NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:10.8k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Promise ring

Mobil hitam Aldrich berhenti perlahan di depan rumah utama keluarga Jourell—sebuah bangunan klasik modern dengan taman yang ditata elegan, lampu-lampu taman hangat berpendar di antara dedaunan.

Begitu mobil berhenti, Audy menelan ludah. Perutnya mual bukan karena lapar, melainkan gugup tingkat tinggi. Ia belum pernah datang ke rumah keluarga bosnya, apalagi setelah semua drama “pacar-palsu” itu.

Pintu mobil terbuka, Aldrich berbalik memandangnya.

“Turunlah, nona asisten pribadi yang sekarang juga calon menantu favorit Mama Helena,” ujarnya dengan nada santai, namun senyum tengilnya tak bisa disembunyikan.

Audy menatap tajam. “Bapak jangan sembarangan bicara, ya. Saya sudah cukup gugup tanpa harus dengar lelucon bapak.”

Aldrich terkekeh pelan. “Santai saja. Mama tidak menggigit… kecuali jika kau bohong.”

“Pak!”

“Bercanda.”

Begitu keduanya berjalan memasuki rumah, Helena sudah berdiri di ambang pintu ruang makan dengan senyum lebar. Ia tampil anggun dalam balutan gaun hijau zamrud sederhana namun berkelas.

“Selamat malam, kalian datang juga.”

“Selamat malam, Mama,” ujar Aldrich lembut sambil mencium tangan ibunya.

Audy ikut menunduk sopan, “Selamat malam, Ma. Terima kasih sudah mengundang saya.”

Helena menatap gadis itu dengan tatapan hangat namun meneliti.

“Senang akhirnya kau bisa datang, Audy. Mama sempat khawatir Aldrich membuatmu kabur lagi.”

Aldrich menahan tawa di sampingnya, sementara Audy tersenyum canggung, “Tidak, Ma. Kali ini… tidak kabur.”

Mereka duduk di meja makan panjang. Hidangan tersusun rapi—steak, salad, sup jamur, dan red wine yang hanya disentuh oleh Helena dan Aldrich, Audy sempat hendak menyentuh minuman itu namun tatapan Aldrich seolah mengatakan—jangan. Suasana makan malam terasa hangat tapi penuh chemistry aneh.

Helena beberapa kali menatap mereka berdua bergantian, seperti sedang menilai keserasian pasangan itu.

Sesekali ia tersenyum kecil saat Aldrich tanpa sadar menuangkan air ke gelas Audy, atau saat Audy diam-diam memotongkan daging dan menaruh di piring Aldrich karena “sudah terlalu dingin jika diam saja”.

“Begitulah anak muda sekarang,” gumam Helena sambil tersenyum tipis. “Saling perhatian tapi pura-pura tidak peduli.”

Audy langsung salah tingkah, menunduk, pura-pura sibuk dengan sayurnya.

Setelah makan malam selesai, Helena bangkit dari kursinya. “Mama ada janji video call dengan teman lama. Kalian bersenang-senanglah dulu. Taman belakang sekarang sedang indah, lampu-lampu sudah dinyalakan.”

“Baik, Ma,” sahut Aldrich.

Begitu Helena meninggalkan ruang makan, Aldrich melirik Audy.

“Mau lihat sesuatu?”

Audy menatapnya ragu. “Sesuatu apa dulu?”

“Tempat yang akan membuatmu lupa bahwa dunia ini kejam.”

“Ck… bicaranya seperti penyair gagal.”

Aldrich hanya tersenyum, “Percaya saja, Audy.”

Mereka berjalan menyusuri koridor panjang menuju bagian belakang rumah. Udara malam yang lembut menyambut mereka, disertai aroma tanah basah sisa hujan tadi.

Di ujung taman, Aldrich membuka sebuah pintu kaca besar. Begitu Audy melangkah masuk, napasnya tercekat.

Di hadapannya terbentang balkon luas di lantai atas, dengan pembatas kaca transparan. Dari sana, seluruh kota Jakarta terlihat—berjuta cahaya berkelip, dan langit malam bertabur bintang yang jarang muncul seterang itu di tengah kota.

“Ini… luar biasa,” bisik Audy, matanya membulat kagum.

Aldrich berdiri di sampingnya, menatap pemandangan yang sama. “Tempat ini… biasanya Mama yang paling suka. Tapi sejak Papa meninggal, ibu negaraku jarang ke sini.”

Audy menoleh, kali ini tatapannya lembut. “Saya bisa mengerti. Tempat yang penuh kenangan memang… berat untuk dikunjungi sendirian.”

Aldrich menatap gadis itu lama. Angin malam berhembus lembut, membuat rambut Audy berantakan sedikit.

“Dan sekarang,” ucapnya pelan, “tempat ini jadi indah lagi karena kau ada di sini.”

Audy spontan menoleh, wajahnya memanas.

“Pak Aldrich, berhenti bicara hal-hal yang membuat suasana jadi—”

“Jadi apa?” potong Aldrich dengan senyum miring.

Audy menghela napas, “Jadi aneh.”

Namun Aldrich tak membalas. Ia hanya menatap langit malam, lalu berkata pelan,

“Tidak ada yang aneh dari rasa yang tumbuh pada waktu yang tepat.”

Audy terdiam. Lampu kota berpendar di matanya, sementara jantungnya berdebar tak karuan. Untuk pertama kalinya, ia tak bisa membantah apa pun dari mulut pria itu.

