Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#27
Happy Reading...
.
.
.
Arkana bersandar pada sofa empuk berwarna cokelat muda yang berada di ruang keluarga, sementara kedua matanya terpaku pada layar ponsel yang sejak tadi ia putar berulang kali. Video dari Sonya. Vidio yang memperlihatkan Rania sedang menahan kesal dengan ocehan- ocehannya hanya karena merindukan dirinya. Satu hal yang baru Rania tunjukkan selam ia tinggal bersama Arkana. Vidio itu seakan menjadi magnet yang sulit ia lepaskan. Senyuman itu.. membuat sudut bibir Arkana terangkat tanpa ia sadari.
Sudah lama sekali ia tidak tersenyum seperti itu. Terlalu lama, sampai Emma, sang nenek nyaris lupa seperti apa wajah cucunya ketika benar-benar terlihat bahagia.
Emma yang sedari tadi memperhatikan dari jauh hanya bisa menahan senyumannya. Hatinya menghangat. Ia memandangi Arkana dengan tatapan yang berubah- ubah antara lega dan terharu. Dalam hati kecilnya, ia merasa sangat bersyukur. Sejak kepergian kedua orang tua Arkana beberapa tahun silam, senyum cucunya itu ikut terkubur bersama duka yang tidak pernah benar-benar bisa hilang.
Kini, tanpa ia pahami sepenuhnya. Apa ada sesuatu.. Atau ada seseorang yang sudah menghidupkan kembali cahaya di mata lelaki itu.
Setelah ragu beberapa detik, Emma akhirnya memutuskan untuk berjalan menghampiri cucunya.
Suara langkahnya terdengar pelan namun cukup bagi Arkana untuk menyadari ada yang mendekat. Dengan cepat lelaki itu mematikan layar ponselnya. Terlebih ketika ia menyadari ada sosok lain yang ikut berdiri di belakang neneknya. Elora, adik kandung mendiang ayahnya.
Elora menatap Arkana dengan sedikit curiga, seakan mencoba membaca rahasia apa yang disembunyikan keponakannya itu.
Emma sempat merasa kecewa melihat bagaimana senyum cucunya menghilang. Namun ia cukup memahami kenapa Arkana bertingkah demikian. Lelaki itu tidak pernah suka memperlihatkan hatinya di hadapan banyak orang, bahkan kepada keluarganya sendiri.
Emma duduk perlahan di sisi kanan Arkana. Tangannya yang sudah dipenuhi kerutan meraih tangan sang cucu dan menggenggamnya dengan lembut.
“Kana..” panggil Emma pelan. “Kenapa kamu tiba-tiba memutuskan untuk kembali ke Jakarta? Apa terjadi sesuatu di sana?”
Arkana menghindari tatapan khawatir sang nenek.
“Tidak ada hal serius, Nek..” jawab Arkana pelan. “Hanya ada sedikit masalah yang harus aku selesaikan sendiri. Itu sebabnya aku perlu kembali.”
Emma menggeleng perlahan, mencengkeram tangan Arkana sedikit lebih erat.
“Tapi nenek masih ingin kamu di sini, Kana... Nenek masih merindukan kamu.. ” Suara Emma melembut, sedikit bergetar. “Nenek merasa ingin kamu disini dulu...”
Arkana mengangkat wajahnya dan memaksakan senyum kecil.
“Aku tahu, Nek. Aku juga senang berada di sini. Tapi aku tidak bisa tinggal lebih lama. Ada hal yang harus aku pastikan sendiri. Setelah itu selesai, aku janji.. aku akan kembali lagi ke sini. Lebih sering, bahkan.”
Elora yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara.
“Ada masalah apa memangnya? Perusahaanmu baik-baik saja, kan?” Tanyanya dengan nada sinis.
Arkana menoleh sekilas, nada suaranya tetap tenang.
“Perusahaan baik-baik saja.. ” Jawab Arkana. "Tante jangan khawatir."
"Lalu..."
“Hanya masalah pribadi.” jawabnya akhirnya.
Emma mengusap punggung tangan Arkana lembut.
“Nenek tidak ingin memaksamu bercerita. Tapi kalau kamu membutuhkan tempat pulang.. kamu selalu punya rumah di sini. Ingat itu..”
Arkana mengangguk pelan. “Terima kasih, Nek. Itu lebih dari cukup untuk Kana.”
“Kalau begitu, kapan kamu berangkat?” tanya Emma lagi.
