Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.
suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.
apa yang menanti anzu didalam portal?
ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.
ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keseharian di lembah
Fajar di Lembah Velmari selalu datang perlahan, seolah enggan mengusir kabut yang bergelung di antara pepohonan biru dan danau tenang di tengah lembah.
Udara pagi dipenuhi aroma tanah basah dan bunyi lembut serangga yang baru terbangun.
Anzu berdiri di tepian tebing, menatap sinar matahari pertama yang menembus kabut tipis. Uap hangat napasnya mengepul di udara dingin. Di belakangnya, suara gaduh terdengar — tentu saja dari Alfred.
“ANZU! Kau di situ lagi!? Astaga, aku baru saja jatuh dari pohon saat mencoba memetik buah ini!”
Alfred datang dengan wajah kotor, membawa keranjang berisi buah-buahan berwarna ungu kehijauan. Beberapa di antaranya tampak penyok, mungkin karena jatuh bersamanya.
Anzu hanya menoleh sedikit, suaranya datar. “Kau tidak perlu memetik sampai segitunya. Mereka bisa memberimu kalau kau minta baik-baik.”
“Ya tapi—” Alfred mendecak. “Ras Velmari itu menatapku seperti menilai tingkat kebodohanku setiap kali aku bicara.”
Dari kejauhan, dua Velmari muda yang sedang menyiangi ladang justru melambai dan tersenyum.
Anzu mengangkat alis tipis. “Mungkin mereka memang menilai begitu.”
“Ha-ha. Lucu sekali,” gumam Alfred sambil meletakkan keranjangnya di dekat Anzu. “Kau harus belajar bercanda, tahu?”
Anzu menatapnya sejenak, lalu kembali menatap lembah yang diselimuti sinar jingga. “Aku lebih suka keheningan.”
“Ya, ya, aku tahu. Kau dan keheninganmu yang menakutkan.”
Alfred menghela napas panjang, lalu ikut duduk di batu besar di sampingnya.
Mereka berdua diam sejenak, hanya mendengarkan suara angin lembah yang menyapu dedaunan raksasa.
Sudah hampir dua minggu mereka tinggal di Lembah Velmari. Tidak ada pertempuran, tidak ada pengejaran, tidak ada darah.
Hanya hari-hari sederhana yang diisi oleh udara bersih, tawa para penduduk, dan rutinitas yang nyaris membosankan.
Namun bagi Anzu, kebosanan itu adalah kemewahan yang jarang ia miliki.
Setiap pagi, Anzu membantu para Velmari berburu di hutan kabut. Ia tak banyak bicara, tapi kehadirannya memberi rasa aman pada kelompok pemburu.
Dengan kemampuan pendengaran dan nalurinya yang tajam, ia bisa merasakan kehadiran hewan buruan bahkan sebelum mereka muncul.
“Ke arah timur laut, tiga langkah dari batu lumut besar,” katanya singkat.
Dan benar saja, beberapa detik kemudian seekor rusa hutan melompat dari semak, langsung terjerat jaring para pemburu.
Velmari pemburu muda menatap Anzu dengan kagum. “Kau seperti bisa mendengar napas bumi sendiri.”
Anzu hanya menggeleng pelan. “Aku hanya belajar diam, dan mendengarkan.”
Mereka menunduk hormat. Salah satu dari mereka menyodorkan tali kulit tipis berwarna perak. “Sebagai tanda terima kasih, terimalah ini. Ini buatan tangan kami.”
Anzu sempat hendak menolak, tapi tatapan tulus para Velmari itu membuatnya tak tega. Ia mengangguk, mengikatkan tali itu di pergelangan tangannya.
Sejak saat itu, Anzu mulai dikenal di lembah bukan hanya sebagai tamu manusia, tapi sebagai “Penjaga Senyap”.
Sementara itu, Alfred—yang lebih suka urusan dapur daripada berburu—menjadi bahan tawa seluruh lembah.
Suatu pagi, ia mencoba membantu para perempuan Velmari mengaduk adonan roti akar, tapi adonannya malah meledak karena mencampur bahan fermentasi yang salah.
“ALFRED! Itu bukan garam, itu bubuk penyala sihir!” teriak salah satu Velmari wanita sambil menutupi wajah dari letupan kecil yang mengeluarkan asap ungu.
“Aku cuma ingin roti ini empuk! Bagaimana aku tahu bubuk itu bisa meledak!?” Alfred berteriak panik.
Saat kabut asap memudar, semua orang terbatuk dan menatap Alfred yang kini berdiri dengan rambut ungu akibat reaksi bahan sihir.
Anzu yang baru datang dari latihan hanya menatapnya datar. “Kau terlihat lebih... berwarna.”
Seluruh dapur di penuhi oleh tawa.
Setiap malam, para Velmari menyalakan api unggun besar di tengah desa. Anak-anak mereka bermain, para tetua bercerita tentang masa lalu dunia, dan Alfred—seperti biasa—berusaha mencuri perhatian dengan lelucon yang tidak lucu.
Anzu duduk sedikit jauh dari lingkaran api, punggungnya bersandar pada batu besar, matanya terpejam. Aura halus menyelimuti tubuhnya — latihan meditasinya hampir menjadi kebiasaan alami.
Ia memusatkan pikiran pada aliran aura di tubuhnya. Merasakan setiap denyut, setiap aliran energi yang bergerak bersama detak jantung.
