NovelToon NovelToon
Kapten Merlin Sang Penakluk

Kapten Merlin Sang Penakluk

Status: sedang berlangsung
Genre:Action
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: aldi malin

seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

antara cinta dan dendam

Merlin duduk di depan laptop, cahaya layar menyinari wajahnya yang serius. Di hadapannya terbuka berbagai file: rekaman transaksi, video penyiksaan, serta log server situs judi online. Semua informasi itu ia dapat dari Chen—yang ternyata adalah rangga, mantan kekasihnya yang lama menghilang.

Merlin membuka koneksi terenkripsi dan menghubungi Reno.

> “Reno, kamu online?”

> “Siap, Buk Merlin. Ada temuan baru?”

Merlin menarik napas panjang.

> “Chen… atau Rangga… dia bukan dalangnya. Dia cuma programmer. Semua situs yang dia buat atas permintaan para investor misterius. Nama dia sengaja dijadikan bos besar untuk menutupi nama yang sebenarnya mengendalikan jaringan ini.”

> “Buk yakin dia bukan mainin peran ganda?”

> “Aku sudah cek semua file server-nya. Bahkan dalam obrolan internal, dia kerap ditekan. Dan ada satu pola jelas, setiap transaksi besar, selalu berakhir di akun luar negeri milik entitas yang tidak bisa dilacak.”

> “Jadi… otaknya masih misterius?”

> “Ya. Dan ini lebih besar dari sekadar jaringan judi. Aku yakin ada pejabat besar di balik ini semua. Bukan hanya di Kamboja… tapi juga di negara kita.”

Setelah sambungan komunikasi dengan Reno terputus, Merlin memejamkan mata sejenak. Rasa lelah tak hanya menempel di tubuh, tapi juga di hatinya. Ia telah menyusup, menyamar, memata-matai, dan menyusun laporan demi laporan—namun yang ia temukan hanyalah lingkaran korupsi yang tak berujung.

> “Untuk sementara ini… baru info yang aku dapat,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar, hanya untuk dirinya sendiri.

Ia berbaring di ranjang empuk hotel bintang lima itu, namun tak sedikit pun terasa nyaman. Pikirannya berkelana pada wajah-wajah WNI yang terjebak, pada Chen yang tak bisa pulang, pada para pejabat yang menjual bangsanya sendiri demi kekuasaan.

> “Kadang aku bertanya… apa artinya semua ini?”

Korupsi di negerinya bukan lagi rahasia, tapi budaya. Turun-temurun. Mengakar di segala lini. Seakan tak ada yang benar-benar ingin memberantasnya. Semua sibuk mencari selamat sendiri.

Merlin menatap langit-langit kamar.

> “Aku capek,” bisiknya pelan.

Lalu matanya perlahan terpejam, dalam keheningan yang dingin dan penuh beban.

Tiba tiba terlintas lagi dalam benaknya sesuatu yang belum usai

Di sisi lain, ada cinta. Tapi di sisi lain, ada dendam yang belum terbalaskan.

Merlin berdiri di depan cermin, memandang dirinya sendiri seolah mencari jawaban. Tubuh itu masih tegap, kuat, namun ada sesuatu yang mengendap—kerapuhan yang tak bisa dibendung. Ia mencoba meyakinkan diri: tak akan ada lagi ruang untuk cinta. Yang ada hanyalah kebekuan hati dan tekad yang membatu.

Namun tubuhnya bicara lain.

Entah kenapa, malam itu terasa berbeda. Udara dingin seperti membelai kulitnya terlalu lembut, membangkitkan sensasi yang sudah lama terkubur. Ia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba meredam gelombang itu. Tapi hasrat kewanitaannya menyeruak dari balik luka yang belum sembuh.

Jantungnya berdebar cepat. Nafasnya berat. Dan gunung kembar yang dulu tak pernah ia pikirkan kini seperti ikut bergetar—mengingatkan bahwa ia bukan hanya prajurit, bukan hanya penyelidik, tapi juga seorang perempuan yang pernah dicintai… dan masih ingin dicintai.

