cerita ini adalah kumpulan kisah nyata yang di ambil dari pengalaman horor yang dia alami langsung oleh para narasumber
-"Based On truth stories"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon butet shakirah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 2 (Mendadak Kesambet Setan)
Setelah beberapa saat, suara tawa Jihan pelan-pelan mereda. Ia tersentak-sentak, tubuhnya lemas. Lalu, keheningan menyelimuti ruangan. Jihan membuka matanya, tatapannya kosong, namun ia sudah kembali sadar. Erni menghela napas panjang, rasa lega dan syukur memenuhi hatinya. Ia berjalan mendekat ke Jihan, menawarkan segelas air teh hangat, tangannya masih gemetar. Namun, bayangan Jihan yang kerasukan masih terbayang jelas di benaknya, membuatnya merasa ngeri.
“Jihan… kamu sudah baikan? Apa ada sakit lagi?”tanya Erni dengan pelan dan raut wajah yang cemas sambil menyodorkan air teh hangat.
“Aku… Masih agak pusing… ini lagi di mana?”lirih Jihan pelan dengan raut wajah yang masih pucat dan kelihatan lemas
“Tadi kamu muntah…lalu Kamu pingsan tadi. Terus tertawa cekikikan…. Kerasukan katanya…”ujar Wirda gugup dengan wajah yang cemas dan menghela nafas berat.
Setelah Jihan sudah cukup tenang, Wirda dan Erni langsung menanyakan apa yang dialaminya. Karna mereka berdua bingung dan khawatir akan hal yang terjadi pada Jihan.
“Kamu bisa cerita nggak? Apa yang kamu alami?”tanya Wirda lembut dan pelan sambil memegang tangan Jihan yang dingin sedari tadi.
“Waktu lewat kuburan, aku denger suara ketawa ramai banget,” jelas Jihan, masih sedikit gemetar. Jihan menghela nafas berat dan melanjutkan pernyataannya, “Aku udah bilang ke Erni, tapi dia nggak percaya. Terus, aku juga kayak ngelihat sesosok asap putih di pinggir jalan, tapi gelap banget jadi nggak jelas. Tapi suara tawa itu nggak berhenti. Lama-lama kepala aku pusing banget…”
“Iyaa...., Serius? aku nggak denger apa-apa…. selain suara motor kita.”ucap Erni sambil menundukkan kepalanya.
“Terus, gimana bisa kamu pingsan?” tanya Wirda mengernyitkan keningnya pertanda dia bingung akan penuturan Jihan yang tidak masuk logikanya.
“Aku nggak tau, Wir. Tiba-tiba kepalaku pusing banget, terus aku muntah-muntah, dan nggak ingat apa-apa lagi,” jawab Jihan. Ia masih merasa lemas dan lesu seperti orang yang kelelahan karna bekerja seharian full tanpa istirahat.
“Untung saja kita berhenti. Kalau terus jalan, entah apa yang terjadi…”sahut Erni dengan wajah cemasnya. Ia beruntung bisa berhenti tepat waktu jika tidak mereka tidak akan tahu bahaya apa yang akan terjadi kalau melanjutkan perjalanan melewati makam kuno tersebut.
Mereka semua terdiam. Wirda dan Erni saling pandang, merinding. Mereka baru menyadari betapa mengerikannya pengalaman Jihan. Mereka merenungkan betapa tipisnya batas antara dunia kasat mata dan dunia ghaib. Petugas puskesmas kembali datang menghampiri mereka.
“Kondisinya udah stabil. Tapi saran saya, jangan lewat makam itu kalau malam.”Ujar Petugas Puskesmas pelan dan tegas sambil tersenyum tipis kepada mereka bertiga.
“Iya Bu, kami juga nggak nyangka bakal kayak begini…”Balas Erni dengan raut wajah sedih dan cemas.
“Terima kasih atas bantuannya, Bu.”seru Wirda sambil membalas senyuman petugas Puskesmas.
Setelah Jihan membaik, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka mengantar Jihan pulang terlebih dahulu, khawatir terjadi sesuatu lagi. Di rumah Jihan, sudah terlihat Ibu Jihan yang berdiri di halaman rumah dengan wajah yang cemas dan mondar – mandir tak jelas. Ketika tiba di halaman rumah, mereka langsung menjelaskan kejadian tersebut kepada orang tua Jihan.
“Kok baru pulang malam begini? Kalian baik-baik saja?”tanya Ibu Jihan yang wajahnya menunjukkan cemas tak karuan sedari tadi. Perasaan seorang ibu sangat kuat untuk anaknya, dan itu terjadi pada Ibu Jihan. Ia merasa janggal akan perasaannya seperti akan ada sesuatu yang terjadi.
