💔 Dikhianati & Dibangkitkan: Balas Dendam Sang Ibu
Natalie Ainsworth selalu percaya pada cinta. Keyakinan itu membuatnya buta, sampai suaminya, Aaron Whitmore, menusuknya dari belakang.
Bukan hanya selingkuh. Aaron dan seluruh keluarganya bersekongkol menghancurkannya, merampas rumah, nama baik, dan harga dirinya. Dalam semalam, Natalie kehilangan segalanya.
Dan tak seorang pun tahu... ia sedang mengandung.
Hancur, sendirian, dan nyaris mati — Natalie membawa rahasia terbesar itu pergi. Luka yang mereka torehkan menjadi bara api yang menumbuhkan kekuatan.
Bertahun-tahun kemudian, ia kembali.
Bukan sebagai perempuan lemah yang mereka kenal, melainkan sebagai sosok yang kuat, berani, dan siap menuntut keadilan.
Mampukah ia melindungi buah hatinya dari bayangan masa lalu?
Apakah cinta yang baru bisa menyembuhkan hati yang remuk?
Atau... akankah Natalie memilih untuk menghancurkan mereka, satu per satu, seperti mereka menghancurkannya dulu?
Ini kisah tentang kebangkitan wanit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Ujian Kejujuran di Ruang
Keputusan Natalie untuk membuka tender furnitur renovasi kantor cabang Whitmore Group kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengejutkan seluruh tim pengadaan. Ini adalah perubahan besar dari praktik perusahaan sebelumnya yang selalu bekerja dengan pemasok besar. Namun, perintah CEO bersifat mutlak.
Tim pengadaan bekerja cepat. Natalie meminta Maya untuk membantu Arif menyiapkan proposal tender, dengan syarat Maya hanya boleh memberikan bantuan logistik dan pemahaman tentang format standar tender korporat—tidak ada bocoran harga atau spesifikasi internal.
Di malam hari, Natalie tidak lagi duduk santai di teras. Ia justru sering bertemu dengan Arif di bengkelnya, tapi kini pertemuan mereka sepenuhnya profesional.
"Ini dokumen permintaannya, Rif," kata Natalie, meletakkan setumpuk dokumen teknis di meja kerja Arif. "Mereka butuh 800 set meja kerja minimalis, 1500 kursi ergonomis, dan rak arsip untuk 40 kantor cabang fase pertama."
Arif menatap angka-angka itu. Wajahnya tegang. "800 meja? Itu gila, Nat. Kapasitasku, bahkan dengan mesin baru, mungkin cuma 50 set per bulan. Ini... ini proyek raksasa."
"Aku tahu. Kamu tidak perlu ambil semuanya. Whitmore akan memecah tender menjadi beberapa slot. Tapi kamu harus mengajukan proposal yang kompetitif. Perhitungkan harga bahan baku, biaya tenaga kerja, dan margin yang wajar. Ingat, tidak ada amal. Aku tidak akan memengaruhi tim tender," Natalie mengingatkannya.
Arif mengangguk, sorot matanya tajam dan fokus—kembali ke semangat seorang pengusaha, bukan pria yang terluka. "Bagus. Aku juga tidak mau diberi belas kasihan. Aku akan tunjukkan kalau Bengkel Kayu Jujur bisa bersaing dengan kualitas. Tapi, Nat, aku butuh bantuan Maya. Dia paham gimana cara membuat proposal ini terlihat 'korporat'."
Natalie mengangguk. "Aku sudah bicara dengan Maya. Dia akan membantumu. Tapi hati-hati, Maya tahu segalanya tentang aku, kecuali rahasia tender."
Maya menjalani perannya sebagai "konsultan logistik" dengan gugup. Setiap kali Arif bertanya tentang range harga yang ideal, Maya harus berjuang keras menahan lidahnya.
"Maya, menurutmu, harga Rp 2,5 juta per unit meja itu terlalu mahal, atau terlalu murah? Aku khawatir kalau terlalu murah, kualitasku diragukan," tanya Arif suatu malam di bengkel.