“Tidak,” bisiknya dengan gemetar. “Ini hanya reaksi. Bukan perasaan.”

Tapi saat ia kembali menatap nama Rangga di layar ponselnya, ia tahu itu bukan sekadar reaksi. Ada sesuatu dalam dirinya yang meronta. Bukan hanya untuk diselamatkan… tapi juga untuk disentuh, dimengerti, dan mungkin—untuk dicintai kembali.

Merlin menutup layar, menghela napas panjang, dan memeluk dirinya lebih erat.

> “Aku tak bisa lemah sekarang. Tapi aku juga tak bisa terus menyangkal diriku sendiri.”

Di luar, hujan masih jatuh perlahan. Dan di dalam kamar itu, seorang perempuan mencoba berdamai dengan dua medan perang: dunia luar yang penuh bahaya, dan dunia dalam yang penuh gejolak.

Ponselnya bergetar pelan di atas meja, memecah keheningan kamar. Merlin—atau Aina, nama aslinya yang hanya sedikit orang tahu—meraih ponselnya dengan alis mengernyit.

Satu pesan masuk.

Dari: Chen

> “Aina… aku mau bicara sesuatu. Bisa kita bertemu sekarang?”

Nama itu. Panggilan yang sudah lama tak ia dengar. Ada jeda yang menggantung di antara huruf-huruf itu. Sesuatu yang membuat dadanya mengencang tanpa alasan yang pasti.

Ia mengetik cepat:

> “Ada apa? Aku di hotel. Kalau penting, ke sini saja.”

Lalu ia kirimkan sharlok.

Tangannya sempat gemetar, tapi ia paksa dirinya untuk tetap tenang. Dalam kepala, berbagai kemungkinan berputar: apakah ini jebakan? Atau… sebuah pengakuan yang tak sempat diucapkan waktu itu?

Ponsel diletakkan kembali. Tapi malam itu tak lagi sama. Dan Aina tahu, ketika Chen datang, bukan hanya kata-kata yang akan terbuka—tapi mungkin juga luka, cinta… atau pengkhianatan yang lain.

Tok… tok… tok…

Suara ketukan pelan namun pasti terdengar dari arah pintu. Aina—yang lebih dikenal dunia sebagai Kapten Merlin—menahan napas sejenak. Ia tahu itu bukan housekeeping, bukan Reno, bukan siapa pun… selain Chen.

Perasaan itu kembali muncul. Antara ingin membuka pintu… atau menutup seluruh bab dalam hidupnya yang melibatkan pria itu.

“Masuklah,” ucapnya pelan namun tegas. “Tidak dikunci.”

Beberapa detik hening. Lalu gagang pintu berputar perlahan, seperti waktu yang mundur dengan hati-hati.

Chen muncul di ambang pintu. Ia tampak sedikit lelah, tapi tetap membawa aura yang tak berubah sejak dulu: tenang, tajam, dan sulit ditebak.

Aina berdiri di tengah ruangan, tubuhnya tegak tapi mata tak sanggup menyembunyikan getaran. Dalam hati ia bertanya—apakah ini kabar baik atau kabar buruk?

Chen masuk tanpa berkata sepatah kata pun. Hanya suara pintu yang tertutup pelan di belakangnya.

Mereka berdiri saling menatap. Udara di antara mereka terasa lebih berat dari biasanya. Ada jarak yang tak terlihat, tapi terasa seperti tembok tebal yang hanya bisa dirobohkan dengan keberanian… atau kejujuran.

“Aku tak tahu harus mulai dari mana,” ucap Chen akhirnya. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. “Tapi aku tahu aku harus bicara malam ini. Sebelum semuanya terlambat.”

Aina tetap diam. Ia membiarkan Chen bicara, tapi dalam dirinya, ribuan hal berteriak. Apakah ini pengakuan? Pengkhianatan? Atau… sesuatu yang lebih rumit dari keduanya?