“Besok pagi.” jawab Arkana. Yang membuat ekspresi Emma meredup.
“Begitu cepat?”
“Maaf, Nek.” Arkana kembali menunduk. “Aku harus...”
Emma menarik napas panjang, lalu tersenyum meski sedikit dipaksakan. “Baiklah. Tapi ingat janji kamu. Kembali lagi ketika semuanya sudah selesai.”
Arkana membalas genggaman neneknya. “Aku janji.”
Emma menatap Arkana. Ia merasa... Ada seseorang di luar sana yang berhasil membuka hati Arkana. Ia hanya berharap, siapa pun itu.. mampu menjaga cahaya kecil itu agar tidak padam lagi.
.
.
.
Keesokan harinya, Rania harus menghadiri jadwal meeting di Arkana Corp cabang Bandung. Perjalanan yang memakan waktu hampir empat jam itu membuat tubuhnya sedikit lelah, namun bukan itu yang menjadi penyebab langkahnya terasa berat saat berdiri di depan pintu kaca gedung megah tersebut.
Jantungnya berdegup kencang, bukan karena rindu. Tapi karena seseorang yang masih meninggalkan bekas luka mendalam di dalam hidupnya. Jordi. Mantan kekasihnya. Lelaki yang dulu ia cintai, namun juga lelaki yang menghancurkan kepercayaannya tanpa ampun.
“Bu.. Ibu baik-baik saja?” tegur Sonya tiba-tiba sambil memiringkan kepala, memandang atasannya itu dengan raut cemas.
Pertanyaan itu membuat Rania tersentak kembali ke realita. Ia menggeleng perlahan lalu memaksakan senyum tipis. “Aku baik-baik saja.. Kita selesaikan meeting ini cepat. Aku ingin segera kembali ke Jakarta.”
Sonya mengangguk meski raut khawatir belum sepenuhnya hilang dari wajahnya.
“Baik, Bu.”
Begitu Rania mulai melangkah masuk, udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyapa kulitnya. Baru beberapa detik ia menapaki lantai marmer lobby, langkahnya terhenti mendadak.
Di sana. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Jordi telah menunggu dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Ia tampak tersenyum, senyum yang dulu sangat Rania suka namun sekarang hanya membuatnya ingin pergi sejauh mungkin.
Tubuh Rania seketika menegang. Tatapan mereka bertemu. Hanya sepersekian detik, namun cukup untuk membuat perutnya terasa mual.
Sonya yang menyadari perubahan raut wajah Rania segera menyentuh lengannya.
“Bu, mari kita langsung ke ruang meeting,” ucapnya lembut namun tegas.
Rania mengangguk cepat. Mereka berjalan tanpa memberi kesempatan bagi Jordi untuk mendekat. Lelaki itu hanya mengikuti dengan tatapan yang sulit dibaca.
Meeting dimulai beberapa menit kemudian. Sesuai permintaan Rania, Sonya meminta semua staf untuk langsung menyampaikan laporan mereka satu per satu tanpa pembukaan yang bertele-tele. Rania hanya mendengarkan, mengangguk sesekali, mencatat beberapa poin penting, lalu memberikan instruksi singkat namun padat.
Setelah hampir satu jam, meeting pun selesai. Rania segera merapikan berkasnya dan berdiri.
“Kita kembali ke Jakarta sekarang.” Ucapnya cepat.
Sonya mengangguk dan segera mengikutinya keluar ruangan. Rania berjalan dengan langkah cepat, ingin segera meninggalkan gedung itu sebelum sesuatu yang tidak ia inginkan terjadi.
Namun harapannya terhenti saat suara berat yang sangat ia kenal memanggilnya.
“Bu Rania.”
Langkah Rania kaku. Tubuhnya membeku seketika. Ia memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menoleh sedikit, hanya sekedar menampakkan wajah.
Jordi berdiri beberapa langkah di belakangnya. Tatapannya tidak lagi terlihat sombong seperti dulu. Ada sesuatu yang lain di sana. Entah penyesalan, entah kerinduan atau bahkan mungkin keduanya.
“Bisakah kita bicara sebentar?” tanya Jordi dengan suara yang sengaja ia rendahkan. “Berdua saja.”
Rania menatap lelaki itu tanpa ekspresi. Beberapa detik hening berlalu. Jantungnya berdetak cepat, namun wajahnya tetap datar. Sedangkan Sonya menatap Rania, menunggu jawaban atasannya.
.
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK...