aku tidak berguna kan? Harusnya kau pilih Hwa Jin yang super sempurna itu agar bisa lebih berguna!”

Pangeran Wang mengepal tangannya. “Apa kau bilang? Kau berani membentak suamimu di situasi genting seperti ini? Sudah kubilang dari awal, jangan ikut!”

Zhao mendengus. “Astaga… begini kah caramu menyelesaikan masalah? Aku pikir kau itu setenang itu, ternyata cuma bungkus. Baiklah, aku tidak akan mengganggumu. Aku akan berdiri di belakang adikmu saja. Puas?”

Zhao berbalik dan berjalan pergi, matanya merah, tapi ia menahan air mata.

Pangeran Wang memejamkan mata. Penyesalan langsung menyergapnya.

"Sudahlah," ucap Pangeran Yu, menggeleng. “Kenapa kalian jadi ribut begini? Kakak, aku tidak pernah melihatmu membentak Zhao sebelumnya.”

"Aku juga tak tahu… emosiku seperti naik turun sejak sampai di sini,” Pangeran Wang bergumam, lebih pada dirinya sendiri.

Pangeran Yu tak menunggu lama. Ia menyusul Zhao yang duduk sendiri di dekat sumur.

"Pangeran Yu, aku memang tidak bisa membuat ramuannya," kata Zhao lirih. “Tapi Hwa Jin pasti bisa. Tolong bawa bunga ini ke dia dan ceritakan apa yang kami temukan. Suruh dia membuat ramuan apa saja sebanyak mungkin dengan bahan ini. Jangan libatkan tabib istana… terlalu banyak mata-mata.”

Pangeran Yu ragu. “Lalu bagaimana dengan kalian di sini? Kalau aku pergi...”

"Aku bisa menjaga diri. Ada Meilan juga," jawab Zhao tanpa menyebut Pangeran Wang sedikit pun.

Pangeran Yu mengangguk. “Baiklah. Aku akan kembali secepatnya.”

"Terima kasih… Lain kali aku akan belajar semuanya,” ujar Zhao pelan.

Pangeran Yu tersenyum kecil. “Tak perlu memaksakan diri. Emosi Kakak Wang mungkin sedang tak stabil… dan akan segera membaik.”

Zhao menghela napas, lalu menggerutu, “Dia seperti wanita yang sedang datang bulan. Emosinya naik turun, tak seperti biasanya.”

Pangeran Yu tertawa pelan dan menepuk bahu Zhao.

Dari kejauhan, Pangeran Wang memperhatikan mereka. Wajahnya muram. Entah kenapa, pemandangan itu membuat dadanya sesak.

“Kenapa itu terlihat menyebalkan…” gumamnya sendiri.

Tak lama kemudian, Pangeran Yu menghampirinya. “Kakak, aku harus kembali ke istana.”

Pangeran Wang terkejut. “Tapi kenapa?”

“Zhao menemukan cara menetralkan wabah, tapi dia tak bisa membuat ramuannya. Dia juga tak mau melibatkan tabib istana. Terlalu berisiko. Jadi dia menyuruhku ke istana… dan menyerahkannya pada Hwa Jin.”

Pangeran Wang diam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Jika itu bisa membantu.”

Pangeran Yu menatap kakaknya lurus. “Jaga Zhao. Jangan marahi dia lagi. Kau sedang tidak stabil.”

Pangeran Wang menoleh, suaranya lebih pelan, hampir seperti janji. “Tentu. Aku akan menjaganya. Dia istriku… walaupun dia sedang marah sekarang.”

Pangeran Yu tersenyum dan pamit pergi.

Sejak pertengkaran itu, Zhao memilih menjaga jarak. Ia lebih banyak berbicara dengan Meilan atau Pangeran Yu (sebelum kembali ke istana), dan setiap kali Pangeran Wang mendekat, Zhao akan berlalu dengan alasan sibuk atau lelah. Pangeran Wang tidak pernah memaksa, tapi dari tatapan matanya jelas ia menyesal.

Namun sayangnya, suasana hati tak selalu cukup untuk melindungi dari bahaya yang nyata.

Malam itu, saat Zhao sedang berjalan sendirian menuju rumah warga untuk memeriksa kondisi tanaman sekitar, beberapa bayangan bergerak cepat dari atap dan pepohonan. Meilan yang menyadari bahaya segera menarik Zhao ke belakangnya.