Aina menatap Chen tanpa berkedip. Sekuat apa pun ia mencoba bersikap dingin, hatinya tetap mengenali lelaki itu—bukan sebagai Chen sang pembuat situs, tapi Rangga, pria yang pernah membuatnya percaya bahwa cinta bisa menyembuhkan luka terdalam.

“Rangga…” suara Aina melunak, nyaris seperti bisikan, “aku tahu kau bukan sepenuhnya monster. Kau masih manusia. Kalau tidak, kau tak akan berdiri di sini malam ini.”

Chen memalingkan wajah, seakan tak tahan menghadapi sorot mata itu. “Aku sudah melakukan terlalu banyak dosa, Aina. Bahkan kalau aku membantu sekarang pun, itu tak akan menghapus apa yang sudah terjadi.”

“Tapi itu bisa menyelamatkan yang belum terjadi,” potong Aina. “Kalau kau tetap diam, akan lebih banyak korban. Lebih banyak nyawa yang hancur karena sistem yang kau bangun. Tapi kalau kau bicara… kalau kau bantu kami… kau bisa memutus rantai itu.”

Chen terdiam. Di wajahnya, terlihat pergolakan. Antara rasa takut, penyesalan, dan sisa-sisa harapan yang mencoba bertahan hidup.

“Kau masih punya pilihan,” bisik Aina lagi. “Dan aku tahu… jauh di dalam dirimu, kau ingin memilih yang benar.”

Chen menutup matanya sejenak, lalu menghela napas berat. Suara itu… suara Aina… seperti membangunkan bagian dirinya yang sudah lama dikubur: rasa tanggung jawab. Nurani.

“Aku takut, Aina,” katanya pelan. “Tapi aku juga lelah. Lelah hidup seperti ini.”

Aina melangkah mendekat, menyentuh lengannya dengan lembut. Sentuhan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat Chen gemetar.

“Kalau kau masih percaya padaku… percayalah juga bahwa kau bisa menebusnya. Bersama-sama.”

Untuk pertama kalinya malam itu, mata Chen menatap langsung ke mata Aina. Tak ada lagi topeng. Hanya dua manusia yang pernah saling mencintai… dan kini berdiri di ambang antara kehancuran dan pengampunan.

Chen masih diam. Tatapannya menerawang, seperti tengah berperang dengan pikirannya sendiri. Aina bisa merasakannya—ada sesuatu yang belum dikatakan. Sesuatu yang besar.

Ia mendekat perlahan. Suara napasnya menyatu dengan udara dingin kamar yang kian sunyi.

"Apakah kau meragukanku, Rangga?" bisiknya, dengan nada yang setengah desahan, setengah luka.

Chen mengerjapkan mata. Sorotnya berubah, dari kebingungan menjadi lembut—nyaris seperti Rangga yang dulu. Yang ia kenal sebelum semua ini dimulai. Tapi tetap saja... ia belum bicara.

Aina menatap dalam, mencoba menembus dinding yang masih ia pasang. "Aku tahu kau masih menyimpan sesuatu," katanya tegas, walau nadanya penuh kasih. "Tapi aku juga tahu… kau ingin membaginya denganku. Kau hanya belum siap."

Chen menunduk. Rahangnya mengencang, tapi ia tak berkata apa-apa. Tangannya yang semula diam, perlahan bergerak menyentuh punggung tangan Aina—genggaman yang samar, tapi cukup untuk membuat jantung Aina berdetak lebih cepat.

"Aku akan menunggu, Rangga," ucap Aina pelan. "Tapi jangan terlalu lama. Dunia di luar tidak memberi kita banyak waktu."

Chen hanya mengangguk kecil. Masih belum ada kata, tapi matanya—mata itu berkata bahwa sesuatu dalam dirinya mulai runtuh. Dan Aina tahu: malam ini bukan akhir, melainkan awal dari sebuah pengakuan besar… yang hanya tinggal menunggu momen yang tepat.

