Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.
Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?
Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ragu
Aku menyeka air mata setelah panggilan ditutup, kembali menetralkan kondisi dan mengatur pernapasan agar tidak sesak.
Sebelum acara benar-benar selesai aku bergegas pulang dan meminta izin kepala sekolah.
Perasaanku tidak enak karena tiba-tiba disuruh untuk pulang ke rumah tanpa alasan.
Gian yang melihatku keluar dengan cepat dari ruangan, langsung hendak menyusul.
"Teh, mau kemana?" tanya Gian menghentikan langkahku.
"Teteh kenapa?" tanyanya lagi mendahului langkahku.
"Teteh mau pulang."
"Oke aku antar, no coment!"
Dia menuntunku turun ke bawah, mengambilkan tas di kantor dan bergegas mengantarku pulang.
Di perjalanan dia bertanya banyak hal dari masalah aku menangis sampai sekarang pulang ke kosan tiba-tiba. Sebenarnya tidak masalah juga mau pulang malam pun, lagipula pulangnya besok, tapi aku juga merasa tidak nyaman di sekolah, apalagi hanya acara perpisahan saja. Terserah mereka mau buat hiburan apalagi, yang jelas aku telingaku ingin adem tanpa banyak bising, apalagi kalau diledekin karena salah paham.
Sesampainya di kosan, aku langsung masuk dan merebahkan tubuhku di ranjang, Gian yang melihat tingkahku tersebut langsung menutupkan pintu dari luar.
Aku membuka pintu lebar-lebar takut dia ingin masuk, aku merebahkan tubuh di ranjang bukan berarti aku tidur.
"Gian!" Panggilku.
Dia menyahut dari luar tetapi tidak masuk ke dalam, pulang pun tidak.
"Kenapa di luar?"
"Tetehnya juga rebahan."
"Hanya ingin baringan aja sebentar. Ya sudah sini masuk!" Ajakku kembali dalam posisi duduk, karena Gian masih saja duduk di luar depan pintu, aku pun membukanya.
"Masuk!"
"Gapapa?" tanyanya.
"Ya."
"Teteh kenapa sih? Minimal jawab di hati lah biar aku tahu," rengeknya memintaku memberitahu, padahal aku pun tidak tahu.
"Teteh juga gak tahu, orang tiba-tiba disuruh pulang ke rumah, besok."
"Lah, pulang lagi. Kok bisa?"
"Gak tahu juga ada apa, rasanya ga tenang aja, apalagi di sekolah berisik banget. Kenapa kamu gak balik lagi ke sana?"
"Ngapain juga di sana, gak seru. Enakan di sini, adem."
Dia menjawab pertanyaanku dengan santai dan kalem, aku paling suka dengan Gian ketika dia berbicara sambil tersenyum, indah sekali dipandangnya. Menurutku Gian laki-laki perfect kalau soal fisik, jika soal mental lain lagi. Kita harus paham kondisi dia bagaimana.
"Oh, ya. Kemarin teteh gajian, kamu terima ya uang dari teteh," kataku sambil mengambil dompet dari tas.
"Gak gak gak, gak mau. Ngapain gitu-gituan ih," tolaknya dengan bibir atas terangkat sebelah, seperti mencibir saja ini anak.
"Kenapa, Dek?"
"Geli banget panggil Dek, udah gede ini aku."
Aku langsung tertawa ngakak mendengarnya, ternyata dia juga bisa merengek, bicara sambil meledek, banyak bercanda juga lah intinya, kadang serius juga sesuai dengan tatapan wajahnya, tetapi Alva lebih seram deh untuk sekarang ini, jadi mengalahkan Gian saking jarangnya berbicara dengan Alva. Dingin sih enggak, hanya susah diajak bercanda saja.
"Kenapa gak mau ih?"
"Emang aku gak tahu kalau teteh itu selalu mikirin perasaan orang lain, teteh gak enak 'kan nerima yang aku beri?" tanyanya.
"Iya, tapi bukan itu. Anggap aja ini teteh ngasih uang jajan sama kamu, jangan anggap ngeganti uang yang kamu belikan lauk buat teteh."
"Iya, tapi aku gak mengharap balasan apa pun dari teteh."
"Iya, tapi teteh juga pengen ngasih uang jajan sama kamu, kok jahat sih gak mau nerima." Aku langsung memasang wajah sedih.
"Teh, aku ini tinggalnya di rumah, gak ngekos. Aku juga punya kerjaan makanya aku gak seperti anak-anak lain punya kebebasan bermain, aku juga ketemu teteh kalau ke sekolah, itu pun pagi atau sore, tergantung berangkat dan pulang sekolah kapan. Aku memang punya bekal dari mamang juga bapak, tapi aku gak pakai itu buat ngasih orang lain, karena untuk aku pun tidak cukup."
