Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Bab 24
...“Oke..jadi kapan kamu mau aku nikahi, besok ?” -Adrian...
Lobi Kantor 🏤💫
Langkah Adrian dan Revana memasuki gedung kantor menarik perhatian beberapa karyawan. Adrian tampak tenang, penuh wibawa seperti biasa, sementara Revana berusaha menjaga jarak agar tidak terlihat terlalu dekat.
Namun, Clara yang sudah menunggu di dekat lift langsung menyipitkan mata begitu melihat mereka datang bersamaan lagi.
Clara mendekat ke arah Revana, wanita itu berbisik cepat.
“Rev… serius deh, kenapa lagi-lagi kamu datang bareng Pak Adrian? Jangan bilang kamu di jemput beliau dari rumah?”
Revana tersentak, matanya membesar, buru-buru menggeleng.
“Bukan, bukan… ini cuma kebetulan aja. Tadi aku lagi nunggu taxi dijalan, eh beliau pas lewat, ya sudah sekalian aku ikut nebeng.” jawab Revana gelagapan, tapi berusaha santai.
Clara melipat tangannya di dada, jelas tak puas dengan jawaban itu.
“Rev, please… jangan bikin aku penasaran. Kamu nggak biasanya begini. Jangan-jangan… ada sesuatu ya antara kamu sama Pak Adrian?” tanya Clara setengah bercanda, setengah menyelidik.
Revana tersenyum kaku, matanya melirik kanan-kiri memastikan tak ada yang mendengar.
“Clara… jangan mikir aneh-aneh dulu...jadi bicara begitu, nanti kalau ada yang dengar bisa salah paham..Tolong ya... ” kata Revana memohon.
Clara terdiam, ia masih menatap Revana dengan curiga, tapi akhirnya hanya menghela napas panjang.
Clara menepuk bahu sahabatnya.
“Oke… aku nggak bakal maksa kamu buat bicara. Tapi kalau nanti kamu butuh cerita, aku siap dengerin, Rev.”
Revana mengangguk pelan, mencoba tersenyum, meski hatinya bergetar hebat. Ia tahu cepat atau lambat Clara pasti akan tahu apa yang terjadi tentang dirinya dan juga Sang atasan.
Sementara itu, Adrian yang berdiri agak jauh hanya melirik sekilas ke arah mereka, sudut bibirnya terangkat tipis. Ia bisa menebak percakapan dua sahabat itu, dan entah kenapa, ia merasa senang karena Revana masih berusaha menyimpan hubungan mereka rapat-rapat.
✨️
Pagi ini Ruang meeting dipenuhi suasana serius. Para manager sudah duduk rapi dengan dokumen masing-masing. Adrian masuk dengan wajah tegas, auranya langsung mendominasi ruangan. Revana duduk di sudut meja, membuka laptopnya, berusaha fokus meski jantungnya masih berdebar akibat pertanyaan dari Clara tadi.
Saat rapat dimulai, Adrian berbicara lugas, memberi arahan dengan suara berat yang penuh wibawa.
Namun, di sela-sela penjelasannya, pandangan matanya sesekali melirik ke arah Revana. Tidak terlalu kentara, tapi cukup untuk membuat Revana salah tingkah, ujung penanya beberapa kali jatuh, tangannya berkeringat dingin.
Anton, salah satu manager, menyodorkan berkas.
“Pak Adrian, ini draft kontrak untuk proyek baru. Perlu ditandatangani hari ini.”
Adrian menerima berkas itu, tapi bukannya langsung menandatangani, matanya justru kembali menoleh sekilas pada Revana, seolah menunggu gesturnya.
Revana buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk mengetik notulen.
Clara yang duduk tak jauh dari Revana memperhatikan gelagat itu. Mata Clara menyipit, semakin yakin ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan antara atasan dan bawahan.
Setelah rapat berakhir, semua orang mulai berkemas. Adrian berdiri tegak di depan, tangannya merapikan jas yang ia kenakan.
“Revana, ikut saya sebentar ke ruang kerja.” suaranya datar, tapi penuh makna, pria itu menatap Revana dalam.
Semua kepala langsung menoleh. Clara terperangah, bahkan Anton sempat menaikkan alis. Revana merasa canggung di lihat banyak orang, tapi ia tak bisa menolak. Segera Revana mengikut langkah Adrian yang berjalan duluan keluar meninggalkan ruangan meeting.
Revana sengaja berjalan lambat ketika masuk ke ruangan Adrian, ia menutup pintu itu rapat, lalu melangkah mendekat sampai di depan meja kerja Adrian.
Adrian bersandar di kursinya, tatapan matanya tidak pernah lepas dari sosok Revana. Sorotnya penuh mendamba, bercampur dengan ketegasan seorang pria yang tahu apa yang ia mau.
“Mendekatlah, Rev.” titah Adrian dengan suara rendah.
Revana tersentak.
“Pak… kita sedang di kantor. Kalau ada yang lihat—”
Adrian mengangkat sebelah alis, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis penuh kode. Tangannya bergerak ringan, memberi arahan agar Revana berjalan ke arahnya.
Revana menggeleng cepat, tapi langkahnya justru goyah.
“Tidak, Pak Adrian. Tolong jangan main-main seperti ini.”
Namun Adrian tiba-tiba meraih tangannya dengan tegas. Sekejap tubuh Revana terhuyung, jatuh tepat di pangkuannya.
Revana kaget
“Pak! Apa-apaan ini—”
Tangannya refleks memukul dada Adrian dengan kesal. Suara pukulannya memang keras, tapi justru membuat Adrian tertawa kecil.