Malam telah benar-benar tenggelam. Hanya cahaya kota dari jendela hotel yang memantulkan siluet tubuh Aina yang kini berdiri dalam diam—tanpa sehelai pun pakaian menutupi tubuhnya, kecuali seutas tali tipis yang nyaris tak menyembunyikan apa-apa.

Tubuhnya tidak gemetar, matanya tidak menghindar. Ia berdiri tegak, bukan sebagai simbol kelemahan, tapi sebagai bentuk kepercayaan… dan tantangan.

Ia mendekat, perlahan, seperti bayangan yang tenang namun mematikan.

"Apakah kau masih ragu padaku, Rangga?" bisiknya pelan, tepat di telinga pria itu.

Hembusan napasnya menyentuh kulit, membuat Chen—yang dulu adalah Rangga—menegang. Tapi bukan karena nafsu semata. Ada ketakutan. Ada gejolak. Ada kenangan.

Chen menutup matanya. Tangan Aina menyentuh dadanya, lembut tapi penuh tuntutan. Bukan sekadar hasrat, tapi permintaan atas kebenaran. Sebuah desakan dari jiwa yang terluka… yang ingin diyakinkan bahwa cinta masih bisa dipercaya.

“Jangan sembunyikan apa pun dariku,” bisik Aina lagi, kali ini suaranya lebih dalam. “Kalau aku memberanikan diriku sejauh ini, kau juga harus berani bicara.”

Chen membuka mata. Ada air di sana. Tapi bibirnya masih terkunci oleh rasa bersalah… dan ketakutan akan akibat dari kejujuran.

Namun malam itu, ia tahu satu hal: Aina sudah menyerahkan bukan hanya tubuhnya, tapi jiwanya. Dan jika ia tak membalasnya dengan kebenaran, maka ia akan kehilangan satu-satunya cahaya yang tersisa dalam hidupnya.

Aina memeluk Rangga erat, seperti tak ingin ada jarak lagi di antara mereka. Dalam dekapan itu, ia berbisik pelan di telinga pria yang dulu pernah mengisi hatinya:

"Jangan takut, Rangga… aku akan selalu ada untukmu. Jika kau jujur tentang semua ini… mungkin hatiku yang telah membeku akan menemukan jalannya kembali."

Tangannya menyentuh pipi Rangga, lalu turun perlahan, menelusuri luka-luka lama yang tak terlihat oleh mata. Sentuhannya bukan hanya menggoda, tapi juga mengundang—meminta sebuah pengakuan yang belum pernah lahir.

Rangga tak mampu lagi bertahan. Dalam pelukan Aina, ia lumpuh. Bukan karena lemah, tapi karena akhirnya merasa aman. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia membiarkan seseorang masuk ke dalam dirinya—bukan hanya tubuhnya, tapi pikirannya, luka-lukanya, seluruh sisi kelam yang ia sembunyikan.

"Aku juga… tidak pernah meragukanmu, Aina," bisiknya, sebelum bibir mereka saling bertemu.

Kecupan itu lembut, tapi sarat dengan kerinduan yang tertahan bertahun-tahun. Dari satu ciuman menjadi dua, dari bisikan menjadi desahan. Kasur empuk di kamar hotel itu tak lagi hanya menjadi tempat tidur, melainkan saksi pertemuan dua jiwa yang sempat patah namun kini menyatu kembali.

Malam pun beranjak dalam irama yang tak tergesa. Goyangan halus kasur mengikuti irama napas dan getaran tubuh dua sejoli yang telah lama kehilangan pegangan. Tak ada lagi luka yang dirasa malam itu—hanya gairah yang tumbuh dari cinta, rindu, dan rasa bersalah yang termaafkan.

Tiga jam lebih waktu berjalan. Bunyi kokok ayam dari kejauhan seperti isyarat pagi yang memanggil. Tapi mereka belum ingin lepas. Aina, dalam pelukan Rangga, merasa sesuatu yang selama ini hilang—akhirnya kembali: kenikmatan malam yang bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati.

Cahaya pagi mulai menembus tirai jendela, menyapu lembut kamar hotel yang masih menyisakan aroma malam penuh gairah dan rindu yang lama terpendam.