"Maksudnya?"
"Teh, aku ini asli orang sini, aku dapat uang dari hasil kerja aku, aku ngasih teteh hasil kerja aku. Aku gak punya bayaran atau tagihan apa pun, sedangkan teteh punya tagihan kosan, jadi uangnya simpan aja buat bayar kosan." Jelasnya panjang lebar.
Sepeduli itu Gian terhadapku, aku tahu dia masih berumur 20 tahun, tetapi pemikirannya sangat dewasa sekali. Aku berharap semoga Gian selalu bahagia selamanya. Karena aku ingin selalu melihat dirinya tersenyum dan juga riang gembira penuh keceriaan.
"Tapi teteh juga punya kok buat bayar," kataku pelan.
"Gak mau, Teh. Sudah simpen aja."
"Terus teteh ngasih apa sama kamu sebagai gantinya?" tanyaku.
"Gak perlu ngasih apa-apa, selagi teteh bahagia sama aku, aku seneng."
"Iya."
"Sebenarnya aku ingin hati teteh, tapi aku bukan tipe orang pemaksa. Umur kita juga jauh bedanya, teteh yang gak akan suka, aku paham soal ini."
Aku tersenyum, ya dia memang benar aku tidak bisa bersamanya. Soal kekurangan memang tidak ada, soal mental dia pun aku bisa tangani, tapi kalau soal umur aku malu. Aku malu jika aku seorang perempuan lebih tua dari laki-laki, rasanya sangat tidak cocok sekali.
"Makasih sudah paham, tapi teteh juga berharap kamu bisa menerima pemberian teteh sebagai tanda terima kasih teteh sama kamu."
"Gak usah teh, aku seneng selagi teteh bahagia sama aku, welcome sama aku dan gak takut sama aku."
Lama sekali kami berdua mengobrol sampai sore pun menjelang, Gian sudah tiduran sampai tertidur di teras yang dingin, sedangkan aku duduk di luar sembari menunggu dia bangun sambil makan camilan, jajanan yang ku beli saat Gian tertidur.
Dalam lamunan, tiba-tiba aku mengingat Alva. Apa jadinya jika aku memberitahu Alva kalau aku akan pulang lagi besok?
"Teh?" Lamunanku buyar ketika Gian memanggilku.
"Iya, kenapa Gian?"
"Teteh kenapa gak bangunin aku?"
"Gak tega teteh bangunin kamu, kasihan kayak cape banget jadi biarin aja tidur, kalau saja bisa teteh gendong, kamu sudah teteh pindahin ke kasur bukan di bawah gini."
"Hehe, tapi kalau panas-panas gini emang enakan di atas ubin aja tanpa alas."
"Emh gitu, yaudah."
Aku pun menyuruh dia untuk bangun dan cuci muka, karena hari sudah sore dia pun pamit pulang. Kasihan sekali, selama di sini aku tidak memberikan apa pun untuk dia makan, karena salah dia juga tidak mau malah aku yang terus dikasih makanan.
Setelah Gian pulang, aku memberitahu Alva melalui pesan di aplikasi hijau.
"Sore, A. Aku mau izin kalau besok aku mau pulang lagi ke rumah."
Lima menit berlalu, Alva masih saja belum membalas pesanku meski centang dua. Makin ke sini, Alva semakin slow. Ya, mungkin itu alasannya kenapa aku harus selalu pesan paket agar menjadi alasan untuk ketemu
"Kenapa pulang lagi? Ada apa?"
...Dia membalas, aku pun semangat untuk membalas pesannya lagi. ...
^^^^^^"Aku tidak tahu, karena papa tiba-tiba menyuruhku pulang."^^^^^^
"Besok pulangnya sama siapa? Dijemput atau pake umum?"
^^^"Aku dijemput papa besok." ^^^
"Boleh gak, kalau Aal yang antar?"
^^^ "Gak bisa, papa gak akan mengizinkan."^^^
"Engga, Aal ikutin aja dari belakang."
..."Gak, Gak boleh. Gak mau, nanti papa marah." ...
Aku dibuat kebingungan dengan tindakannya, dia orang baik-baik atau bukan? Kenapa aku menjadi ragu? Aku ragu karena takut.
Aku sangat tidak senang jika ada orang yang ingin melawan aturan orang tuaku, karena yang akan menjadi korbannya nanti ketika ada orang selalu ingin mendekatiku itu aku, iya aku, aku yang akan menjadi sasaran, aku juga yang akan dibilang perempuan gak bener karena mengizinkan laki-laki mendekatiku sebelum dia mengenal orang tuaku. Oleh karena itu aku juga hanya bisa membalas pesan seseorang tanpa ada pertemuan, karena aku takut dengan sanksinya.