“Maaf Bu… tadi ada gangguan pas perjalanan pulang. Jihan sempat muntah, lalu pingsan dan… kerasukan…”jawab Erni dengan gugup dan suara gemetar sambil memapah Jihan untuk turun dari Motor.
“Astaghfirullah… kerasukan?!” teriak Ibu Jihan dengan ekspresi sangat terkejut setelah mendengar penuturan Erni.
“ Awalnya kami baik – baik saja menjelang pulang kesini. Tepat ketika kami melewati makam kuno yang dipinggir jalan, Jihan merasa ada firasat ga enak, bu. Kemudian ia tiba – tiba mendengar ketawa itu pelan dan semakin mendekati makam itu semakin kuat ketawa tersebut sehingga dia pusing yang begitu berat. Tidak hanya itu, jihan melihat sesosok asap putih di pinggir jalan. Maka hal itulah penyebab Jihan Muntah – muntah dan pingsan. Tetapi kami tidak diam dan mencari bantuan warga disekitar sana serta langsung membawanya ke puskesmas, untung cepat tertangani…tetapi...huft sesampai di sana Jihan kesurupan dan untung ada bapak yang dapat meruqyah Jihan langsung, bu. Begitulah kira – kira kejadian yang kami alami, Bu.” Jelas Wirda dengan baik kepada Ibunya Jihan. Dia hanya menceritakan apa yang dia ingat saja. Lanjutnya, “Tetapi bu, alangkah baiknya ibu tanya langsung keadaan lebih rinci kepada Jihan.” Tetapi apa yang dialami Jihan lebih jelas, dia serahkan saja pada Jihan.
“Oh, Syukur Alhamdulillah, yang penting Jihan selamat dan kalian juga selamat ,” ucap ibu Jihan dengan perasaan lega sambil menangis haru. Lanjutnya, “Terima kasih ya, Nak, kalian sudah membantu Jihan.” Sambil memegang Jihan yang sedang lemas,
“Sama-sama, Bu. Kami juga khawatir…”Ucap wirda dengan tenang dan pelan.
“Makanya kami antar langsung…”potong Erni sambil tersenyum lebar dan meletakkan tangannya di dadanya pertanda ia merasa lega.
Malam itu, Jihan dipeluk erat oleh ibunya. Ia menangis pelan di bahu ibunya, melepaskan rasa takut dan bingung yang tertahan.
Setelah memastikan Jihan aman, Wirda dan Erni pulang ke rumah masing-masing. Rumah mereka berdua berdekatan makanya mereka sempat mengobrol tipis di halaman rumah. Kejadian itu meninggalkan trauma bagi mereka bertiga. Mereka tak berani lagi pulang malam hari setelah kegiatan kampus, takut mengalami hal serupa. Pengalaman itu menjadi pelajaran berharga, sebuah kisah mistis yang akan selalu mereka ingat.
“Wir… kita jangan pulang malam-malam lagi ya kalau ada acara kampus…”ucap Erni dengan pelan yang hampir seperti berbisik kepada Wirda.
“Setuju banget. Apalagi kalau harus lewat tempat gelap.”balas Wirda pelan menyinkron suaranya Erni.
Sejak kejadian itu, ketiganya jadi lebih berhati-hati. Mereka tak berani pulang malam-malam dari kegiatan kampus. Jalanan gelap, pemakaman, dan suara tawa itu menjadi kenangan yang tak terlupakan. Keesokkan harinya di kampus mereka bertiga berkumpul dan mengobrol bahas apa yang terjadi tadi malam.
“Ji, mu sudah baikan kah? Kenapa.....” tanya Wirda untuk memastikan keadaan Jihan dengan baik.
“ngapain kau masuk kelas perkuliahan? Kalau masih sakit..”potong Erni yang tak percaya melihat keadaan Jihan yang sudah mendingan.
“Oh, Alhamdulillah sudah mendingan kok. Awalnya ragu ga bisa datang ke kampus. Tapi ke paksa ada test penambahan nilai perkuliahan. Aku ga mau ketinggalan dan test sendirian menemui dosen.” Ujar Jihan dengan wajah panik.
“oh, iya test lupa hehehehe... tapi ya sudahlah nanti kami antar kau pulang kerumah.”ucap Erni sambil tertawa kecil akibat ia lupa akan test nanti.
“Kalau ada acara malam, mending kita izin aja…”Ucap Wirda sambil berbisik kepada kedua temannya.
“Iya Aku Setuju banget. Nggak mau kejadian kayak Jihan terulang.”sahut Erni sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku juga kapok…”lirih Jihan sambil tersenyum tipis dan menepuk jidatnya.
Kejadian malam itu menjadi pengingat bagi mereka: bahwa dunia ini tak hanya dihuni oleh manusia, dan kita perlu menjaga tutur, waktu, dan tempat dengan bijak.
Kadang, suara tawa... bisa berasal dari tempat yang seharusnya sunyi.