Namun di kedalaman meditasinya, ia masih bisa mendengar tawa lembut Velmari, bisik angin, dan langkah Alfred yang berisik saat membawa pot sup terlalu penuh.
“Anzu! Makanlah sedikit! Kau akan mati karena kelaparan, bukan karena iblis!” serunya sambil menyeimbangkan mangkuk besar.
Anzu membuka satu mata. “Aku tidak lapar.”
“Ya, tapi aku masak dengan sepenuh hati.”
“Justru itu yang membuatku ragu.”
Tawa kembali terdengar. Bahkan Velmari tua yang biasanya pendiam tak bisa menahan senyum.
Meski Anzu jarang tersenyum, kehadirannya membawa semacam ketenangan — seolah lembah ini terlindung oleh kekuatannya.
Vel’desh, pemimpin ras itu, sering duduk di samping Anzu. Kadang mereka hanya diam berdua, menatap api.
“Sudah lama lembah ini tidak seindah ini,” ujar Vel’desh suatu malam. “Kau dan temanmu membawa warna baru.”
“Warna?” Anzu menatap api yang berpendar.
“Ya. Kedamaian, meski hanya sementara. Dan... sedikit kegaduhan juga, berkat temanmu itu.”
Mereka berdua tertawa kecil. Alfred di kejauhan bersin karena terkena asap dari sup yang ia rebus sendiri.
Hari-hari berikutnya, Anzu mulai melatih auranya di tepi danau lembah.
Ia berdiri di atas permukaan air yang tenang, tubuhnya nyaris tidak bergerak. Aura merah gelap menyelimuti kakinya, menahan tubuh agar tak tenggelam.
Setiap kali angin berhembus, permukaan air bergoyang dan memantulkan bayangan wajahnya yang dingin namun tenang.
Anzu menutup mata, memusatkan pikiran pada getaran aura. Ia mengingat setiap pertempuran, setiap kemarahan, setiap rasa bersalah... dan mencoba menenangkan semuanya.
“Aku harus menguasai amarahku,” bisiknya lirih. “Bukan membiarkannya menguasai aku.”
Suara lembut terdengar dari belakang — Velmari muda bernama Lira datang membawa bunga biru air.
“Ini untukmu, Penjaga Senyap,” katanya malu-malu. “Kami... ingin mengucapkan terima kasih. Karena sejak kau datang, tidak ada kabut jahat yang mendekat.”
Anzu menatap bunga itu lama, sebelum akhirnya menerimanya. “Terima kasih.”
Lira tersenyum, lalu berlari pergi. Di kejauhan, Alfred berseru, “Hati-hati, Anzu! Nanti ada yang jatuh cinta padamu!”
Anzu menatapnya datar dari jauh. “Kalau begitu, aku akan menyuruh mereka jatuh di jurang saja.”
Suara tawa seluruh ladang terdengar lagi.
Hari demi hari berlalu, Lembah Velmari terasa semakin seperti rumah kecil yang damai, tempat di mana waktu berjalan lebih lambat.
Anzu mulai terbiasa dengan kehangatan para penduduk, bahkan kadang terlihat membantu anak-anak Velmari mengasah kemampuan aura dasar mereka.
Namun di balik ketenangan itu, sesuatu dalam dirinya tetap berdenyut.
Setiap malam, ketika semua tertidur, Anzu merasakan pedangnya bergetar samar di sudut ruangan.
Nada gelap yang hanya ia dengar di dalam pikirannya berbisik lembut...
“Kau mulai melupakan tujuanmu, Anzu.”
Ia membuka mata perlahan, menatap pedang itu.
“Tidak,” jawabnya dalam hati. “Aku hanya belajar menjadi manusia.”
Bisikan itu mereda, dan keheningan kembali menguasai malam.
Sore itu, langit lembah berwarna keemasan.
Anzu dan Alfred duduk di tepi ladang, memandangi para Velmari memanen hasil bumi. Udara penuh aroma segar tanaman dan suara tawa.
“Hey, Anzu,” kata Alfred pelan. “Kau tahu... kadang aku berpikir, mungkin kita bisa hidup seperti ini selamanya. Tanpa pertempuran, tanpa darah.”
Anzu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap matahari yang perlahan turun, membentuk bayangan panjang di tanah.
“Selamanya tidak ada,” katanya akhirnya. “Tapi... mungkin cukup lama untuk disebut kedamaian.”
Alfred tersenyum kecil. “Heh, kedengarannya seperti kata-kata orang bijak. Kau sedang belajar dari Vel’desh, ya?”
“Tidak. Aku hanya belajar dari hari-hari yang tenang.”
Mereka berdua terdiam lagi, menatap matahari yang tenggelam di balik kabut lembah.
Untuk pertama kalinya sejak lama, Anzu merasakan sesuatu yang hampir mirip dengan... kebahagiaan.
Namun jauh di dalam kabut yang mulai menebal, sesuatu bergerak — samar, nyaris tak terlihat.
Bayangan yang belum lenyap sepenuhnya dari dunia luar.
Dan meski lembah tampak damai, Anzu tahu…
kedamaian sejati tak pernah bertahan lama bagi mereka yang memikul dosa.
“Aku akan menjaga mereka,” pikir Anzu, menatap lembah yang perlahan tertidur.
“Sampai saat dunia memanggilku kembali.”
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