Dan di bawah langit malam Jakarta yang gemerlap, dua hati yang awalnya terjebak dalam sandiwara perlahan mulai jujur pada perasaan yang sebenarnya.

Aldrich berdiri hanya sejengkal dari Audy.

Suara malam terasa melambat—angin seolah berhenti berhembus, dan hanya detak jantung keduanya yang terdengar bergantian di antara jeda sunyi itu.

Audy menatap langit, berusaha menyembunyikan gugupnya. Tapi dari sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan itu—tatapan Aldrich yang begitu dalam, seolah sedang membaca isi hatinya tanpa izin.

“Kenapa menatap seperti itu?” tanya Audy akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Aldrich tersenyum tipis. “Karena aku sedang memastikan sesuatu.”

“Apa?”

“Bahwa kau nyata. Bahwa semua ini… bukan permainan lagi.”

Audy hendak membalas, tapi kata-katanya tercekat saat Aldrich memasukkan tangannya ke saku jas, mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna biru tua.

Audy langsung terpaku. “Apa itu, Pak Aldrich?”

“Bukan untuk laporan, bukan juga untuk presentasi.” Aldrich membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, sepasang cincin berkilau di bawah sinar lampu balkon—desain sederhana tapi elegan, dengan berlian kecil yang berpendar halus.

Audy menatapnya tanpa suara. Napasnya tercekat di tenggorokan.

“Ini…” ia menelan ludah, “serius?”

Aldrich tersenyum lembut, kali ini tanpa nada tengil. “Limited edition. Hanya satu di dunia—sepertimu.”

Audy terdiam cukup lama, bahkan terlalu lama. Tangannya bergetar sedikit saat Aldrich meraih jemarinya.

“Boleh?” tanya Aldrich pelan, menunggu izin dengan sorot mata yang tulus.

Audy tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, menyerahkan tangannya dengan pipi memerah.

Aldrich menunduk, perlahan memasangkan cincin itu di jari manisnya. Cincin itu pas, seperti memang sudah ditakdirkan untuknya.

Seketika dada Audy menghangat. Air matanya hampir menetes, bukan karena sedih, tapi karena bahagia yang datang terlalu tiba-tiba.

Aldrich kemudian menariknya pelan ke dalam dekapannya—hangat, tenang, dan entah kenapa terasa seperti rumah.

Suara Aldrich terdengar lembut di dekat telinganya.

“Aku tidak akan menjanjikan dunia, Audy. Tapi aku janji, aku akan menjaga dan menyayangimu dengan cara yang paling manusiawi yang aku bisa.”

Audy menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar aman.

Setelah beberapa saat, Aldrich melerai pelukan itu dengan senyum kecil yang masih menempel di bibir masing-masing.

“Sekarang pulang,” kata Aldrich lembut. “Nanti Mama akan khawatir jika kau pulang terlalu malam. Apalagi Daddy mu.”

Audy mengangguk. “Terima kasih… untuk semuanya.”

......

Mereka berjalan menuju mobil setelah berpamitan pada Helena. Perjalanan pulang malam itu terasa berbeda. Tak ada lagi canda tengil atau debat kecil—hanya keheningan yang hangat, seolah keduanya menikmati irama hati yang sama.

Saat mobil berhenti di depan gerbang rumah Audy, Aldrich menatapnya lama.

Audy menatap heran. “Tidak disini saja?”

“Ada yang harus ku temui di dalam,” jawab Aldrich singkat dengan senyum samar.

Audy diam. Ia hanya mengangguk, lalu ia turun setelah mobil berhenti di halaman—sambil melirik cincin di jarinya yang masih terasa berat—berat karena makna yang dibawanya.

Aldrich berjalan disamping Audy, dengan tangan yang menggenggam jemari lentik milik Audy. Tatapannya serius.

Senyumnya muncul kembali, samar namun pasti.

“Waktunya bicara langsung dengan ayahmu, Audy,” gumamnya pelan.

Langkah Aldrich mentap penuh tekad—pria yang baru saja berjanji untuk menjaga gadis yang kini mengisi seluruh pikirannya.

1
Desmeri epy Epy
lanjut
kalea rizuky
keluarga aldrick matre ya thor emaknya kayaknya toxic alias playing victim
kalea rizuky
ngapain dia for play apa nganu nganu
kalea rizuky
menjijikkan
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria
3 months training kayak karyawan aja🤭🤭
Ika Yeni
ayoo lanjut thorr cerita nyaa baguss bgt dan seruu ,, bikin senyum" sendiri😍 sering" up dong tor
Ika Yeni
ayoo lanjut kak cerita nyaa baguss dan seruu ,, bikin senyum" sendiri😍 sering" up dong tor
dhee
Kecewa
dhee
Buruk
Uthie
Wahhhh...udah diketahui tohhhh rahasia nya Audi 😁
Uthie
Diihhhh.. menjijikkan nii si Casanova 😂
Uthie
seruuu
Uthie
Tertarik mampir 👍🏻👍🏻
Stacy Agalia: terimakasih🥰
total 1 replies
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria
😍😍 akhirnya smoga dpt restu bakal mertua🤣🤣
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria: bantu doa kok thor bikin aku deg²an masa si david sinclair itu mau nolak 🤣🤣🤣🤣
total 2 replies
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria
menarik.. tak bosan membaca nya.
🍒⃞⃟🦅 ☕︎⃝❥Maria
ceritanya bagus thor.. mohon dilanjutkan thor
Stacy Agalia: tunggu yaaa🥰
total 1 replies
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!