“Zhao, mundur!” serunya cepat, menghunus belati dari pinggangnya.

Tiga orang bertopeng menyerang tanpa peringatan. Gerakan mereka terlatih, senjata kecil di tangan mereka meluncur nyaris tak terdengar. Meilan menahan satu, menangkis dua, tapi satu pisau kecil berhasil lepas dari pertarungan dan melesat ke arah Zhao yang tak sempat menghindar.

Schkkk!

Tubuh seseorang tiba-tiba berdiri di depannya.

Pangeran Wang.

Pisau itu menancap di dada kirinya.

“Pangeran Wang!!” teriak Zhao panik, menangkap tubuh suaminya yang mulai ambruk.

Meilan marah bukan main. Dalam kemarahan yang jarang terlihat, ia menghajar para penyerang tanpa ampun. Tendangan dan hantamannya membuat dua dari mereka tersungkur pingsan, sementara yang ketiga lari terbirit-birit dengan luka cukup parah.

Beberapa saat kemudian, Zhao dengan tangan gemetar membalut luka Pangeran Wang. Darah masih merembes, tapi ia berhasil menghentikannya. Dengan penuh kekesalan dan rasa takut yang ia pendam, Zhao mulai bergumam.

“Tadi kau membentakku, sekarang malah menyelamatkanku… kenapa, hah?” gumamnya sambil mengencangkan balutan. “Kenapa akhir-akhir ini emosimu nggak stabil? Apa kau lagi datang bulan, hah?”

Pangeran Wang mengerang pelan… lalu membuka matanya perlahan.

Zhao terdiam sesaat, lalu senyumnya mengembang cepat. Air mata yang semula hanya menggantung, kini jatuh dengan sendirinya. Ia menangis sambil tersenyum.

Pangeran Wang mengangkat tangannya yang lemah dan mengusap pipi Zhao lembut.

“Maafkan aku… sudah membentakmu,” katanya pelan.

Zhao menggeleng dengan marah, tapi juga tak bisa menahan tangisnya. “Kenapa kau bodoh sekali? Kau bisa menahan pisau itu dengan pedangmu, kenapa harus pakai tubuhmu, hah? Kau pikir itu romantis?! Itu menyebalkan!!” jeritnya seperti anak kecil.

Pangeran Wang tersenyum lemah. “Eh… jangan menangis. Aku baik-baik saja. Lihat aku masih hidup.”

Ia menarik Zhao pelan dan menyandarkan kepala istrinya ke dadanya yang masih lemah. Detak jantungnya terdengar pelan tapi stabil.

“Maafkan aku… aku juga tidak tahu kenapa akhir-akhir ini emosiku naik turun seperti ini,” gumamnya.

Zhao mengangkat kepala dan memandangi wajah suaminya.

“Jangan-jangan kau memang sedang datang bulan…” bisiknya pelan, serius tapi konyol.

Pangeran Wang nyaris tertawa. “Apa kau ini… mana bisa aku datang bulan?”

“Mungkin kau hanya kelelahan,” kata Zhao sambil tersenyum tipis.

Pangeran Wang mengangguk pelan. Ia menghela napas dan menggenggam tangan Zhao.

“Ayo kita selesaikan ini… lalu kita pulang ke istana.”

Zhao mengangguk. “Iya… kita pulang.”

Dua hari setelah insiden penyerangan, kondisi Pangeran Wang mulai stabil, meski masih harus banyak berbaring. Zhao tetap di sisinya, tapi sikapnya lebih tenang dan kalem dari biasanya tak ada lelucon, tak ada omelan, hanya perhatian yang sunyi.

Pangeran Wang mulai resah. Ia terbiasa dengan Zhao yang blak-blakan, cerewet, dan berapi-api. Tapi kini, gadis itu hanya bicara seperlunya, dan sisanya... diam.

Hingga suatu pagi, saat Zhao tengah mengganti perban di dadanya, ia berkata pelan, “Kau boleh marah lagi kalau ingin. Tapi jangan diam seperti ini.”

Zhao menunduk. “Aku tidak marah…”

“Lalu kenapa seperti menjauh?”

Zhao menggenggam ujung kain perban erat. “Karena aku takut. Aku… takut melihatmu berdarah seperti itu lagi.”

Hening.

Lalu, suara langkah kuda terdengar dari kejauhan. Pangeran Wang segera bangkit dengan susah payah, tapi Zhao menahannya.