Maya menarik napas dalam-dalam. "Arif, aku nggak bisa kasih angka. Itu namanya bocor. Tapi gini, kamu harus tunjukkan value dari kayu janti belanda yang kamu pakai. Jelaskan kenapa desainmu lebih ergonomis. Fokus pada keunggulan, jangan cuma harga."
Maya tahu, harga kompetitor ada di kisaran Rp 2.7 juta. Jika Arif mengajukan Rp 2.5 juta, dia pasti menang karena keunggulan kualitas kayunya. Namun, dia harus tetap setia pada janji Natalie.
Sementara itu, di kantor Whitmore Group, Natalie secara intensif mengawasi jalannya tender. Ia memastikan tim pengadaan, yang dipimpin oleh Pak Heru yang terkenal ketat, tidak menemukan alasan teknis untuk mendiskualifikasi UMKM kecil.
"Pak Heru, saya lihat ada beberapa UMKM yang mengajukan proposal dengan kapasitas produksi rendah. Jangan langsung diskualifikasi. Berikan mereka slot kecil, misalnya lima kantor cabang, untuk menguji kualitasnya," perintah Natalie.
"Tapi Nyonya, itu akan menambah kompleksitas logistik kami," protes Pak Heru.
"Kompleksitas adalah bagian dari manajemen, Pak Heru. Saya ingin pilot project ini berhasil. Kami ingin mendukung UMKM yang jujur dan berkualitas," balas Natalie, tatapannya tidak terbantahkan.
Di tengah ketegangan tender, Natalie menerima informasi yang mengganggu. Aaron Whitmore, yang kini kehilangan kekuasaan dan terpaksa membayar nafkah, mulai menunjukkan pergerakan.
Laporan Hadiningrat & Associates: Aaron Whitmore terlihat sering bertemu dengan mantan anggota dewan direksi yang Anda singkirkan, dan ia sedang mencoba memobilisasi pemegang saham kecil untuk menentang kebijakan CEO baru yang dianggap "tidak profesional" dan "berfokus pada hal-hal receh" (merujuk pada proyek UMKM).
Natalie menyadari bahwa kebijakan tender UMKM-nya, yang sebenarnya didorong oleh alasan pribadi, kini menjadi celah profesional yang bisa digunakan Aaron untuk menyerangnya. Jika Arif gagal dalam tender, Aaron akan menggunakan itu untuk menggulingkan citra Natalie.
"Maya, pastikan Bengkel Kayu Jujur tidak ada cacat logistik. Jika mereka menang, mereka harus berhasil. Aaron sedang mengawasi," bisik Natalie pada Maya melalui telepon rahasia.
Maya, yang sedang memverifikasi stempel legalitas proposal Arif, menjawab, "Proposalnya sempurna, Nat. Kualitas desainnya, kejujurannya... tidak ada celah. Tapi, dia mengajukan harga yang sangat kompetitif. Kalau dia menang, itu murni karena kualitas dan harganya, bukan karena kamu."
Hari penetapan pemenang tender tiba. Natalie duduk di ruang kerjanya, menunggu laporan dari Pak Heru. Ia tidak berani menghadiri rapat itu, karena ia tidak ingin janji kejujurannya tercoreng oleh kehadirannya.
Pak Heru masuk, membawa map tebal. Wajahnya terlihat campur aduk antara kagum dan terkejut.
"Nyonya Natalie, kami telah menyelesaikan penilaian. Total ada delapan pemenang dari sektor UMKM yang kami bagi menjadi tiga fase pasokan," lapor Pak Heru.
"Dan... bagaimana dengan Bengkel Kayu Jujur?" tanya Natalie, berusaha terdengar biasa saja.
"Mereka mengajukan penawaran untuk slot kecil, lima kantor cabang, total 150 set meja dan 300 kursi. Awalnya kami ragu, tetapi setelah membandingkan kualitas bahan dan desain ergonomis yang mereka tawarkan, mereka adalah penawar dengan nilai terbaik, Nyonya," jelas Pak Heru.
"Lalu, apa keputusan Anda?"
