Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ALIANSI YANG BABAK BELUR
Kami bertiga terbaring di lantai hitam yang dingin, dalam tumpukan yang menyedihkan, terengah-engah seolah kami benar-benar baru saja jatuh dari lantai lima. Arena di sekitar kami sunyi senyap, proyeksi yang rumit telah lenyap, hanya menyisakan bau samar ozon dan keringat.
Rasa sakit hantu di bahu kiriku memudar, digantikan oleh kelelahan yang luar biasa pada otot-otot Bima yang sesungguhnya. Di sampingku, Adhitama mengerang dan mendorong dirinya ke posisi duduk. Wajahnya dipenuhi kotoran virtual dan ekspresi tidak percaya. Sari terbatuk, duduk tegak, dan langsung memejamkan mata, seolah mencoba menstabilkan dunianya yang baru saja berhenti berputar.
"Kalian... telah menghancurkan properti virtual senilai dua triliun rupiah."
Suara Pak Tirtayasa memecah keheningan. Dia berjalan keluar dari kegelapan, tangannya di belakang punggung. Dia tidak melihat ke arah kami, tetapi ke layar tabletnya, seolah sedang menghitung total kerugian.
"Sebelas lantai kantor. Satu lift. Dua sumur tangga darurat. Dan satu panel dinding eksterior," lanjutnya, suaranya datar. "Secara obyektif, ini adalah misi paling destruktif, tidak efisien, dan paling berantakan yang pernah saya saksikan dalam sejarah program ini."
Adhitama, yang baru saja akan menyeringai bangga, langsung terdiam.
Pak Tirtayasa akhirnya berhenti di depan kami. Dia menatap kami bertiga yang masih babak belur di lantai.
"Dan itu," katanya, sebuah senyuman yang nyaris tak terlihat tersungging di bibirnya, "adalah hal paling brilian yang pernah saya lihat."
Kami bertiga menatapnya, bingung.
"Kalian gagal di tes pertama," katanya, "karena kalian mencoba memainkan permainan Cakra. Kalian jatuh ke dalam honeypot mereka. Kalian bertarung sesuai aturan yang mereka tetapkan. Kalian mencoba menjadi pencuri yang lebih pintar, peretas yang lebih cepat, petarung yang lebih kuat. Dan kalian dibantai untuk itu."
Dia berjongkok, menatap kami bertiga setara. "Tes kedua ini... kalian tidak memainkan permainan mereka. Kalian menendang papan caturnya hingga terbalik."
Dia menatap Adhitama. "Kau dihadapkan pada musuh yang tidak bisa kau pukul. Jadi, kau memukul sesuatu yang lain. Kau memukul lantainya. Kau mengubah arena tiga dimensi menjadi arena vertikal."
Dia menoleh pada Sari. "Kau dihadapkan pada musuh yang menyerang pikiranmu. Sesuatu yang tidak bisa kau analisis. Jadi, kau berhenti menganalisis. Kau melawannya dengan kekacauan. Kau mengubah otak logismu menjadi senjata psikis."
Dan akhirnya, dia menatapku. Tatapannya adalah yang paling tajam. "Dan kau... kau dihadapkan pada sumpah bodohmu sendiri. Kau menyadari bahwa tidak menggunakan kekuatanmu adalah bentuk kesombongan yang sama berbahayanya dengan menyalahgunakannya. Kau menemukan jalan tengah. Kau tidak menghancurkan musuhmu. Kau menghancurkan jalan mereka. Kau menggunakan kekuatanmu sebagai alat kontrol, bukan sebagai senjata pemusnah massal."
Dia berdiri. "Kalian berhenti menjadi tiga individu yang kuat. Kalian menjadi satu tim yang cerdas dan putus asa. Kalian mengabaikan rintangan yang jelas—pintu yang terkunci—dan menciptakan rintangan kalian sendiri—lubang di lantai. Kalian mengorbankan kesombongan pribadi untuk kelangsungan hidup tim. Itulah pelajaran Level 2."
