Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Keduanya pun sampai di tempat tujuan dan benar saja ada beberapa wartawan yang sudah siap menanyai keduanya.
Liam membuka pintu mobil, Benjamin keluar lebih dulu. Sontak para wartawan itu mengerumuni Benjamin, tak lupa mikrofon dan alat-alat lain yang sudah menyala di dekatkan padanya.
''Tuan Benjamin, apa benar Anda kehilangan ingatan? Lalu bagaimana dengan nasib perusahaan ini?'' Salah satu dari mereka kemudian bertanya, pertanyaan yang sudah pasti akan mereka gunakan untuk membuat artikel maupun berita tentang keluarga Hilton.
''Apa kecelakaan yang Anda alami berkaitan dengan perusahaan saingan?'' Wartawan lain ikut bersuara, mereka sering membuat asumsi sendiri padahal belum tentu itu benar.
''Apa Anda masih bisa bekerja walau tak memiliki ingatan dari masa lalu?''
Para wartawan berdesak-desakan, mereka terus mencoba bertanya namun Benjamin tak menjawab. Dia membuka pintu mobil di mana istrinya duduk dan berjalan menuju perusahaan di depan. Benjamin mencoba agar wartawan-wartawan itu tak menyentuh sedikit pun Clarissa.
''Walau Anda tak memiliki ingatan di masa lalu, apakah Anda tetap mencintai istri Anda?'' Suara keras dari wartawan ini membuat suasana tak terlalu ricuh seperti tadi. Semua yang ada di sana saling berbisik, mendiskusikan apapun yang ada di benak mereka.
''Benar, kami sangat penasaran. Apa Anda tetap mencintainya?'' Wartawan lain ikut setuju Benjamin harus menjawab pertanyaan dari orang yang seprofesi dengannya.
Benjamin menghentikan langkahnya saat pertanyaan itu juga terngiang-ngiang di pikirannya. ''Karena kalian mendesak ku jadi akan ku jawab pertanyaan ini, aku tetap mencintai istriku. Kalian puas? Sekarang pergi dari sini karena aku tak akan menjawab pertanyaan lain lagi.''
Para wartawan terdiam namun mereka tak segera pergi, beberapa detik saat Benjamin maupun Clarissa memasuki perusahaan. Wartawan kembali bergemuruh, mereka tak akan pergi sampai menyelesaikan tugas mereka di sini.
Untungnya Clarissa tak berekspresi panik maupun gugup, ia takut hal itu dapat memperburuk pandangan mereka terhadap dirinya ataupun perusahaan dan suaminya.
Benjamin menggandeng tangan Clarissa, mereka berjalan menuju lift. Sudah ada Alan yang akan menuntun mereka untuk pergi ke ruangan rapat yang akan di selenggarakan sebentar lagi.
''Kamu tidak apa-apa kan?'' Ben mendekatkan bibirnya ke telinga Clarissa dan berbisik pelan padanya.
Clarissa merasakan bulu kuduknya berdiri, ia merasa geli saat suara Ben terdengar hanya di telinganya. Ia lalu mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan suaminya.
''Yakin? Bagaimana kalau kita pulang saja.'' Kini Ben berbicara normal, Alan pun bisa mendengar ucapan Bosnya itu.
''Aduh Bos jangan! Sudah sampai di sini, masa langsung pulang lagi. Anda harus menghadiri rapat hari ini, ini perintah Bos Besar.'' Alan begitu panik saat mendengar perkataan Bosnya. Ia tak boleh sampai membiarkan Bosnya pergi, bisa-bisa gajinya di potong kalau sampai mereka berdua langsung pulang.
Clarissa menggeleng cepat, ''aku tidak apa-apa kok.'' Ia berpikir Alan ada benarnya, kini mereka sudah sampai di kantor dan bila langsung pulang juga tetap harus kemari lagi. Ben sudah berjanji pada Ayahnya untuk bekerja kembali mulai hari ini.
''Baiklah, saat rapat nanti kamu istirahat saja. Jangan ikut aku menghadiri rapatnya.'' Benjamin kembali menyarankan sebuah solusi lain agar bisa membuat istrinya beristirahat. Ia juga tak mau Clarissa melihat dirinya saat bekerja, ia takut istrinya curiga dan kalau sampai ketahuan ia hanya berpura-pura amnesia. Bisa gawat, yang lebih parah mungkin istrinya akan mengajukan perceraian.