"Mereka memenangkan slot kecil itu, Nyonya. Mereka mengalahkan dua penawar lain yang memiliki kapasitas produksi lebih besar. Mereka menang karena price to quality ratio yang sangat unggul. Selamat, Nyonya, pilot project Anda berhasil," kata Pak Heru, tampak terkesan.
Rasa lega yang membanjiri Natalie jauh lebih besar daripada saat ia menandatangani kontrak akuisisi miliaran dolar.
"Baik, pastikan kontraknya ditandatangani hari ini juga. Dan Pak Heru, pastikan pembayaran uang muka mereka diproses cepat. UMKM butuh likuiditas," perintah Natalie, senyumnya kini benar-benar tulus.
Sore itu, Natalie datang ke bengkel Arif. Ia mengenakan pakaian kasual, tetapi membawa aura kemenangan yang tidak bisa disembunyikan.
Arif sedang sibuk memotong kayu, serbuk kayu bertebaran di sekitarnya. Ia melihat Natalie dan segera mematikan mesin.
"Ada kabar?" tanya Arif, wajahnya tegang.
"Ada," jawab Natalie, ia berjalan mendekat. "Kamu menang. Bengkel Kayu Jujur memenangkan kontrak untuk pasokan furnitur lima kantor cabang Whitmore Group."
Arif terdiam, matanya membesar karena terkejut. Lalu, ia mengeluarkan tawa lega yang diikuti sorakan kecil.
"Aku... aku menang? Aku menang murni?" tanya Arif, memastikan.
"Murni. Tim tender tidak tahu apa-apa soal hubungan kita. Kamu menang karena harga yang kamu tawarkan kompetitif dan desainmu yang jujur," kata Natalie.
Arif menarik napas, matanya dipenuhi kebahagiaan sejati. Ia mengulurkan tangannya yang kasar, penuh kapalan, kepada Natalie.
"Terima kasih, Nat. Terima kasih karena kamu menepati janji. Kamu memberiku kesempatan, bukan amal. Aku janji, aku akan selesaikan pekerjaan ini dengan sempurna," kata Arif.
Natalie menjabat tangannya. Sentuhan kali ini berbeda; bukan sentuhan cinta, tetapi sentuhan kepercayaan yang dibangun kembali.
"Kamu pantas mendapatkannya, Rif," bisik Natalie.
Arif kemudian melihat setelan yang dikenakan Natalie—masih kasual, tetapi dia bisa melihat perbedaan kemeja silk yang halus itu.
"Nat," kata Arif pelan. "Aku masih marah soal kebohonganmu. Tapi hari ini, kamu membuktikan kamu adalah CEO yang jujur. Kamu mempertaruhkan tender besar hanya untuk membuktikan kata-katamu."
"Aku memang melakukan itu," aku Natalie.
"Aku nggak tahu apakah kita bisa kembali ke masa lalu. Tapi, aku mau kamu melakukan satu hal lagi untukku. Kamu sudah membuktikan kejujuranmu padaku. Sekarang, buktikan kejujuranmu pada dirimu sendiri. Jangan pernah lagi menyembunyikan kekuatanmu hanya karena takut. Kamu adalah CEO hebat, Nat. Jadilah CEO hebat, yang jujur."
Arif melepaskan tangan Natalie. "Aku harus segera membeli kayu. Kita punya banyak pekerjaan. Sampai ketemu di kantor cabang, CEO."
Arif kembali ke mesin bubutnya. Natalie tahu, ia masih jauh dari memenangkan hati Arif kembali, tetapi ia telah memenangkan kembali harga dirinya. Ia telah membuktikan, kekuasaan tidak harus berpasangan dengan manipulasi. Babak baru antara mereka—sebagai mitra bisnis yang jujur—baru saja dimulai, sebuah fondasi yang jauh lebih kuat dari janji cinta yang palsu.
Natalie meninggalkan bengkel itu, kembali ke mobilnya, siap menghadapi Aaron yang sedang mengawasi, karena kini ia punya sesuatu yang nyata untuk dipertahankan.