Dia menghela napas, seolah-olah dia sendiri baru saja berlari menuruni dua puluh lantai.
"Kadek si Graviton," katanya, "dan Rania si Telepat... mereka bukan hanya simulasi. Mereka adalah profil nyata dari dua agen elit Cakra yang paling berbahaya. Kami menyebut mereka 'Pembersih'. Jika kalian bertemu mereka di dunia nyata... jangan pernah, dalam keadaan apa pun, mencoba melawan mereka. Kalian lakukan persis seperti yang kalian lakukan hari ini. Kalian... Lari. Dengan cara paling kreatif yang kalian bisa."
Informasi itu mendinginkan darah kami. Jadi, mereka nyata. Dan kami baru saja selamat dari versi virtual mereka.
"Adhitama," panggil Pak Tirtayasa.
"Ya, Pak," kata Adhitama, suaranya serak.
"Kau berisik. Kau ceroboh. Kau hampir meruntuhkan seluruh gedung. Tapi kau mendengarkan navigator-mu. Dan kau menggunakan kekuatanmu untuk melindungi timmu, bukan untuk pamer. Kau mulai berpikir seperti seorang prajurit."
"Sari," lanjutnya.
"Ya, Pak."
"Serangan mental Rania akan meninggalkan bekas. Kau akan mengalami mimpi buruk. Kau akan merasa rentan. Itu wajar. Tugasmu sekarang adalah belajar membangun 'benteng pikiran'. Sebuah tempat aman di dalam kepalamu di mana tidak ada seorang pun yang bisa masuk. Kita akan melatih itu."
"Dan Bima."
Aku menatapnya.
"Kau hampir membuat dirimu terbunuh di tangga karena menolak menggunakan kekuatanmu. Itu bodoh. Itu adalah pengorbanan yang tidak perlu yang bisa membahayakan tim. Tapi... kau akhirnya mengerti. Kontrol. Bukan kehancuran. Presisi. Bukan kekuatan. Jika kau bisa menguasai itu, kau tidak akan menjadi bom kiamat kami. Kau akan menjadi kunci utama kami. Kunci yang bisa membuka pintu apapun."
Dia menatap kami bertiga untuk waktu yang lama. "Kalian bertiga masih mentah. Kalian berantakan. Kalian adalah tim paling disfungsional yang pernah kumiliki."
Dia berbalik untuk pergi.
"Tapi aku rasa," katanya dari balik bahu, "kalian akan berhasil."
Dia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan kami sendirian di arena.
Untuk waktu yang lama, tidak ada yang bergerak. Kami hanya duduk di sana, mencerna kenyataan bahwa kami telah lulus dari neraka.
Akhirnya, Adhitama adalah yang pertama bergerak. Dia berdiri dengan mengerang, mengulurkan tangannya... bukan padaku, tapi pada Sari.
Sari menatap tangan besar yang terulur itu sejenak, lalu meraihnya. Adhitama menariknya berdiri seolah dia tidak berbobot sama sekali.
Lalu, dia menoleh padaku. Dia masih terlihat marah, tapi amarahnya tidak lagi ditujukan padaku. Itu adalah amarah yang lelah.
Dia mengulurkan tangannya yang lain.
Aku menatap tangan itu. Tangan yang sama yang telah menghancurkan beton, yang telah meninjuku di ruang klub, yang telah menghantam pintu baja.
Aku meraihnya.
Dia menarikku berdiri. Bahu kiriku menjerit protes bahkan tanpa adanya luka, dan aku sedikit meringis.
"Rencana gila," katanya, suaranya serak.
"Tapi berhasil," balasku.
Dia menatapku lama. "Lain kali," katanya. "Beri aku peringatan dulu... sebelum kau menyuruhku melompat dari lantai lima belas."
Aku hampir tersenyum. "Akan kucatat."
Kami berdiri di sana. Tiga orang yang babak belur.
Sari adalah yang pertama kali memecah keheningan. Dia menatapku, wajahnya masih pucat, tapi matanya jernih. "Resep rendang," katanya tiba-tiba.