“Tenang. Itu suara yang kukenal.”

Benar saja dari kejauhan, tampak Pangeran Yu turun dari kudanya, membawa kantong besar di tangan dan ekspresi lega di wajahnya.

“Aku kembali,” katanya sambil tersenyum. “Dan Hwa Jin berhasil membuat beberapa ramuan penetralnya. Cukup untuk seluruh desa kau bisa mencobanya satu persatu mana yang kira kira efektif.”

Zhao berdiri dan langsung menghampiri. “Terima kasih. Kau benar-benar cepat.”

Pangeran Yu menatapnya serius. “Kupikir aku harus cepat.”

"Kau memang bisa di andalkan" ucap zhao sambil tersenyum

Pangeran yu melihat pangeran wang yang terluka

"Kakak kau kenapa? Apa yang terjadi?"

"Ah ini hanya luka kecil" jawab pangeran wang

"Dia terluka karena menyelamatkanku" sambung zhao

“Bagaimana keadaan istana?” tanya Wang kemudian.

“Masih tenang di luar… tapi banyak mata yang mulai mencurigai gerak-gerik kita.”

Wajah Pangeran Wang mengeras.

Zhao menatapnya lekat. “Kalau begitu kita harus cepat menyelesaikan ini. Ramuan sudah di tangan… sekarang waktunya menyelamatkan desa ini, lalu kembali.”

Pangeran Wang mengangguk.

Butuh dua hari penuh untuk membagikan ramuan penetral wabah di seluruh desa Qingshui. Zhao, meski bukan tabib, tetap turun langsung membantu. Ia mengatur antrean, memberi instruksi, dan memeriksa ulang gejala tiap pasien dengan hati-hati.

Para warga mengantri dengan tertib, mata mereka penuh harap. Di sisi lain, para pengawal Pangeran Wang yang biasanya hanya bertugas sebagai penjaga kini berubah menjadi relawan dadakan, membagikan ramuan itu dari pagi hingga sore.

Pangeran Wang sendiri, meski belum sepenuhnya pulih, tak tinggal diam. Dengan tubuh masih lemah, ia memaksa berdiri di tengah warga, memberi semangat dan memastikan ketertiban tetap terjaga.

Zhao sempat menegur. “Kau belum sembuh benar… istirahatlah.”

Wang hanya menatapnya sebentar dan menjawab singkat, “Pemimpin tak boleh duduk saat rakyatnya masih berdiri.”

Zhao menghela napas antara kagum dan gemas.

Dua hari kemudian, gejala-gejala mulai mereda. Anak-anak yang semula pucat mulai berlari-lari kecil. Suara batuk yang dulu menggema kini hampir tak terdengar. Para warga membungkuk hormat berkali-kali, menyampaikan rasa terima kasih dengan air mata yang tulus.

Misi mereka selesai. Mereka pun bersiap kembali ke istana.

---

Sementara itu, di sisi kelam istana…

Nona Lee berdiri di balkon paviliunnya, memandangi langit senja dengan wajah gelap. Seorang pelayan berlutut di belakangnya, menyampaikan laporan dengan suara gemetar.

“Ramuan berhasil menetralkan wabah… seluruh warga selamat. Tidak ada korban jiwa, Nona.”

Gelas teh di tangan Nona Lee retak pelan. Ia menoleh, ekspresi lembutnya lenyap tergantikan dingin yang menusuk.

“Lagi-lagi… Zhao,” gumamnya.

Dari sisi lain balkon, langkah kaki terdengar. Seorang pria mengenakan jubah halus berwarna biru tua mendekat. Senyumnya tenang… terlalu tenang.

“Jangan murung begitu, istriku,” ujar Pangeran Chun sambil menyesap tehnya. “Kita tidak butuh kemenangan kecil. Biarkan mereka sibuk menolong rakyat, bertarung dengan waktu dan wabah. Sementara itu…”

Ia menoleh ke arah Nona Lee, senyum miringnya menyeramkan.

“…kita naik perlahan. Langkah demi langkah menuju puncak.”

Nona Lee membalas senyuman itu. “Jadi… kita lanjutkan permainan ini?”

“Ya. Dan seperti semua permainan, yang paling jahat... selalu menang di akhir.”

Keduanya tertawa kecil, lalu melangkah ke dalam, meninggalkan langit senja yang kini tampak semakin kelam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!