Chen perlahan membuka mata. Nafasnya masih berat, pikirannya masih melayang pada malam yang terasa seperti mimpi. Tapi tubuh Aina—hangat, nyata, dan masih berada dalam pelukannya—mengingatkannya bahwa semua itu benar-benar terjadi.

Ia menoleh. Aina masih tertidur di dadanya, tenang, seolah dunia luar tak pernah ada. Rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajah, dan dadanya yang masih menggelantung lembut di dada Chen, bergerak pelan mengikuti irama napas. Gunung kembar itu, simbol keperempuanan dan kerinduan yang selama ini terkunci, kini tampak seperti masih meminta siraman kasih yang belum sepenuhnya tuntas.

Chen menatap langit-langit kamar, mencoba meredakan adrenalin yang masih tersisa dalam tubuhnya. Tapi sulit… desahan malam itu seakan masih terngiang, menolak padam begitu saja.

Tangannya perlahan membelai punggung Aina, mencoba menenangkan diri sendiri melalui kehadiran wanita yang dulu pernah ia tinggalkan—dan kini, entah bagaimana, kembali mengisi ruang yang paling rapuh dalam hidupnya.

Tapi di balik kehangatan pagi itu, ada kenyataan yang tak bisa ia abaikan.

"Aku belum mengatakan semuanya…" gumam Chen lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Aina menggerakkan tubuhnya sedikit, matanya mulai terbuka, masih setengah sadar. Bibirnya melengkungkan senyum tipis yang membuat dada Chen terasa sesak.

Dan saat mata mereka bertemu lagi, Chen tahu: waktunya tak bisa ditunda lebih lama.

Mereka sudah menyatu dalam tubuh. Kini… saatnya menyatukan kebenaran.

Ketika matahari sudah naik lebih tinggi, kehangatan kamar itu kembali dipenuhi oleh desahan dan gelora yang tak sempat padam semalam. Chen dan Aina, bagai dua jiwa yang terikat oleh masa lalu dan kesalahan, kembali menyatu. Tak ada kata-kata, hanya pelukan dan gerakan yang saling menjawab rindu.

Keringat, napas, dan detak jantung mereka berpadu dalam satu irama. Bukan sekadar hasrat, tapi seolah menjadi bentuk terakhir dari rasa yang tak sempat diucapkan dengan sempurna. Hingga akhirnya, Aina tertidur dalam kelelahan, dengan senyum tipis masih tergantung di sudut bibirnya.

Chen menatap wajah Aina lama. Terlalu lama.

Ia tahu… inilah malam terakhirnya. Atau mungkin awal dari akhir yang selama ini ia hindari.

Dengan tangan gemetar, Chen mengeluarkan sebuah flashdisk kecil dari saku dalam jaketnya—satu-satunya bukti dari semua kejahatan besar yang ia saksikan: daftar nama, transaksi, hingga rencana ekspansi jaringan judi online dan perdagangan manusia yang telah merenggut banyak nyawa.

Perlahan, ia menyelipkan flashdisk itu ke dalam genggaman tangan Aina, lalu mengecup dahinya dengan lembut.

"Maafkan aku, Aina… dan terima kasih karena semalam kau membuatku merasa… hidup," bisiknya pelan.

Tanpa suara langkah, tanpa jejak yang tertinggal, Chen mengambil jaketnya dan berjalan ke arah pintu. Ia tidak menoleh ke belakang. Tidak kali ini.

Di luar, langit mulai mendung. Seperti menggambarkan kabut yang menyelimuti takdir Chen.

Ia tak tahu apakah ia akan selamat. Tapi satu hal pasti—kebenaran kini sudah berada di tangan yang tepat.

Dan bagi Chen, itu sudah cukup.

1
aldi malin
terima kasih semoga ikutin episode berikutnya
Lalula09
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
うacacia╰︶
Aku sangat penasaran! Kapan Thor akan update lagi?
aldi malin: oke ...dintunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!