Adrian mendekat, menyibakkan rambut Revana dengan lembut, sambil berbisik di telinganya
“Jangan marah Baby...aku hanya merindukanmu. Dan aku tak peduli kalau ini di kantor sekalipun.”
Wajah Revana memerah, hatinya berdebar tak karuan. Ia mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Adrian justru semakin erat. Tatapan mata pria itu seolah membakar sekaligus melembutkan hatinya di waktu yang sama.
Tanpa menunggu reaksi Revana, pria itu meraup bibir merah Revana dengan rakus, Revana sampai gelagapan, namun perlahan ia mulai menikmatinya. Bibir mereka saling melumat, menyesap...dan saling memberikan kehangatan. Revana mengalungkan kedua tangannya di leher Adrian, sedangkan salah satu tangan Adrian sudah menelusup bebas ke dalam rok Revana.
Tok tok tok
Ketukan pintu terdengar.
Revana terkejut. Refleks ia segera melepaskan bibirnya dari Adrian, wajahnya panas memerah. Dengan panik, ia beranjak dari pangkuan Adrian, hampir tersandung kursi sebelum akhirnya bisa berdiri tegak di samping meja, merapikan rok dan bajunya yang berantakan.
Begitu juga dengan Adrian yang langsung menegakkan duduknya, berdeham pelan sambil merapikan dasinya dan jas yang sedikit berantakan. Sorot matanya masih menyimpan bara, tapi suaranya tenang.
“Masuk.”
Pintu terbuka. Anton melangkah masuk dengan map tebal di tangannya. Langkahnya berhenti sesaat ketika matanya menyapu pemandangan di ruangan itu, Revana dengan pipi semerah delima, sementara Adrian berlagak tenang, meski jelas-jelas ada jejak canggung di wajahnya.
Anton menaikkan alisnya, senyum nakal tersungging.
“Wah… saya ganggu kalian, ya?” kata Anton sambil tersenyum jahil.
Revana buru-buru menunduk, pura-pura merapikan dokumen di meja untuk mengalihkan rasa malunya.
“T-tidak, Pak Anton. Saya hanya… sedang membantu Pak Adrian.”
Adrian menyeringai tipis, tatapannya seolah menantang Anton.
“Kamu terlalu banyak bicara, Ton. Mana laporan yang kubutuhkan?”
Anton meletakkan map itu perlahan, tatapannya tetap iseng.
“Nih, laporan sudah aku teliti. Tapi… sepertinya ada ‘laporan lain’ yang jauh lebih menarik di sini.”
Revana semakin menunduk, hatinya berdebar keras. Adrian hanya terkekeh kecil, lalu menutup map di hadapannya dengan sekali tepukan.
“Keluar sekarang, Ton. Sebelum aku benar-benar mengusirmu.” kata Adrian datar, tapi penuh makna.
Anton tertawa, berjalan keluar sambil melirik sekali lagi pada Revana.
“Baik, baik. Santai saja, Bos. Kalau kalian butuh ‘sesuatu’. Bilang saja ke aku.”
Pintu kembali menutup. Ruangan kembali hening, menyisakan Revana yang masih menahan rasa malu luar biasa, sementara Adrian justru terlihat semakin puas dengan situasi itu.
Adrian menatap Revana sambil tersenyum menggoda.
“Sayang, ayo lanjutkan lagi kegiatan kita tadi.”
Revana spontan menoleh dengan wajah penuh protes, tapi kata-kata Adrian membuat dadanya kembali bergetar.
“Pak Adrian! Tadi itu… gila ya? Kalau sampai Pak Anton benar-benar lihat, saya bisa malu setengah mati!”
Adrian hanya terkekeh, seolah tidak merasa bersalah sedikit pun.
“Kalau dia memang lihat, ya biarkan saja, itu bukan masalah besar. Anton sahabatku. Dia tahu apa yang harus dijaga.”
Revana mendengus, melipat kedua tangannya di dada. Ia menatap Adrian kesal.
“Bapak tuh keterlaluan! Di kantor, Pak… ini tempat kerja, bukan tempat untuk—”
Adrian memotong, suaranya rendah tapi menusuk.
“Bukan ‘Bapak’. Sudah kubilang, saat kita berdua… panggil aku Adrian. Atau… lebih manis lagi, panggil aku papi sayang.”
Revana langsung terdiam, wajahnya makin merah. Ia menatap Adrian dengan sorot tajam, tapi Adrian malah berdiri dan mendekat, menurunkan suaranya tepat di telinga Revana.
“Kenapa kamu harus malu, hm? Kamu sudah jadi bagian dari hidupku. Biarkan dunia tahu.” bisik Adrian.
Revana menelan ludah, jantungnya berpacu tak karuan. Ia mendorong dada Adrian dengan pelan.
“Saya bukan milik siapa pun, Pak. kita belum menikah.”
Namun sorot matanya goyah, dan Adrian bisa membaca jelas ketidakmampuan gadis itu untuk benar-benar menolak.
Adrian tersenyum tipis, tangannya meraih jemari Revana lalu mengecupnya singkat.
“Oke..jadi kapan kamu mau aku nikahi, besok ?”
Revana terdiam, dia melepaskan tangannya digenggaman Adrian dengan kesal, lalu menarik nafas panjang.
"Tau ah...kamu bikin aku pusing..." Revana membalikkan badan, berjalan cepat ke arah pintu.
Adrian kembali tertawa kecil, lalu dengan cepat ia berkata sedikit keras.
"Baby, nanti sore kamu harus ikut denganku, awas jangan kabur.." kata Adrian sebelum Revana benar-benar keluar dari ruangannya.
Revana menoleh ke arah Adrian sekilas, lalu ia hanya mendengus kesal.
...⚘️...
...⚘️...
...⚘️...
...Bersambung......