"Apa?" tanya Adhitama.
"Di kepalaku," kata Sari. "Untuk melawan Rania. Aku... aku meneriakkan resep rendang ibuku berulang-ulang."
Adhitama menatapnya kosong sejenak, lalu dia tertawa. Itu bukan tawa sombong. Itu tawa yang jujur, meledak-ledak, dan lega. "Resep rendang? Itu... itu hal teraneh yang pernah kudengar!"
"Itu berhasil, kan?" balas Sari, dan aku melihat bayangan senyuman pertama di wajahnya.
Kami bertiga mulai berjalan keluar dari arena. Setiap langkah terasa sakit. Kami tidak lagi berjalan terpisah. Kami berjalan beriringan, menjaga jarak yang sama.
Saat kami memasuki koridor putih, Adhitama tiba-tiba berhenti. "Tunggu."
Dia menatapku. "Di tangga. Kau... kau sengaja menerima tembakan itu, kan?"
Sari berhenti, menatapku juga.
Aku tidak menjawab.
"Kau bisa saja menghancurkan pistol itu. Seperti yang pertama," lanjut Adhitama, matanya menuntut jawaban. "Tapi kau tidak. Kau ragu. Kau membiarkan dia menembakmu. Kenapa?"
Aku menatap lantai. "Aku membuat sumpah."
"Sumpah bodoh," geram Adhitama. "Seperti kata Pak Tirtayasa. Kau bisa saja terbunuh. Kau bisa saja membahayakan Sari."
"Aku tahu," kataku pelan. "Itu... sebuah kesalahan."
Adhitama mendengus. "Ya. Benar. Kesalahan."
Dia mulai berjalan lagi. Tapi kemudian dia berhenti dan menoleh padaku, ekspresinya kini lebih rumit. "Tapi... terima kasih."
"Untuk apa?"
"Karena... tidak meledakkan kami semua di pintu jebakan itu. Kau... kau menahan diri. Bahkan saat kau tahu kau bisa."
Dia tidak menunggu jawabanku. Dia berbalik dan terus berjalan.
Sari berjalan di sampingku. "Dia benar," bisiknya. "Kau punya kekuatan untuk mengakhiri semua pertarungan itu dalam sekejap. Tapi kau tidak. Kau memilih untuk terluka. Kau memilih untuk memercayai kami. Itu... itu lebih kuat dari apa pun yang bisa dilakukan Kadek."
Aku tidak tahu harus berkata apa.
Kami sampai di kantin untuk sarapan yang terlambat. Tempat itu kosong, kecuali Rina, yang masih duduk di sudut, membaca buku.
Dia mendongak saat kami masuk, senyumnya sedikit ragu kali ini, merasakan ketegangan dari pagi tadi.
Kami mengambil makanan kami dalam diam. Tapi kali ini, Adhitama, alih-alih duduk di meja terpisah, berjalan dan duduk di seberang Rina.
Rina menatapnya kaget.
Adhitama hanya mengangguk padanya. "Kakimu," katanya, suaranya masih kasar. "Sudah baikan?"
Rina tersenyum cerah. "Y-ya! Jauh lebih baik. Terima kasih!"
Sari duduk di samping Rina, membuka tabletnya. Tapi kali ini, dia tersenyum kecil pada gadis itu sebelum tenggelam dalam datanya.
Aku mengambil kursiku. Di sebelah Adhitama. Menghadap Sari dan Rina.
Untuk pertama kalinya, kami duduk di meja yang sama. Kami tidak berbicara. Kami hanya makan. Tapi keheningan itu tidak lagi terasa dingin. Itu adalah keheningan yang nyaman dari tiga orang yang baru saja melewati neraka bersama... dan berhasil keluar di sisi yang lain.
Aliansi yang babak belur telah terbentuk. Dan entah kenapa, sepotong roti tawar di fasilitas bunker bawah tanah ini terasa seperti makanan terenak yang pernah kumakan dalam dua kehidupanku.