Lift terbuka, ketiganya memasukinya. Beberapa saat kemudian sosok perempuan yang sangat modis terlihat, dia yang tadinya fokus pada kuku cantiknya setelah melakukan perawatan kemudian menunjukan ekspresi bahagia saat melihat Benjamin. Dan tentu dia adalah model kesayangan perusahaan ini, Isabella. Dia banyak membantu menaikan harga pasar pakaian atau produk yang perusahaan ini keluarkan. Dia juga sangat populer terutama di kalangan laki-laki.
''Hei,'' Isabella langsung menyapa saat sudah memasuki lift yang sama.
Akhirnya terjadi juga, Clarissa sudah menduga model cantik ini pasti akan bertemu dengan keduanya di perusahaan ini. Namun tak menyangka secepat ini, ia melirik suaminya. Mencari ekspresi yang tak mau ia lihat, apakah Ben mengenali perempuan itu?
''Halo Nona Isabella,'' Alan tersenyum lebar dan menunjukan ekspresi canggung. Terutama tubuhnya, ia terus menggerakkan tubuhnya sekaligus menggosok leher dengan tangannya. Padahal dia tidak merasa gatal ataupun keluhan lain. Sebenarnya dia adalah penggemar model cantik ini, dalam sekali lihat juga sudah ketahuan apalagi Isabella bukan satu atau dua kali melihat lelaki bertingkah seperti ini.
''Hei bagaimana kabarmu?'' Isabella mengabaikan lelaki yang tadi menjawab sapaannya. Dia bukan targetnya.
Benjamin diam, dia sungguh ingin segera pergi dari lift ini. Ia membalikan tubuhnya hingga hanya melihat Clarissa di hadapannya.
''Ben!'' Clarissa bingung harus bagaimana, apa ia harus bilang kalau perempuan lain di lift ini sedang bertanya padanya.
''Kenapa?'' Benjamin berbisik kepada istrinya, ia penasaran apa yang membuat Clarissa tampak sangat cemas. Apa karena perempuan di belakangnya ini?
''Kamu masih seperti dulu, malu-malu tapi mau.'' Isabella berpindah ke depan mereka berdua, ia ingin berbincang dengan lelaki ini tapi malah di abaikan.
''Jadi kamu benar sudah tak ingat aku,'' perempuan itu melirik pada Ben. Ia benar-benar tak mau menyadari keberadaan istri lelaki yang dia jadikan target itu.
Benjamin mendekatkan wajahnya pada Clarissa, kalau dari sudut pandang Isabella. Mereka terlihat seperti sedang berciuman.
''Dia siapa? Aku akrab dengannya?'' Ben membisikan pertanyaan itu pada Clarissa. Sementara Clarissa merasa bisa bernafas lega, Ben belum mengingat perempuan itu.
''Dia model, di bawah naungan perusahaan ini. Emmm sepertinya kalian tidak terlalu dekat,'' Clarissa sungguh tak mau di tinggalkan nantinya, sepertinya ia harus berbohong kembali seperti ini. Tidak apa-apa kan?
''Ah begitu,'' Benjamin mengangguk. Ia sebenarnya tak mau menanyakan hal tidak penting begini tetapi istrinya terlihat pucat saat perempuan itu datang. Apa dia berpikir aku memiliki hubungan dengannya? Benjamin tak merasa kalau dirinya dan model itu perlu di cemaskan, mereka memang tak punya hubungan khusus.
''Ben...!'' Isabella menarik tangan Benjamin dan mendekapnya, ''bisa-bisanya kamu bersikap begini padaku.'' Dia membuat suara yang dikeluarkannya terdengar imut, ia seolah bermanja pada lelaki di hadapannya itu.
''Hei!'' Benjamin segera melepaskan tangan perempuan yang seenaknya memegang tangannya.
''Kau ini gila? Tidak lihat aku sudah punya istri, kau dengan entengnya memegang tangan ku di hadapan istriku. Pergilah, menjauh dariku. Lift ini cukup luas. Jangan bersikap menjijikan begini, aku sungguh ingin muntah melihatnya.'' Benjamin akhirnya mengeluarkan kata hatinya, ia cukup kesal melihat Isabella yang bertingkah seolah mereka memiliki hubungan.
Lift terbuka, akhirnya Benjamin dan istrinya bisa keluar dari situasi mengganggu ini. Alan maupun keduanya mulai menjauhi Isabella yang masih di dalam lift.
''Cih ternyata dia masih sama walau kehilangan ingatan, kupikir bisa menggodanya. Padahal pakaianku cukup seksi,'' Isabella berdecak kesal. Ia cukup percaya diri bisa mendapatkan pewaris perusahaan ini.
''Kalau begitu, mereka tak akan bercerai dong!'' Isabella cukup banyak mendengar rumor tentang perpisahan dua sejoli itu, ia percaya rumor adalah fakta yang tertunda.
To be continue....